Pertama.
Hal ini telah dijelaskan oleh
Imam Adz Dzahabi (wafat 748 H) tatkala membahas biografi salah seorang
perawi syi’ah yang haditsnya tercantum dalam Shahih Muslim.
Perawi tsb
bernama Aban bin Tighlab Al Kufy.
Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته) artinya: Ia
seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq (jujur). Maka kita ambil
kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk bid’ahnya.
Beliau lantas menyebutkan bahwa
Aban bin Tighlab ini dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, Yahya
bin Ma’ien dan Abu Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy menyebutkannya dalam
kitab Dhu’afa –yg berisi para perawi lemah-, dan mengatakan (وكان غاليا
في التشيع) artinya, ia bersikap ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’).
Sedangkan As Sa’dy menyifatinya dengan ungkapan (زائغ مجاهر), artinya:
orang sesat yang menampakkan kesesatannya.
Lalu Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut faham bid’ah dianggap ‘aadil?
(berikut ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛ فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء لذهب جملة من الاثار النبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya adalah bahwa bid’ah
itu terbagi dua. Ada bid’ah sughra (kecil) seperti sikap tasyayyu’ yg ghuluw, atau tasyayyu’ yg tidak ghuluw dan tidak diiringi dengan
penyimpangan keyakinan. Yang seperti ini banyak dijumpai di kalangan
tabi’in dan tabi’it tabi’ien, akan tetapi mereka juga memiliki kualitas
agama yang baik, sikap wara’ (hati-hati dan takut kpd Allah), serta
kejujuran. Bila hadits mereka kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah
besar hadits Nabi, dan ini merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total, rafidhah ghuluw, menghina Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-,
dan mengajak orang untuk berpemahaman demikian (alias menjadi da’i
rafidhah); maka yang seperti ini riwayatnya tidak menjadi hujjah dan
tidak ada nilainya.
Lagi pula, saat ini aku
tidak mengingat ada seorang pun dengan kriteria seperti ini (rafidhah)
yang bersifat jujur dan bisa dipercaya, namun justru mereka terkenal
sebagai tukang dusta, dan ahli bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas
bagaimana mungkin orang yg spt ini keadaannya bisa diterima riwayatnya?
Sama sekali tidak mungkin.
Jadi, seorang syi’i ghuluw
di zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang
mengritik dan mencaci Utsman, Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan sejumlah
kalangan yang memerangi Ali –radhiyallaahu ‘anhum-.
Sedangkan syi’i ghuluw di zaman kita dan menurut definisi kita, ialah mereka yang
mengkafirkan tokoh-tokoh tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula
terhadap Abu Bakar dan Umar.
Nah, orang seperti ini jelas sesat dan
tergelincir. Sedangkan Aban bin Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar
dan Umar, namun boleh jadi ia sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia
dari mereka berdua.
Selesai perkataan Imam Dzahabi .....(Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.)
Kedua
Sedangkan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H) mengatakan:
التشيع في عرف المتقدمين هو
اعتقاد تفضيل علي على عثمان وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ
مع تقديم الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول
الله صلى الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا
ترد روايته بهذا لاسيما إن كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو
الرفض المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah tasyayyu’ dalam
pengertian para ulama terdahulu (salaf), maksudnya ialah meyakini bahwa
Ali lebih afdhal dari Utsman, atau bahwa Ali senantiasa benar dalam
semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah
keliru; yang disertai dengan sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar
dan Umar) serta lebih memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada
sebagian dari kaum syi’ah (tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai
manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dan bilamana yang berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’,
taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang
diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tsb.
Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ menurut pengertian ulama mutaakhkhirin (ulama setelah generasi salaf); maka maksudnya adalah rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi ghuluw tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.
Selesai perkataan Imam Ibnu Hajar .....Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
Ketiga
Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat jarang meriwayatkan dari orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits yang tidak menjadi hujjah secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
البخاري يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات والتراجم
Imam Bukhari berpendapat
bahwa terputusnya sanad merupakan ‘illah (cacat yg melemahkan suatu
hadits). Oleh karenanya, ia tidak meriwayatkan hadits-hadits yang
kondisinya seperti itu, kecuali bila hadits tersebut diluar topik utama
kitab beliau, seperti hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang
beliau sisipkan di bawah judul-judul bab.
Selesai perkataan Imam Ibnu Hajar .....Lihat: Hadyus Saari (muqaddimah Fathul Baari) 1/8.
Kami katakan : Artinya, Imam Bukhari tidak
meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung dari beliau hingga
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, yang dalam sanad tersebut
terdapat perawi rafidhi; dan tidak ada perawi lain yang menyertainya
dalam riwayat tersebut; kemudian tidak ada hadits lain dalam bab yang
sama.
Namun bila hadits yg dimaksud
adalah hadits-hadits mu’allaq, atau sekedar perkataan sampingan yang
beliau sisipkan di bawah judul-judul bab; maka ini tidak mengurangi
nilai shahih Bukhari sama sekali. Sebab maksud utama penyusunan kitab
ini adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yg bersambung sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau;
sebagaimana yg dapat difahami dari judul asli shahih Bukhari itu
sendiri, yaitu (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه
وأيامه).
Keempat
Dalam kitab Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40), disebutkan:
قال أبو عبد الله: ما أبالي
صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم
ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu Abdillah berkata: “Aku
tidak membedakan apakah aku shalat bermakmum di belakang seorang Jahmi
dan Rafidhi, ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara. Mereka
tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh
dinikahi (wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan
sembelihannya”.
Abu Abdillah adalah kun-yah
atau sapaan akrab dari Imam Bukhari itu sendiri. Lihatlah bagaimana
beliau menyamakan antara seorang jahmi dan rafidhi dengan orang kafir
seperti yahudi dan nasrani!!! Dan itu beliau sebutkan dalam salah satu
kitab tulisan beliau, bukan dinukil oleh orang lain.
Kelima
Dalam Kitab As Sunnah (1/493-494), Abu Bakar Al Khallal meriwayatkan dengan sanadnya sbb:
وعن أبي بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abu Bakar Al Marrudzi,
katanya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang
yangmencaci Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Kata beliau: “Menurutku ia tidak
berada di atas Islam”.
وعن إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari Isma’il bin Ishaq, bahwa
Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki
tetangga seorang rafidhi, bolehkah ia disalami? Kata beliau: “Tidak.
Dan bila si rafidhi menyalaminya, jangan dijawab”.
Perlu kami tambahkan, bahwa Ahlussunnah membedakan antara SYI'AH - RAFIDHAH disebut juga dengan SYI'AH GHULUW - RAFIDHAH GHULUW - RAFIDHAH SUPER GHULUW.
Hal ini bisa difahami dari penjelasan Ibnu Hajar dlm Muqaddimah Fathul Baarinya (1/459) sbb:
والتشيع محبة عليٍّ وتقديمه على الصحابة. فمن قدمه على
أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه، ويطلق عليه رافضي؛ وإلا فشيعي، فإن
انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض فغال في الرفض. وإن اعتقد الرجعة إلى
الدنيا فأشد في الغلو.
Tasyayyu’
artinya mencintai Ali dan mendahulukannya di atas para sahabat. Barang
siapa mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, maka dia ghuluw dalam
tasyayyu’nya, dan disebut juga Rafidhi. Namun bila tidak demikian, maka
disebut Syi’i. Bila disamping itu dia juga mencaci dan menyatakan kebenciannya, maka dia ghuluw dalam kerafidhahannya. Dan bila ia
meyakini raj’ah (hidup kembalinya para imam utk melampiaskan dendam kpd
musuh2-nya), berarti ia lebih ghuluw lagi.
Dari
sini bisa kita simpulkan bahwa perawi yg tergolong syi’ah ada 4 macam:
- Syi’ah biasa: yaitu yg sekedar melebihkan Ali di atas para sahabat, tanpa mencaci maki seorang pun dari mereka.
- Syi’ah ghuluw/Rafidhah: yaitu yg melebihkan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tanpa mencaci maki mereka berdua.
- Rafidhah ghuluw : yaitu yg melebihkan Ali di atas mereka berdua dan mencaci maki mereka berdua.
- Rafidhah super ghuluw : yang meyakini Ali akan kembali hidup untuk melampiaskan dendam kpd musuh-musuhnya, seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan Hafshah.
Oleh karena itu riwayat-riwayat syiah yang diambil dari kitab-kitab hadits mereka, diantaranya kitab Al Kaafie Al Kulaini, kitab Faqih man laa yahdluruhul kaqih karya Muhammad Babawaih Ash Shaduq, serta kitab At Tahdzib dan kitab Al Istibshar keduanya karya Muhammad bin Hasan Ath Thusi, harus pula diberlakukan kaedah jarh wat ta'dil.
Dan sebagaimana kita ketahui bahwa penulis kitab-kitab tersebut adalah seorang rafidhah, sehingga kitab-kitab mereka tersebut tidak ada nilainya di sisi para imam Ahlul Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar