Minggu, 08 November 2015

MENGKRITISI ANALISA KEMAKSUMAN AHLUL BAIT VERSI SYI'AH

Untuk lebih dapat memahami arti, posisi, dan urgensitas doktrin ‘Ishmah al- Imam bagi Syiah, berikut kami kemukakan sebagian dari pernyataan-pernyataan para tokoh Syiah tentang doktrin ini:

a. Al-Majlisi (w. 1111 H) dalam Bihar al-Anwar, mengemukakan arti ‘ishmah sebagai berikut:

إعْلَمْ أنَّ الإمَامِيَّةَ اتَّفَقُوْا عَلَى عِصْمَةِ الأَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ مِنَ الذُّنُوْبِ صَغِيْرِهَا وَكَبِيْرِهَا, فَلَا يَقَعُ مِنْهُمْ ذُنْبٌ أَصْلاً, لَاعَمْدًا وَلَا نِسْيَانًا وَلَا لِخَطَأٍ فِيْ التَّأْوِيْلِ وَلَا لِلإِسْهَاءِ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ.

Perlu diketahui bahwa Syiah Imamiyah telah bersepakat jika para Imam adalah terjaga dosa, baik yang kecil maupun yang besar. Karena itu, mereka tidak akan pernah mengerjakan dosa sama sekali, baik sengaja atau lupa, juga tidak akan mengerjakan kekekeliruan disebabkan salah presepsi (terhadap nash), dan bukan karena dibuat lupa oleh Allah SWT. (Lihat, Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 25 hlm. 191)

b. Al-Mufid dalam Awa’il al-Maqalat menyatakan:

إنَّ الاَئِمَّةَ القَائِمِيْنَ مَقَامَ الأَنْبِيَاءِ فِيْ تَنْفِيْذِ الأَحْكَامِ وَإِقَامَةِ الْحُدُوْدِ وَحِفْظِ الشَّرَائِعِ وَتَأْدِيْبِ الأَنَامِ مَعْصُوْمُوْنَ كَعِصْمَةِ الأَنْبِيَاءِ.

Sesungguhnya para Imam yang mengganti posisi para Nabi dalam melaksanakan hukum-hukum agama, menegakkan pidana, menjaga syariat dan mendidik umat, adalah orang-orang yang maksum (terjaga dari lupa, keliru dan dosa) sebagaimana para Nabi. (Al-Mulfid, Awa’il al-Maqalat, hlm. 71)

c. Muhammad Ridha al-Muzhhar dalam ‘Aqa’id al-Imamiyah, mengungkapkan keyakinan tentang ‘Ishmah al-Imam sebagai berikut:

وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الإِمَامَ كَالنَّبِيِّ, يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنْ جَمِيْعِ الرَّذَائِلِ وَالفَوَاحِشِ, مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ, مِنْ سِنِّ الطُّفُوْلَةِ إِلَى الْمَوْتِ عَمْدًا وَسَهْوًا, كَمَا يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنَ السَّهْوِ وَالخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ.

Kami meyakini bahwa status Imam sama dengan Nabi, harus maksum (terjaga) dari segala kejelekan dan kekotoran, baik yang tampak maupun yang tidak, mulai dari masa kanak-kanak sampai meninggal, disengaja atau lupa, begitu pula ia wajib terjaga dari kelengahan, kekeliruan, dan lupa.
(Muahammad Ridha al-Muzhafar, ‘Aqai’id al’-Imamiyah, hlm. 91).

d. Tokoh Syiah kontemporer, Muhammad Ali Kasyif al-Ghitha’, dalam kitab Ashl as-Syi’ah wa Ushuliha, juga mengatakan hal senada:

الإِمَامُ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا كَالنَّبِيِّ عَنِ الخَطَإِ وَالخَطِيْئَةِ.

Imam wajib terjaga (maksum) dari keliru dan dosa sebagaimana Nabi.
(Muhammad Ali Kasyif al-Ghita’, Ashl as-Syi’ah wa Ushuliha, hlm. 59).

e. Tokoh kita Secondprind berkata : Semua penjelasan diatas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak Alloh ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. 
(https://secondprince.wordpress.com/2007/11/25/al-quran-dan-hadis-menyatakan-ahlul-bait-selalu-dalam-kebenaran/).

Kesimpulan dari teori kemaksuman para imam ahlul bait adalah, segala tindakan, ucapan, dan penetapan mereka selalu benar.

Benarkah demikian ? ....

Mari kita kritisi ......

Contoh kasus pertama

Bagi pemerhati Syi’ah, tentu tidak asing dengan dalih : ‘Membuat marah Faathimah sama dengan membuat marah Nabi’, karena keridlaan Faathimah bersama keridlaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam. Lantas, bagaimana hukumnya jika Faathimah membuat marah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa ?.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu ia (Ali) marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].

‘Aliy radliyallaahu ‘anhu sebagai imam ma’shum bagi Syi’ah tentu tidak marah kecuali karena melihat kemunkaran atau hak Allah dan Rasul-Nya dilanggar.

Maka dari kasus diatas ada 3 kemungkinan yang terjadi :
  1. Fatimah melakukan kemungkaran atau melanggar hak Alloh.
  2. Ali marah tanpa sebab.
  3. Salah satu dari mereka ada yang benar atau ada yang salah.
Tiga kemungkinan diatas secara pasti meruntuhkan doktrin kemaksuman syi'ah, Fatimah tidak mungkin melakukan kemungkaran karena beliau maksum, dan Ali pun tidak mungkin melanggar larangan Nabi saw untuk jangan marah tanpa sebab [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6116], padahal beliau juga maksum.

Contoh kasus yang kedua
 
Kisah penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali r.a. kepada Muawwiyyah r.a.
 
Orang-orang syi'ah mensifati bahwa Muawwiyyah adalah kafir (demikian pula dengan tokoh kita secondprince ini).

Dari kasus ini maka, timbul satu pertanyaan : "BENAR atau SALAHKAH tindakan beliau tadi ?"
 
Bila tindakan Hasan tadi benar, maka beliau tidak maksum, karena beliau telah salah dikarenakan menyerahkan kekuasaan kepada orang kafir.
 
Terlebih lagi bila tindakan Hasan bin Ali r.a. tadi adalah salah, maka jelas kemaksuman tidak melekat pada beliau.
 
Dari kedua contoh kasus tersebut apapun kemungkinannya tetap saja aqidah kemaksuman atau ishmah para imam adalah tidak ada.
 
 
 
 


 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar