SEMUA SHAHABAT ADIL TANPA TERKECUALI

Sudah menjadi ijma' kaum muslimin bahwa semua shahabat Nabi saw (semuanya tidak terkecuali) adalah manusia yang 'adil, yaitu jujur bukan pendusta.

Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir th 392 wafat th 463) beliau berkata :"Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama". (lihat : Al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah hal. 49; Tanbih Dzawin Najabahilla 'Adaalatis Shahabah oleh Qurasy bin Umar bin Ahmad hal. 23)

Ibnu Abdil Barr (363-463H) berkata :"Para shahabat tidak perlu kita periksa (keadilan) mereka, karena sudah ijma' Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa mereka semua Adil". [Al-Iti'ab fi Ma'rifati Ashab Juz I hal. 9 cet. Daarul Fikr 1398H]

Ibnu Hazm (384-456H) berkata :"Semua shahabat adalah 'adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka". [Ushulul Hadits hal. 386 dinukil dari Al-Ihkam fil Ushulil-Ahkam]

Ibnu Katsir (701-774H) berkata ;"Semua shahabat adalah 'adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengharap ganjaran yang baik (dari Allah)" [Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits hal.154]

DALIL-DALIL ATAS 'ADALAH SHAHABAT RASULULLOH SAW :
1. Shahabat muhajirin dan anshor sudah dita'dil oleh Alloh swt dalam surat At Taubah ayat 100. "Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungai-sungai didalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar".
 [At-Taubah 9 : 100].

2. Orang-orang berbai'at dibawah pohon sudah dita'dil Alloh swt dalam surat Al Fath ayat 18. "Artinya : Sesungghnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepada mu (Muhammad) di bawah pohon". [Al-Fath : 18].

3. Shahabat yang ikut yang mendengarkan khotbah Rasululloh saw pada waktu haji wada' juga sudah dita'dil oleh beliau, dengan sabda beliau : "Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir".

Kata Ibnu Hibban :"Hadits ini sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa semua shahabat adil dan tidak satupun diantara mereka yang tercela dan lemah. [Al-Jarh wat Ta'dil oleh Abi Lubabah ; Ibnu Hibban 1:123].

Setelah dipaparkan keterangan-keterangan diatas, tiba-tiba datang seorang yang majhul, tidak diketahui siapa namanya, nasabnya, dan kredibilitasnya (secondprince), berkoar-koar bahwa Muawiyah pendusta !! bahwa ada shahabat Rosululloh saw yang munafiq !!

Fiimaa antum ya secondprince ?

Orang majhul ini menyuntikkan bisanya dengan menukil dalam kitab Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi disebutkan bahwa diantara sahabat Nabi terdapat orang munafik.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم


 
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka.

Oleh karena itu dengan membaca Bismillahirrahmannirrahiim, dengan memohon taufik dari Alloh swt akan kami kupas syubhat orang majhul ini.

Telah maklum bahwa manusia ketika kedatangan Rasulullah saw terbagi menjadi 2 bagian, yaitu ada yang kafir dan ada yang muslim. Sedangkan yang muslim terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ada yang mukmin dan ada yang munafiq (lihat surat At Taubah ayat 101)


Kemudian Alloh menghendaki untuk memisahkan antara shahabat yang mukmin dengan shahabat yang munafiq (lihat surat Ali Imram ayat 179), dan kehendak Alloh pasti terjadi.

Kadang-kadang kalimat "shahabat" digunakan oleh Rasulullah saw dengan pengertian orang yang melihat beliau dalam keadaan secara lahiriah sebagai seorang muslim, baik dia seorang mukmin maupun munafiq.


Perhatikan riwayat dibawah ini :


حَدَّثَنَا عَلِيٌّ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، قَالَ عَمْرٌو : سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كُنَّا فِي غَزَاةٍ ، قَالَ سُفْيَانُ : مَرَّةً فِي جَيْشٍ ، فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ ، فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ : يَا لَلْأَنْصَارِ ، وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ : يَا لَلْمُهَاجِرِينَ ، فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : " مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ " ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ ، فَقَالَ : " دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ " ، فَسَمِعَ بِذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ، فَقَالَ : فَعَلُوهَا أَمَا وَاللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ عُمَرُ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ".

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah berkata ‘Amru : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Kami pernah berada dalam satu peperangan – Sufyaan berkata : dalam perkumpulan pasukan - , lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar. Lalu orang Anshaar itu berkata : “Wahai orang-orang Anshaar !”. Dan orang Muhaajirin itu juga berkata : “Wahai orang-orang Muhaajiriin !”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar hal tersebut, lalu bersabda : “Ada apa dengan seruan-seruan Jaahiliyyah ini ?!”. Mereka berkata : “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar”. Beliau bersabda : “Tinggalkanlah hal itu, karena ia sesuatu yang busuk”. Lalu ‘Abdullah bin Ubay mendengarnya dan berkata : “Lakukanlah, demi Allah, seandainya kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang hina”. Sampailah perkataannya itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdirilah ‘Umar dan berkata : “Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas leher orang munafik itu !”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia, sehingga orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh shahabatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4905].


Dalam hal ini Rasulullah saw menyebut Abdullah bin Ubay bin Salul gembong munafiq dengan sebutan shahabat.


Kemudian perhatikan juga riwayat di bawah ini :


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ



Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Muslim dalam Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094.

Shahabat dalam riwayat ini yang dimaksud adalah shahabat Nabi saw yang mukmin, yang bukan munafiq. Qarinah untuk ini adalah, bahwa infaq orang munafiq tidak diterima oleh Alloh swt. (lihat surat At Taubah ayat 53 dan 54)


Setelah kita mengetahui kalimat "shahabat" yang digunakan dalam hadits-hadits tersebut, maka tibalah gilirannya bagi kita untuk mengetahui bagaimana Alloh swt memisahkan antara shahabat dengan munafiq. 


Fase perang badar, tidak ada munafiq yang ikut dalam pasukan perang badar, perhatikan firman Alloh yang berkaitan dengan peristiwa perang Badar di bawah ini :


Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. (Ali-Imran : 13)


Perhatikanlah  Allah menyebut orang yang ikut serta dalam perang Badar sebagai orang-orang yang berperang di jalan Allah, mana ada munafik yang berperang di jalan Allah? Juga perhatikanlah bahwa  Allah menyebut mereka dengan orang-orang muslimin.



Masih berkaitan dengan pasukan badar, Alloh berfirman :


(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh sedang kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Al-Anfaal : 42)


Perhatikan tujuan Allah mempertemukan dua pasukan di Badar adalah agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula, artinya orang-orang yang ikut serta dalam peperangan Badar sangat jelas status-nya yaitu sebagai orang-orang yang beriman yang berjihad di jalan Allah, sedangkan Munafik tidak ada bagian buat mereka dalam hal ini.


Terakhir firman Alloh berkaitan dengan peristiwa Badar :


Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (An-Nisaa : 84)


Di ayat ini Alloh menamai pasukan Badar dengan sebutan "mukmin", yang berarti bebas dari penyakit kemunafikan.


Adapun adanya dosa yang dilakukan oleh ahlul Badar, sebagaimana yang dilakukan oleh Hathib bin Abi Balta'ah, yang mana beliau dikatakan munafiq oleh umar, maka Rasulullah saw menentang perkataan Umar tersebut, dan menetapkan adanya pengampunan dari Alloh atas dosa yang dilakukan Hathib.



Bahkan Alloh menurunkan ayat tentang peristiwa Hathib ini dalam surat Al Mumtahanah ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)


Perhatikan Allah memanggil dengan panggilan “Hai orang-orang yang beriman” artinya walaupun pelanggaran Hathib ini termasuk pelanggaran yang berat, tetapi tidak sampai mengeluarkan dia dari lingkaran orang yang beriman.

Demikian juga seperti kasus Mu’attib bin Qusyair yang terindikasi sebagai veteran Badar yang ikut dalam perang Uhud tetapi di saat peperangan tersebut dia terkena syubhat jahiliyyah sehingga sempat mengeluarkan kata-kata yang mirip perkataan kaum munafik, dan langsung turun ayat Allah untuk meluruskannya, kita tidak bisa mengatakan bahwa dia adalah seorang munafik (lihat surat Ali Imran ayat 154), karena dari keterangan Al-Qur’an dengan jelas dikatakan bahwa kaum munafik tidak ikut serta pada perang Uhud (lihat Ali-Imran : 167-168). Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan orang munafik atau perbuatan orang kafir, belum tentu orang tersebut adalah seorang munafik. Dan satu hal lagi bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar mempunyai potensi untuk bertaubat apalagi para sahabat Nabi, yang mereka kita kenal adalah orang-orang ahlu taubah. Nah kesimpulan inilah yang akan menjadi dasar pijakan kita dalam menyikapi riwayat-riwayat yang berkaitan dengan kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh sahabat Badar, Baitur Ridwan atau golongan lainnya yang mendapat ampunan dari Allah atas apapun yang mereka lakukan, yang tentunya kita bisa katakan bahwa riwayat-riwayat seperti ini hanya segelintir saja dibandingkan riwayat-riwayat keutamaan mereka, tetapi riwayat-riwayat seperti ini sangat disukai dan dicari-cari oleh orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit yaitu keinginan untuk mendiskreditkan sahabat Nabi.

Kasus
Mu’attib bin Qusyair ini terdapat dalam riwayat di bawah ini :

حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن إسماعيل الصائغ، قَالَ حَدَّثَنَا يوسف بْن البهلول قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ إدريس، عَنْ ابْن إِسْحَاقَ، قَالَ حدثني يحيى بْن عباد بْن عَبْدِ اللهِ بْن الزبير، عَنْ أبيه، عَنْ عَبْد اللهِ بْن الزبير، قَالَ قَالَ الزبير  أرسل الله علينا النوم يعني يوم أحد فوالله إني لأسمع كالحلم قول معتب بْن قشير {لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَهُنَا} فحفظتها منه، وفي ذَلِكَ أنزل الله جَلَّ وَعَزَّ  {ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا} إِلَى قوله  {مَا قُتِلْنَا هَهُنَا} ، لقول معتب بْن قشير


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail Ash Shaa’igh yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Buhlul yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dari Ibnu Ishaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin ‘Abbad bin ‘Abdullah bin Zubair dari ayahnya dari Abdullah bin Zubair yang berkata Zubair berkata Allah SWT mengirimkan rasa kantuk kepada kami yaitu pada perang Uhud maka demi Allah aku mendengar seolah seperti mimpi Mu’attib bin Qusyair berkata “sekiranya ada bagi kita sesuatu dalam urusan ini maka niscaya kita tidak akan dibunuh disini” Aku pun menghafalkan perkataan itu, dan untuk hal itulah turun firman Allah [kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan keamanan berupa kantuk] hingga perkataannya [niscaya kita tidak akan dibunuh disini] yaitu perkataan Mu’attib bin Qusyair
[Tafsir Al Qur’an Ibnu Mundzir 2/457 no 1091]

Perhatikan perkataan Zubair, bahwa ia mendengar ucapan Mu'attib bin Qusyair dalam keadaan setengah sadar (seolah seperti mimpi), sehingga belum pasti bahwa Mu'attib berkata seperti itu.


Berkaitan dengan peristiwa diatas, Alloh menurunkan ayatnya dalam surat Ali Imran : 154, dimana diakhir ayat Alloh berkehendak untuk menguji sekaligus membersihkan apa yang ada dalam hati para shahabat.


Sekali lagi bahwa peristiwa kantuk itu adalah peristiwa setelah terjadinya perang Uhud, dan menurut surat Ali Imran ayat 167-168 orang-orang munafiq tidak turut berperang, sedangkan Mu'attib turut dalam peperangan, sehingga Mu'attib bukan munafiq. 


Selesai kasus Mu'atibb..... 


Masih membahas munafiq dalam ashabul badar, terdapat riwayat di bawah ini :



حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الزُّبَيْرَ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ خَاصَمَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجٍ مِنْ الْحَرَّةِ كَانَا يَسْقِيَانِ بِهِ كِلَاهُمَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْزُّبَيْرِ اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ آنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ اسْقِ ثُمَّ احْبِسْ حَتَّى يَبْلُغَ الْجَدْرَ فَاسْتَوْعَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَئِذٍ حَقَّهُ لِلْزُّبَيْرِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ ذَلِكَ أَشَارَ عَلَى الزُّبَيْرِ بِرَأْيٍ سَعَةٍ لَهُ وَلِلْأَنْصَارِيِّ فَلَمَّا أَحْفَظَ الْأَنْصَارِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْعَى لِلْزُّبَيْرِ حَقَّهُ فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ قَالَ عُرْوَةُ قَالَ الزُّبَيْرُ وَاللَّهِ مَا أَحْسِبُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ إِلَّا فِي ذَلِكَ {فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} الْآيَةَ


Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin Zubair bahwa Zubair menceritakan bahwa ia pernah berselisih dengan salah seorang dari kaum Anshar yang pernah ikut perang Badar kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang saluran air dari Al Harrah dimana keduanya sama-sama menyiram kebun mereka dengannya. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada Zubair “siramlah wahai Zubair kemudian alirkan kepada tetanggamu”. Maka orang Anshar itu marah dan berkata “wahai Rasulullah ia putra bibimu”. Maka wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berubah kemudian berkata kepada Zubair “siramlah kemudian tahanlah air hingga memenuhi kebun”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memutuskan untuk memenuhi hak Zubair padahal sebelumnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keluasan ketika orang Anshar itu tidak menerima maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memutuskan hak Zubair sesuai dengan hukum yang semestinya. Urwah berkata Zubair berkata demi Allah tidaklah aku mengira ayat ini turun melainkan untuk perkara ini “maka demi Tuhanmu mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan”
[Shahih Bukhari 3/187 no 2708]

Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari ketika menjelaskan hadis ini, ia menukil bahwa sebagian orang berkata bahwa yang berselisih dengan Zubair adalah orang munafik, sebagian yang lain berkata orang tersebut adalah sahabat Nabi. Ibnu Hajar merajihkan bahwa ia adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang ikut dalam perang Badar. Sehingga ketika menafsirkan lafaz “laa yu’minun” atau tidak beriman, Ibnu Hajar mengutip Ibnu At Tiin yang berkata “jika benar orang tersebut adalah sahabat Badar maka makna perkataan “tidak beriman” adalah tidak sempurna imannya” (bukan munafiq)  wallahu ‘alam” [Fath Al Bari 5/36]

Sungguh benar pendapat Ibnu Hajar di atas, karena berdasarkan Al-Qur’an orang-orang yang ikut perang Badar tidak ada yang disebut munafik, apa yang dilakukan oleh sahabat Badar tersebut adalah suatu perbuatan dosa, tetapi men-judge dia adalah munafik adalah tidak benar karena jika dia memang benar ikut dalam perang Badar maka dia termasuk yang diampuni oleh Allah atas apa yang dia lakukan, artinya bahwa apa yang dia lakukan tidak sampai membuatnya menjadi seorang munafik, kafir atau murtad, karena 3 kategori tersebut tidak akan mendapat pengampunan dari Allah, hal ini mirip dengan kisah Hathib di atas

Adapun perkataan  Al Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghalaabiy yang mengatakan kemunafikan Al Harits bin Suwaid sebagaimana riwayat dibawah ini :

أخبرنا أبو محمد السكري ببغداد أنبأ أبو بكر الشافعي ثنا جعفر بن محمد بن الأزهر ثنا المفضل بن غسان الغلابي وهو يذكر من عرف بالنفاق في عهد النبي صلى الله عليه و سلم قال والحارث بن سويد بن صامت من بني عمرو بن عوف شهد بدرا وهو الذي قتل المجذر يوم أحد غيلة فقتله به نبي الله صلى الله عليه و سلم


Telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Al Askariy di Baghdad yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy Syafi’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Al Azhar yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghalaabiy dan ia menyebutkan diantara orang yang dikenal munafik di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], ia berkata Al Harits bin Suwaid bin Shaamit dari Bani ‘Amru bin ‘Auf orang yang ikut dalam perang Badar dan ia telah membunuh Mijdzar pada perang Uhud dengan tipudaya maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membunuhnya karena hal itu [Sunan Al Kubra Baihaqi 8/57 no 15841]


Jika hal ini benar, maka ini merupakan kekeliruan beliau, karena pembunuhan tidak mengkonsekuwensikan kemunafikan.


Kemudian barulah muncul orang-orang munafiq itu pada waktu perang Uhud, pada peristiwa ini terjadi pemisahan antara shahabat dengan orang-orang munafiq (lihat Ali Imran 167-168).


Kemudian Alloh memisahkan pula mereka dari pasukan muslimin sebagaimana firman Alloh :

Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka Katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku". Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (at-Taubah:83)

Kemudian Alloh memisahkan mereka dengan larangan mendoakan atau men-shalat-kan jenasah mereka, sebagaimana firman Alloh :

Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (at-Taubah:84)

Kemudian Alloh berkehendak apabila orang-orang munafiq tersebut tidak berhenti dari kemunafikannya, maka Alloh akan memerangi dan mengusir mereka agar terpisahlah mereka dari komunitas shahabat Nabi saw, sebagaimana firman Alloh :


Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. (Al-Ahzab:60-61).


Kemudian yang terakhir, Alloh menjanjikan jaminan akan bebasnya agama ini dari campur tangan kotor tangan-tangan orang-orang munafiq, sebagaimana firman Alloh :


Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya. (At-Taubah:48).


Kemudian bagaimana nasib orang-orang munafik sepeninggal Nabi saw ?

 
Telah datang riwayat di bawah ini untuk menjawab pertanyaan di atas.


حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاصِلٍ الْأَحْدَبِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ الْيَوْمَ شَرٌّ مِنْهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا يَوْمَئِذٍ يُسِرُّونَ وَالْيَوْمَ يَجْهَرُونَ


Bukhari, 72.55/6580. Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abi Iyas telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil Al Ahdab dari Abu Wa`il dari hudzaifah bin Yaman mengatakan; ‘kaum munafikin hari ini jauh lebih buruk daripada mereka yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebab dahulu mereka sembunyi-sembunyi, namun sekarang mereka lakukan secara terang-terangan.’

 
حَدَّثَنَا خَلَّادٌ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ إِنَّمَا كَانَ النِّفَاقُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَإِنَّمَا هُوَ الْكُفْرُ بَعْدَ الْإِيمَانِ


Bukhari, 72.56/6581. Telah menceritakan kepada kami Khallad telah menceritakan kepada kami Mis’ar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Sya’sya` dari Hudzaifah mengatakan; ‘Kemunafikan itu terjadi dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Adapun yang terjadi hari ini adalah kekufuran setelah beriman.’

Ibnu at-Tin berkata, “Orang-orang munafik pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam beriman dengan lisan mereka tetapi hati mereka tidak beriman sedangkan orang yang datang setelah mereka, maka ia dilahirkan dalam Islam dan di atas fitrah; siapa yang kafir dari mereka maka ia murtad. Oleh karena itu, vonis terhadap orang-orang munafik dan murtad berbeda.” (Diketengahkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 13/74).

Dari keterangan Ibnu At Tiin diatas dapat kita ketahui bahwa orang-orang munafiq pada jaman Nabi telah wafat sebagian bertaubat dan menjadi mukmin, yang sebagian lagi pasti mengalami kemurtadan.

Apalagi dalam riwayat dibawah ini : 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ ، قَالَ : كُنَّا عِنْدَ حُذَيْفَةَ ، فَقَالَ : " مَا بَقِيَ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْآيَةِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ ، وَلَا مِنَ الْمُنَافِقِينَ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : إِنَّكُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُونَا فَلَا نَدْرِي ، فَمَا بَالُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَبْقُرُونَ بُيُوتَنَا ، وَيَسْرِقُونَ أَعْلَاقَنَا ، قَالَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ ، أَجَلْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، أَحَدُهُمْ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، لَوْ شَرِبَ الْمَاءَ الْبَارِدَ لَمَا وَجَدَ بَرْدَهُ


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Wahb, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata : “Tidaklah tersisa orang yang dimaksud dalam ayat ini (yaitu QS. At-Taubah : 12) kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-orang munaafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata : “Sesungguhnya kalian adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab : “Mereka itu orang-orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka (kaum munafik) kecuali empat orang, yang salah seorang dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4658].


Dari riwayat diatas, dapat kita ketahui, bahwa orang-orang munafiq pada masa Hudzaifah wafat hanya tinggal 4 orang saja, dan mereka telah dikenali.


Terakhir, sebagai penguat tak terbantahkan atas keadilan para shahabat Rasulullah saw dan merupakan sebesar-besar ta'dil dari Alloh swt adalah terjaganya kemurnian Al Qur'an lantaran atas usaha para shahabat Rasulullah saw tersebut.


Kesimpulan akhir, bahwa 12 orang munafiq dalam hadits Muslim tersebut bukanlah dari golongan shahabat Nabi saw, dan telah kokoh jaminan Alloh atas bersihnya agama ini (termasuk hadits-haditsnya) dari campur tangan orang-orang munafiq, sekaligus hal ini meng-kokoh-kan ijma' ulama akan keadilan seluruh shahabat Rasulullah saw.


Walhamdulillah ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar