Senin, 09 November 2015

HAKEKAT BAI'AT HASAN BIN ALI R.A. TERHADAP MUAWIYYAH R.A.

Riwayat pertama :

ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, dan semoga dengan perantaraan dirinya Allah akan mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746].


Riwayat kedua :

أخبرنا يزيد بن هارون قال أخبرنا حريز بن عثمان قال حدثنا عبد الرحمن بن أبي عوف الجرشي قاللما بايع الحسن بن علي معاوية قال له عمرو بن العاص وأبو الأعور السلمي عمرو بن سفيان لو أمرت الحسن فصعد المنبر فتكلم عيي عن المنطق فيزهد فيه الناس فقال معاوية لا تفعلوا فوالله لقد رأيت رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) يمص لسانه وشفته ولن يعيا لسان مصه النبي ( صلى الله عليه وسلم ) أو شفتان فأبوا على معاوية فصعد معاوية المنبر ثم أمر الحسن فصعد وأمره أن يخبر الناس إني قد بايعت معاوية فصعد الحسن المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال أيها الناس إن الله هداكم بأولنا وحقن دماءكم بآخرنا وإني قد أخذت لكم على معاوية أن يعدل فيكم وأن يوفر عليكم غنائمكم وأن يقسم فيكم فيئكم ثم أقبل على معاوية فقال كذاك قال نعم ثم هبط من المنبر وهو يقول ويشير بإصبعه إلى معاوية ” وإن أدري لعله فتنة لكم ومتاع إلى حين ” فاشتد ذلك على معاوية فقالا لو دعوته فاستنطقته فقال مهلا فأبوا فدعوه فأجابهم فأقبل عليه عمرو بن العاص فقال له الحسن أما أنت فقد اختلف فيك رجلان رجل من قريش وجزار أهل المدينة فادعياك فلا أدري أيهما أبوك وأقبل عليه أبو الأعور السلمي فقال له الحسن ألم يلعن رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) رعلا وذكوان وعمرو بن سفيان ثم أقبل معاوية يعين القوم فقال له الحسن أما علمت أن رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) لعن قائد الأحزاب وسائقهم وكان أحدهما أبو سفيان والآخر أبو الأعور السلمي

Telah mengabarkan kepada kami Yaziid bin Haruun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hariiz bin ‘Utsman yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Abi ‘Auf Al Jurasyiy yang berkata ketika Hasan bin Aliy membaiat Mu’awiyah, ‘Amru bin Ash dan Abul A’war As Sulaamiy ‘Amru bin Sufyaan telah berkata kepadanya [Mu’awiyah] “sekiranya engkau memerintahkan Hasan naik mimbar dan ia akan mengatakan ucapan yang lemah sehingga orang-orang akan berpaling darinya”. Mu’awiyah berkata “aku tidak akan melakukannya, demi Allah sungguh aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menghisap lidah dan bibirnya maka tidak akan lemah lisan atau mulut yang telah dihisap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Mereka mengingkari Mu’awiyah maka akhirnya Mu’awiyah naik mimbar kemudian memerintahkan Hasan untuk naik mimbar dan memerintahkannya untuk mengabarkan kepada orang-orang “sungguh aku telah membaiat Mu’awiyah”. Maka Hasan naik mimbar mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya kemudian berkata “wahai manusia sesungguhnya Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan orang yang pertama dari kami dan mencegah tertumpahnya darah kalian dengan orang yang terakhir dari kami dan aku telah menjadikan kalian ke atas Mu’awiyah bahwa ia akan berlaku adil kepada kalian, memberikan ghanimah kalian dan membagi fa’iy kalian”. Kemudian ia menghadap Mu’awiyah dan berkata “beginikah?”. Mu’awiyah berkata “benar” kemudian Hasan turun dari mimbar dan ia mengatakan seraya menunjuk kearah Mu’awiyah dan aku tidak tahu bisa jadi hal itu menjadi fitnah bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu” [QS Al Anbiya ; 111] Ia meninggikan suaranya tentang hal itu kepada Mu’awiyah. Maka keduanya [‘Amru dan Abul A’war] berkata “sekiranya kita panggil dia dan menjelaskan apa yang ia maksudkan dengannya”. Mu’awiyah berkata “berhati-hatilah”. Mereka menolak, maka mereka memanggilnya untuk menjawab mereka. ‘Amru bin ‘Ash menghadap kepada Hasan maka Hasan berkata kepadanya “adapun engkau, sungguh telah berselisih tentangmu dua orang yaitu lelaki dari quraisy dan tukang sembelih dari penduduk Madinah, keduanya mengaku berhak terhadapmu dan tidak diketahui siapa diantara keduanya adalah ayahmu”. Dan Abul A’war As Sulaamiy menghadap kepada Hasan maka Hasan berkata kepadanya “bukankah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melaknat Ri’l, Dzakwan dan ‘Amru bin Sufyaan” kemudian Mu’awiyah menghadap kepada mereka, maka Hasan berkata kepadanya “tahukah engkau bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melaknat pemimpin pasukan ahzab dan penuntun mereka yaitu Abu Sufyaan dan Abul A’war As Sulaamiy”. [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/383]

Keterangan para perawinya :
  1. Yazid bin Harun Abu Khalid Al Wasithiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang lebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 612].
  2. Hariiz bin Utsman adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Mu’adz bin Mu’adz berkata “tidak aku ketahui di Syam ada orang yang lebih utama daripadanya”. Abu Dawud berkata “guru-guru Haariz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Duhaim mengatakan ia orang Himsh yang baik sanadnya dan shahih hadisnya. Abu Hatim berkata “tsiqat mutqin” [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit dan dikatakan nashibi” [Taqrib At Tahdzib 1/156 no 1184]
  3. Abdurrahman bin Abi ‘Auf Al Jurasyiy adalah perawi Abu Dawud dan Nasa’i. Abu Dawud berkata “guru-guru Hariz tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Mandah menyatakan ia sahabat. Abu Nu’aim berkata “dia termasuk tabiin penduduk syam”. Al Ijli berkata “tabiin Syam yang tsiqat”. Ibnu Qaththan berkata “majhul hal” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 494]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan menemui masa Nabi [SAW]” [TaqribAt Tahdzib 1/348 no 3974].Daruquthniy berkata “tsiqat” [Su’alat As Sulaamiy no 398]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 3284]
  Riwayat ketiga :

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الطيالسي حدثنا القاسم بن الفضل الحداني عن يوسف بن سعد قال قام رجل إلى الحسن بن علي بعد ما بايع معاوية فقال سودت وجوه المؤمنين أو يا مسود وجوه المؤمنين فقال لا تؤنبني رحمك الله فإن النبي صلى الله عليه و سلم أري بني أمية على منبره فساءه ذلك فنزلت { إنا أعطيناك الكوثر } يا محمد يعني نهرا في الجنة ونزلت { إنا أنزلناه في ليلة القدر وما أدراك ما ليلة القدر ليلة القدر خير من ألف شهر } يملكها بنو أمية يا محمد قال القاسم فعددناها فإذا هي ألف يوم لا يزيد يوم ولا ينقص

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Fadhl Al Huddaniy dari Yusuf bin Sa’ad yang berkata seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Aliy setelah Muawiyah dibaiat. Ia berkata “Engkau telah mencoreng wajah kaum mukminin” atau ia berkata “Hai orang yang telah mencoreng wajah kaum mukminin”. Maka Hasan berkata kepadanya “Janganlah mencelaku, semoga Allah SWT merahmatimu, karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam mimpi telah diperlihatkan kepada beliau bahwa bani Umayyah di atas mimbarnya. Beliau tidak suka melihatnya dan turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadaMu nikmat yang banyak”. Wahai Muhammad yaitu sungai di dalam surga. Kemudian turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al Qur’an] pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. Bani Umayyah akan menguasainya wahai Muhammad. Al Qasim berkata “Kami menghitungnya ternyata jumlahnya genap seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih” [Sunan Tirmidzi 5/444 no 3350].

Keterangan para perawinya :
  1. Mahmud bin Ghailan termasuk perawi Bukhari Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan pula bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Daud Ath Thayalisi dan dinyatakan tsiqat oleh Maslamah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 109]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516]
  2. Abu Daud At Thayalisiy. Namanya adalah Sulaiman bin Daud, termasuk perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Sulaiman bin Daud telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Amru bin Ali, An Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad Al Khatib dan Al Fallas [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 316]. Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat memiliki beberapa kekelriuan [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550]
  3. Al Qasim bin Fadhl termasuk perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Al Qasim bin Fadhl meriwayatkan hadis dari Yusuf bin Sa’ad dan telah meriwayatkan darinya Abu Daud Ath Thayalisi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Ma’in, Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin [Tahdzib At Tahdzib juz 8 no 596]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/451 no 5482]
  4. Yusuf bin Sa’ad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibiy termasuk perawi Tirmidzi dan Nasa’i telah meriwayatkan hadis dari Hasan bin Aliy dan telah meriwayatkan darinya Qasim bin Fadhl. Yahya bin Main telah menyatakan ia tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 707]. Ibnu Hajar menyatakan bahwa Yusuf bin Sa’ad Al Jumahi atau Yusuf bin Mazin tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/611 no 7865]. Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6434].

Inilah 3 riwayat yang menerangkan peristiwa pembai'atan Hasan bin Ali r.a. kepada Muawiyah r.a.

Lalu datanglah tulisan Mr Secondprince Ar Rafidhi menyebarkan syubhat :

Peristiwa baiatnya Imam Hasan bin Aliy [‘alaihis salaam] kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sering dijadikan hujjah para nashibiy untuk membenarkan dan memuliakan Mu’awiyah. Padahal hakikatnya tidak demikian, di sisi imam Hasan baiat tersebut adalah untuk meredakan perpecahan dan menyelamatkan darah kaum muslimin. Tidak sedikitpun baiat tersebut memandang kemuliaan Mu’awiyah karena hakikat Mu’awiyah dalam perkara ini adalah pemimpin kelompok baaghiyah yang menyeru kepada neraka. Sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat shahih. [ Lihat Shahih Bukhari 1/97 no 447]


Jawaban atas syubhat secondprince tersebut adalah :

Catat betul, bahwa dalam hadits di atas beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kata : al-fi’ah al-baaghiyah.

Lantas apa makna al-baaghiyah itu ? Dalam literatur kamus bahasa ‘Arab ataupun syarh hadits dijelaskan bahwa kata baaghiyah adalah bentuk muannats dari kata baaghiy yang artinya : orang yang melakukan kedhaliman dengan keluar dari pemerintahan yang sah.

Kemudian, apakah kelompok baaghiyyah itu berstatus muslim ataukah kafir ? Kita akan rujuk kepada nash, bukan kepada akal-akalan orang Syi’ah. Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (baghat) terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu (tabghii) sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [Al-Hujuraat : 10].

Perhatikanlah ! Allah ta’ala menyebut orang yang melakukan bughat dalam ayat di atas masih masuk dalam lingkaran Islam dan iman. Hanya saja, Allah ta’ala memerintahkan untuk memerangi mereka hingga kembali kepada jalan yang benar.

Lantas, apakah makna sabda beliau : ia (‘Ammaar) mengajak mereka menuju surga, namun mereka mengajaknya menuju neraka ?

Mudah sebenarnya jika kita telah memahami penjelasan sebelumnya.

‘Ammaar mengajak menuju surga, maknanya adalah : ‘Ammaar mengajak mereka (kelompok Mu’aawiyyah) untuk mentaati ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagai imam yang sah, dan larangan untuk keluar ketaatan darinya. Inilah amal shaalih yang akan akan menjanjikan pelakunya dengan surga.

Adapun sabda beliau yang lain : namun mereka mengajaknya menuju neraka, maksudnya bahwa perbuatan kelompok Mu’aawiyyah yang keluar ketaatan dari imam yang sah (‘Aliy) itu merupakan jenis kemaksiatan yang mengancam pelakunya dengan neraka. Barangsiapa yang melakukan dan mengikuti perbuatan tersebut, akan diancam dengan neraka. Jadi, sabda beliau di sini dinisbatkan pada perbuatannya. Bukan kepada pelakunya.

Dan sebagaimana kita tahu, Mu’aawiyyah melakukan konfrontasi dengan ‘Aliy karena tuntutan atas darah ‘Utsmaan, agar ‘Aliy mengqishash orang-orang yang telah membunuh ‘Utsmaan yang dianggap Mu’aawiyyah ada di sekitar ‘Aliy. Saya tidak akan berpanjang lebar dalam hal sebab-sebab ini, namun yang menjadi inti pembicaraan saya, Mu’aawiyyah melakukan peperangan terhadap ‘Aliy karena ijtihadnya. Walaupun itu dikatakan sebagai ijtihad – yang pelakunya dijanjikan satu pahala atas ijtihadnya tersebut – tetap saja tidak bisa menjadikan perbuatan yang salah menjadi benar. Ijtihad yang salah tetaplah kita katakan salah. Dan jika ijtihad itu berupa melakukan satu tindakan kemaksiatan kepada Allah, tetap saja kita katakan perbuatan itu maksiat, tidak boleh diikuti, walau mungkin pelakunya akan dimaafkan oleh Allah karena ijtihadnya yang keliru itu.

Contoh ringannya :

Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah menfatwakan kebolehan nikah mut’ah. Ini adalah ijtihad yang keliru yang kemungkinan ia belum mengetahui adanya nash-nash yang mengaharamkan nikah mut’ah hingga hari kiamat (karena memang nikah mut’ah ini pernah dibolehkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Nikah mut’ah adalah zina yang mengancam pelakunya dengan neraka (selain hadd). Namun apakah Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dapat kita hukumi masuk neraka dengan dosa penghalalan zina ? Tentu tidak, karena ia telah berijtihad dengan apa yang sampai kepadanya dari nash. Walaupun kita mengatakan Ibnu ‘Abbaas (dan juga beberapa shahabat yang lain) dimaafkan atas kesalahan ijtihad mereka tentang mut’ah, tetap kita mengatakan nikah mut’ah adalah kekejian, kemaksiatan, dan mengancam pelakunya dengan neraka.


Second masih menuliskan syubhatnya :

Sebagian orang menjadikan baiat Imam Hasan ini sebagai bukti bahwa Mu’awiyah tidak kafir. Tentu dalam perperangan Mu’awiyah terhadap Imam Aliy dan Imam Hasan, ia tidak dikatakan kafir melainkan dikatakan sebagai kelompok baaghiyah yang mengajak ke neraka. Adapun jika setelah pembaiatan ini Mu’awiyah menjadi kafir maka itu tidak bertentangan dengan baiat Imam Hasan tersebut. Pada saat itu Imam Hasan tidak membaiat seorang kafir melainkan membaiat seorang muslim yang tercela atau secara zahir ia mengaku muslim, seandainya Mu’awiyah bin Abu Sufyaan menyatakan kekafirannya niscaya tidak ada satupun orang islam yang akan mengikutinya.


Jawaban syubhat tersebut :

Ada logika pincang yang lain selalu saja anda pelihara bahwa Mu’aawiyyah memang tidak kafir saat perang Shiffin dan perdamaian Al-Hasan, namun bisa jadi ia menjadi kafir di akhir hayatnya.

Pertama, biografi-biografi yang ditulis oleh ulama Ahlus-Sunnah telah menyatakan bahwa Mu’aawiyyah tetap Islam di akhir hayatnya, dan baik pula keislamannya.

Kedua, hadits yang Anda nyatakan shahih yang menyatakan Mu’aawiyyah mati dalam keadaan kafir itu adalah lemah. Telah saya sebutkan penjelasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/hadits-muawiyyah-mati-tidak-dalam-agama.html. Di satu tempat dikatakan Mu’aawiyyah, di lain tempat dikatakan Al-Hakam bin Abil-‘Ash. Peristiwanya satu atau sekali. Tidak bisa dijamak, karena dua person itu adalah orang yang berbeda. Yang datang juga Cuma satu orang. Qarinah-qarinah penyebutan Al-Hakam adalah lebih kuat. Saya tidak akan menggubris lagi apakah Anda tetap mengatakan shahih atau tidak.

Ketiga (dan inilah logika pincangnya), jika memang hakekat kekafiran Mu’aawiyyah (kelak di akhir hayatnya) telah diketahui Al-Hasan (berdasarkan riwayat), apakah mungkin ia menyerahkan tampuk kekuasaan kaum muslimin terhadap Mu’aawiyyah yang kelak ia ketahui akan menjadi kafir ? – hanya karena alasan, saat melakukan perdamaian Mu’aawiyyah dhahirnya masih Islam.

Atau Al-Hasan bin ‘Aliy itu tidak tahu perkataan kakeknya tentang hakekat kekafiran Mu’aawiyyah, dan itu malah diketahui oleh Anda dan orang-orang semisal dengan Anda ? sementara sangat memungkinkan para shahabatnya untuk mengingatkannya, karena waktu itu adalah masa konfrontasi dengan Mu’aawiyyah. Apalagi ayahnya (‘Aliy bin Abi Thaalib) telah melaknat seterunya, sebagaimana seterunya juga melaknat pihak ‘Aliy ?


Terakhir tulisan secondprince :

Hikmah baiat Imam Hasan terhadap Mu’awiyah tidak akan pernah dimengerti oleh para nashibiy, dan akan mudah dipahami oleh mereka yang berpegang teguh pada ahlul bait. Mereka yang menganggap ahlul bait sebagai pedoman tidak akan bingung dalam menempatkan diri, ketika Imam Aliy memerangi Mu’awiyah maka mereka mengikutinya dan ketika Imam Hasan membaiat Mu’awiyah maka merekapun mengikutinya. Kebenaran akan selalu bersama mereka ahlul bait dan kebenaran tersebut tidak akan pudar oleh kebathilan para pembangkang yang menyeru kepada neraka.


Tanggapan saya :

Ketika Hasan r.a. memerangi Muawiyah r.a. mereka mengikutinya, ketika beliau membai'atnya mereka masih mau mengikutinya ......

Tapi ......

Mau-kah mereka ... ???  

TIDAK MENGKAFIRKAN MUAWIYYAH R.A. SEBAGAIMANA HASAN R.A. JUGA TIDAK PERNAH MENGKAFIRKANNYA.


Semoga .....!!!!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar