Tidak merasanya Ali ra ditunjuk sebagai kepemimpinan umat sepeninggal Nabi saw telah ditetapkan dalam hadis-hadis shahih, dibenarkan oleh mereka yang mengetahuinya dan diingkari oleh para pengingkar.
Di antara pengingkaran mereka adalah melakukan
syubhat ditengah-tengah umat dengan melemahkan atsar-atsar tentang Ali ra tidak
merasa ditunjuk oleh Nabi saw, dan men-shahih-kan atsar-atsar tentang wasiat
kepemimpinan Nabi saw kepada Ali.
Adapun riwayat wasiat kepemimpinan Nabi saw masih
bermakna mujmal, masih diperselisihkan, apakah yang dimaksud adalah
kepemimpinan ataukah yang dimaksud adalah kecintaan.
Sedangkan riwayat Rasulullah saw tidak pernah berwasiat
tentang kepemimpinan kepada Ali ra, mempunyai makna yang satu dan jelas, yaitu
tentang imamah (kepemimpinan).
Tulisan ini bermaksud untuk menyibak kabut
syubhat mereka, menjelaskan secara tuntas akan keberadaan riwayat Ali ra tidak
merasa ditunjuk sebagai pengganti kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw,
sekaligus sebagai pembantah bagi mereka yang melemahkannya.
Bismillahirrahmanirrahim, dengan memohon taufik dari Allah, inilah pembahasannya.
Riwayat Abdullah bin Sabu’
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
سَبُعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: لَتُخْضَبَنَّ
هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى؟ ! قَالُوا: يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ، فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ، قَالَ: إِذًا تَالَلَّهِ
تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا، قَالَ: لَا،
وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ؟
وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً: إِذَا لَقِيتَهُ؟ قَالَ: أَقُولُ: ” اللَّهُمَّ
تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ، ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ
فِيهِمْ، فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Waki’ yang
berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari
Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu]
mengatakan Sungguh akan diwarnai dari sini hingga sini, dan tidak menungguku
selain kesengsaraan.” Para shahabat bertanya “Wahai Amirul-Mukminiin
beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya”. Ali berkata
“Kalau begitu demi Allah, kalian akan membunuh orang selain pembunuhku.” Mereka
berkata “Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami”. ‘Aliy menjawab
“Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wasallam] tinggalkan untuk kalian”. Mereka bertanya “Apa
yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadap-Nya?”. Dalam
kesempatan lain Wakii’ berkata “Jika kamu bertemu dengan-Nya?” ‘Aliy berkata
“Aku akan berkata Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana
tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika
Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka
hancurkanlah mereka [Musnad Ahmad 1/30]
Hadis dengan jalan ini juga diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 3/20, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 14/596
& 15/118, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no 341, Al Khallaal dalam As Sunnah no
332, Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 594 dan Ibnu Asakir dalam
Tarikh Dimasyq 42/538. Semuanya dengan jalan sanad dari Waki’ dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah
bin Sabu, riwayat ini shahih bersambung
hingga Ali ra. (riwayat no. 1)
Waki’ mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakar bin
‘Ayyasy sebagaimana disebutkan Al Laalikaa’iy dalam Syarh Ushul Al I’tiqaad
1/664-665 no 1209 dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538-539 dengan jalan Ishaaq bin Ibrahim dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al
A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Ishaq bin
Ibrahim berkata :
سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَيَّاشٍ،
يَقُولُ: عِنْدِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ أَخْبَرَنِي الأَعْمَشُ،
عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، أَنَّ
عَلِيًّا خَطَبَهُمْ بِهَذِهِ الْخُطْبَةِ
Aku mendengar Abu Bakar bin ‘Ayyasy mengatakan
“disisiku hadis ini sanadnya jayyid, telah mengabarkan kepadaku Al A’masy dari
Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ bahwa Aliy berkhutbah kepada mereka
dengan khutbah ini
Tashshih Abu Bakar bin ‘Ayyasy terhadap sanad ini
menunjukkan tautsiq terhadap para perawinya termasuk Abdullah bin Sabu’.
Sehingga terangkatlah jahatul ‘ainnya Abdullah bin Sabu’.
SYUBHAT PERTAMA ATAS TASHSHIH ABU BAKAR BIN AYYASY
1. Adapun para pengingkar yang menolak tashshih Abu Bakar bin Ayyasy ini dengan alasan jauhnya jarak usia Abu Bakar bin Ayyas dengan usia Ishaq bin Ibrahim (Ishaq bin Ibrahim masih hidup 63 tahun setelah meninggalnya Abu Bakar bin Ayyasy) menunjukkan bahwa Ishaq bin Ibrahim menerima riwayat ini ketika Abu Bakar sudah mengalami ikhtilath karena sudah tua.
1. Adapun para pengingkar yang menolak tashshih Abu Bakar bin Ayyasy ini dengan alasan jauhnya jarak usia Abu Bakar bin Ayyas dengan usia Ishaq bin Ibrahim (Ishaq bin Ibrahim masih hidup 63 tahun setelah meninggalnya Abu Bakar bin Ayyasy) menunjukkan bahwa Ishaq bin Ibrahim menerima riwayat ini ketika Abu Bakar sudah mengalami ikhtilath karena sudah tua.
2. Para pengingkar itu menolak tashshih Abu
Bakar bin Ayyasy dengan alasan lain, yaitu : Abu Bakar bin ‘Ayyasy adalah perawi
yang diperbincangkan keadaannya sebagian menta’dilkannya dan sebagian
menjarh-nya karena terdapat kelemahan pada hafalannya bahkan Muhammad bin
Abdullah bin Numair mendhaifkan hadisnya dari Al A’masy dan selainnya. Abu
Bakar buruk hafalannya ketika beranjak tua. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli
ibadah, buruk hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At
Taqrib 2/366].
3. Tidak puas dengan syubhat-syubhat diatas, para pengingkar masih melancarkan syubhat yang lain lagi, yaitu : selain itu yang menguatkan bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy ini berasal dari hafalannya yang buruk adalah tadlis Al A’masy merupakan perkara ma’ruf di sisi Abu Bakar maka bagaimana mungkin ia mengatakan hadis tersebut sanadnya jayyid padahal di dalamnya ada ‘an anah dari Al A’masy.
3. Tidak puas dengan syubhat-syubhat diatas, para pengingkar masih melancarkan syubhat yang lain lagi, yaitu : selain itu yang menguatkan bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy ini berasal dari hafalannya yang buruk adalah tadlis Al A’masy merupakan perkara ma’ruf di sisi Abu Bakar maka bagaimana mungkin ia mengatakan hadis tersebut sanadnya jayyid padahal di dalamnya ada ‘an anah dari Al A’masy.
JAWABAN ATAS SYUBHAT PERTAMA
Yang menguatkan bahwa Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan hadits tersebut kepada Ishaq bin Ibrahim adalah diwaktu beliau tidak mengalami ikhtilath, adalah kesamaan secara persisi antara riwayat yang beliau sampaikan dengan jalur hadits yang diriwayatkan oleh Wakie', baik dalam matannya maupun dalam sanadnya.
Yang menguatkan bahwa Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan hadits tersebut kepada Ishaq bin Ibrahim adalah diwaktu beliau tidak mengalami ikhtilath, adalah kesamaan secara persisi antara riwayat yang beliau sampaikan dengan jalur hadits yang diriwayatkan oleh Wakie', baik dalam matannya maupun dalam sanadnya.
SYUBHAT KEDUA ATAS TASHSHIH ABU BAKAR BIN AYYASY
Para pengingkar masih berusaha menolak tashshih dengan argumen ini : Apalagi hadis ini juga diriwayatkan oleh Aswad
bin ‘Amir dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dengan sanad yang berbeda yaitu dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin
Sabu’ dan tanpa penyebutan tashih sanad yaitu sebagaimana disebutkan
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 1/156 dan Fadha’il Ash Shahabah no 1211
نا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ
بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ ، قَالَ:
خَطَبَنَا عَلِيٌّ
Telah menceritakan kepada kami Aswad bin
‘Aamir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar dan ia adalah Ibnu
‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang
berkata “Ali berkhutbah kepada kami”
Aswad bin ‘Aamir wafat tahun 208 H yang
berdekatan dengan wafatnya Abu Bakar bin ‘Ayyasy tahun 194 H. Walaupun tidak
diketahui apakah Aswad bin ‘Aamir meriwayatkan sebelum atau sesudah Abu Bakar
berubah hafalannya tetapi dilihat dari tahun wafat mereka maka Aswad bin ‘Aamir
memiliki kemungkinan yang lebih besar meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum
hafalannya buruk. Maka riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy yang lebih rajih adalah
riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir darinya yaitu riwayat Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’
JAWABAN ATAS SYUBHAT TASHSHIH ABU BAKAR BIN AYYASY YANG KEDUA
Ini hanyalah pendapat para pengingkar tersebut, dimana mereka menyalahi si pemilik riwayat itu sendiri yang jelas-jelas lebih menjayyid-kan jalur riwayat A'masy dari Salim daripada jalur riwayat A'masy dari Salamah. Riwayat ini tidak diketahui apakah Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan sudah mengalami ikhtilath atau belum dan tidak ada jalur lain yang menjadi qarinah mutaba'ahnya. Sehingga yang lebih rajih tetaplah riwayat Abu Bakar bin Ayyasy yang pertama (yang melalui Ibrahim bin Ishaq)
Ini hanyalah pendapat para pengingkar tersebut, dimana mereka menyalahi si pemilik riwayat itu sendiri yang jelas-jelas lebih menjayyid-kan jalur riwayat A'masy dari Salim daripada jalur riwayat A'masy dari Salamah. Riwayat ini tidak diketahui apakah Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan sudah mengalami ikhtilath atau belum dan tidak ada jalur lain yang menjadi qarinah mutaba'ahnya. Sehingga yang lebih rajih tetaplah riwayat Abu Bakar bin Ayyasy yang pertama (yang melalui Ibrahim bin Ishaq)
Inti kesalahan para pengingkar tersebut adalah
mencampuradukkan antara buruknya hafalan Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan hadits dengan penilaian Abu Bakar bin Ayyasy terhadap sanad. Kalau
mereka mau berfikir lebih dalam, maka perkara ini akan jelas seterang matahari.
Semoga !!!.
Sekali lagi kami tekankan bahwa pen-jayyid-an Abu
Bakar bin Ayyasy ini bukan berarti bahwa sanad yang ia riwayatkan berstatus
shahih, ini hanya berkaitan dengan pentautsiqan beliau atas perawi-perawi yang
ada dalam sanad tersebut, merupakan perawi-perawi yang tsiqah menurut beliau.
Mereka (A'masy, Salim dan Abdullah bin Sabu') merupakan orang-orang yang tsiqah
menurut Abu Bakar bin Ayyasy. Akan tetapi riwayat tersebut belum tentu shahih.
Adapun riwayat yang para pengingkar sebutkan
diatas, yaitu yang melalui jalur Al A’masy dari
Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ tidak shahih bersambung
sampai kepada A'masy akibat ikhtilathnya Abu Bakar bin Ayyasy. (riwayat no.2)
Khutbah Imam Ali riwayat Abdullah bin Sabu’ ini
juga diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdul Hamiid dari Al A’masy yaitu sebagaimana
disebutkan Abu Ya’la
حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ،
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ
بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيُّ
بْنُ أَبِي طَالِبٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah
yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari Al A’masy dari Salamah
bin Kuhail dari Saalim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy
bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami [Musnad Abu Ya’la no 590]
Riwayat Jarir ini juga disebutkan Adh Dhiyaa’ Al
Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 595, Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 198 dan
Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/540.
Jarir memiliki mutaba’ah dari Abdullah bin Dawuud
Al Khuraibiy sebagai mana disebutkan Ajjuriy dalam Asy Syari’ah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ:
سَمِعْتُ الأَعْمَشَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي
الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Hamiid Al Waasithiy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Dawud yang berkata aku mendengar Al A’masy dari Salamah bin
Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku
mendengar Ali [radiallahu ‘anhu] di atas mimbar [Asy Syari’ah 3/267-268]
Riwayat Abdullah bin Dawud juga disebutkan Al
Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 150 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/541
Riwayat Jarir bin Abdul Hamid diatas tidak shahih
bersambung sampai kepada A'masy akibat ikhtilathnya Jarir bin Abdul Hamid,
sedangkan riwayat Abdullah bin Dawud sanadnya shahih bersambung sampai kepada
A'masy. (riwayat no. 3)
Yahya bin Yaman meriwayatkan dari Ats Tsawriy
dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d tanpa menyebutkan ‘Abdullah bin Sabu’
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، نا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنِ
الأَعْمَشِ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Abi
Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yamaan dari
Sufyaan Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d yang berkata
dikatakan kepada Ali [radiallahu ‘anhu] [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no
1249 & 1317]. Riwayat diatas tidak shahih bersambung kepada A'masy
akibat ikhtilathnya Yahya bin Yaman. (riwayat no. 4)
Khotbah Ali ra yang diriwayatkan oleh Abdullah
bin Sabu diatas juga disaksikan oleh Tsa’labah bin Yazid Al Himmany. Riwayat
ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 871, Kasyf Al Astaar no 2572, Ad
Dalaa’il Baihaqiy 6/439, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/542 semuanya dengan jalan
sanad dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yaziid.
Berikut riwayat Al Bazzar
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ
الْجَوْهَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْجُنَيْدِ، قَالا: ثنا أَبُو
الْجَوَابِ، قَالَ: ثنا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ حَبِيبِ
بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ يَزِيدَ الْحِمَّانِيِّ، قَالَ: قَالَ
عَلِيٌّ: ” وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، لَتُخْضَبَنَّ
هَذِهِ مِنْ هَذِهِ لِلِحْيَتِهِ مِنْ رَأْسِهِ فَمَا يُحْبَسُ أَشْقَاهَا،
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُبَيْعٍ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ،
لَوْ أَنَّ رَجُلا فَعَلَ ذَلِكَ أَبَرْنَا عِتْرَتَهُ، قَالَ: قَالَ: أَنْشُدُكَ
بِاللَّهِ، أَنْ تَقْتُلَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ، أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنِّي أَتْرُكُكُمْ
كَمَا تَرَكَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
فَمَاذَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ وَقَدْ تَرَكْتَنَا هَمَلا، قَالَ:
أَقُولُ لَهُمُ اسْتَخْلَفْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ قَبَضْتَنِي
وَتَرَكْتُكَ فِيهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin
Sa’iid Al Jawhariy dan Muhammad bin Ahmad bin Al Junaid yang keduanya berkata
telah menceritakan kepada kami Abul Jawaab yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Ammaar bin Ruzaiq dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari
Tsa’labah bin Yazid Al Himmaniy yang berkata Aliy berkata “Demi Dzat yang
menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan semua jiwa. Sungguh akan diwarnai darah
dari sini hingga sini, yaitu dari kepala hingga jenggot. dan tidak menungguku
selain kesengsaraan”. Lalu ‘Abdullah bin Subai’ berkata
“Demi Allah wahai Amiirul-mukminiin, seandainya ada seorang laki-laki
yang melakukan hal itu, sungguh akan kami binasakan keluarganya”. Aliy
berkata “Aku bersumpah kepada Allah bahwasannya engkau membunuh orang yang
tidak membunuhku”. Mereka berkata “Wahai Amiirul-mukminiin, tidakkah engkau
mengangkat khalifah pengganti untuk kami?”. ‘Aliy menjawab “Tidak. Akan tetapi aku
akan meninggalkan kalian sebagaimana Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa
sallam] telah meninggalkan kalian”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Lalu, apakah
yang akan engkau katakan kepada Rabbmu apabila engkau menemui-Nya dimana engkau
meninggalkan kami mengurus keadaan kami sendiri?”. Aliy menjawab “Aku berkata
Engkau telah mengangkat aku sebagai khalifah di tengah-tengah mereka sesuai
kehendak-Mu, kemudian engkau mematikanku dan aku tinggalkan Engkau di
tengah-tengah mereka [Musnad Al Bazzaar no 871]
SYUBHAT ATAS RIWAYAT TSA'LABAH
Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘an anah Al A’masy dan Habib bin Abi Tsabit, keduanya dikenal sebagai mudallis. Ad Daruquthni memasukkan riwayat ini sebagai bagian dari idhthirab Al A’masy dan mengatakan tidak dhabit sanadnya [Al Ilal no 396]. Disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam 3/647 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 3/1125 yang mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid yaitu sampai lafaz “tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan” tanpa menyebutkan lafaz Abdullah bin Sabu’ berkata.
Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘an anah Al A’masy dan Habib bin Abi Tsabit, keduanya dikenal sebagai mudallis. Ad Daruquthni memasukkan riwayat ini sebagai bagian dari idhthirab Al A’masy dan mengatakan tidak dhabit sanadnya [Al Ilal no 396]. Disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam 3/647 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 3/1125 yang mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid yaitu sampai lafaz “tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan” tanpa menyebutkan lafaz Abdullah bin Sabu’ berkata.
Para pengingkar itu tidak bosan-bosannya
menyuntikkan syubhatnya dengan mengatakan : disini terdapat qarinah yang
menunjukkan illat [cacat] bahwa Al A’masy menampuradukkan antara hadis
Tsa’labah bin Yazid dan hadis Abdullah bin Sabu’. Maka riwayat Tsa’labah bin Yazid
tidak bisa dijadikan syahid riwayat Abdullah bin Sabu’ karena keduanya berasal
dari idhthirab Al A’masy.
JAWABAN ATAS SYUBHAT RIWAYAT TSA'LABAH
Menghukumi riwayat Tsa'labah terdapat idhthirab dalam matan dengan riwayat Abdullah bin Sabu, bisa diterima berdasarkan qarinah riwayat Imam Dzahabi dan Imam Ibnu Abdil Barr, kalimat tambahan perkataan Abdullah bin Sabu tersebut apakah memang terdapat dalam matan riwayat ataukah merupakan penggabungan dua riwayat yang berbeda yang dijadikan satu oleh A'masy.
Untuk menentukan mana yang benar dari dua kondisi riwayat A'masy diatas maka hendaklah dicermati dengan seksama matan hadits diatas, terdapat kalimat lalu 'Abdullah bin Subai berkata, dimana kalimat "lalu" adalah merupakan kelanjutan peristiwa sebelumnya yang diceritakan oleh Tsa'labah. Sehingga tidak benar bahwa riwayat tersebut merupakan penggabungan antara riwayat Abdullah bin sabu dengan riwayat Imam Dzahabi maupun Imam Ibnu Abdil Barr.
Adapun menghukumi riwayat Tsa'labah mengalami idhthirab dalam sanad dengan riwayat Abdullah bin Sabu merupakan kekeliruan yang nyata. Tentang penjelasan kesalahan penghukuman idhthirab atas jalur ini akan dikemukakan setelah penjelasan tarjih riwayat Abdullah bin Sabu.
Sedangkan status riwayat Tsa'labah ini adalah lemah akibat tadlis dari A'masy dan Habib, akan tetapi riwayat ini dapat dijadikan sebagai penguat, sebagaimana telah maklum bahwa riwayat mudallas sah dijadikan sebagai syahid.
Menghukumi riwayat Tsa'labah terdapat idhthirab dalam matan dengan riwayat Abdullah bin Sabu, bisa diterima berdasarkan qarinah riwayat Imam Dzahabi dan Imam Ibnu Abdil Barr, kalimat tambahan perkataan Abdullah bin Sabu tersebut apakah memang terdapat dalam matan riwayat ataukah merupakan penggabungan dua riwayat yang berbeda yang dijadikan satu oleh A'masy.
Untuk menentukan mana yang benar dari dua kondisi riwayat A'masy diatas maka hendaklah dicermati dengan seksama matan hadits diatas, terdapat kalimat lalu 'Abdullah bin Subai berkata, dimana kalimat "lalu" adalah merupakan kelanjutan peristiwa sebelumnya yang diceritakan oleh Tsa'labah. Sehingga tidak benar bahwa riwayat tersebut merupakan penggabungan antara riwayat Abdullah bin sabu dengan riwayat Imam Dzahabi maupun Imam Ibnu Abdil Barr.
Adapun menghukumi riwayat Tsa'labah mengalami idhthirab dalam sanad dengan riwayat Abdullah bin Sabu merupakan kekeliruan yang nyata. Tentang penjelasan kesalahan penghukuman idhthirab atas jalur ini akan dikemukakan setelah penjelasan tarjih riwayat Abdullah bin Sabu.
Sedangkan status riwayat Tsa'labah ini adalah lemah akibat tadlis dari A'masy dan Habib, akan tetapi riwayat ini dapat dijadikan sebagai penguat, sebagaimana telah maklum bahwa riwayat mudallas sah dijadikan sebagai syahid.
Dari paparan riwayat Abdullah bin Sabu mengenai khotbah Ali ra diatas, dapat
dilihat bahwa semua riwayat berporos kepada A'masy yang mana hal ini berakibat
penghukuman idhthirab atas jalur sanad-sanad tersebut, yaitu terdapat kegoncangan dari siapa A'masy menerima riwayat tersebut, dari Salim atau dari Salamah (lihat riwayat no. 1 dan no. 2), dan terdapat pula kegoncangan siapakah yang menerima riwayat dari Abdullah bin Sabu, apakah Salim atau Salamah (terdapat idhthirab antara riwayat no. 1 dengan riwayat no. 2 dan no. 3), dan terdapat kegoncangan pula siapakah yang mendengar khotbah Ali ra, Abdullah bin Sabu' ataukah Salim (idhthirab antara riwayat no.1,2,3 dengan riwayat no.4).
Akan tetapi melalui metode tarjih, dapat kita
pilih mana jalur yang shahih sampai A'masy, dan mana jalur yang tidak
bersambung sampai kepada A'masy.
Ternyata hanya ada dua jalur yang shahih
bersambung sampai kepada A'masy, yaitu :
a. A'masy -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra. (riwayat no. 1)
b. A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra. (riwayat no. 3)
Dari dua jalur tersebut terlihat bahwa A'masy
menggugurkan Salamah dalam jalur pertama (a) akibat dari tadlis beliau. Sehingga
tersingkaplah bahwa jalur yang asli adalah jalur kedua (b), dan hilanglah tuduhan
idhthirab untuk sanad ini. Akan tetapi masih ada cacat yang lain, yaitu masih
terjadi idhthirab dengan jalur sanad Tsa'labah.
Sekarang dipersilahkan para pembaca melihat dua jalur yang tersisa :
- A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra.
- A'masy -> Habib -> Tsa'labah -> Ali ra.
Apakah jalur ini idhthirab hanya dikarenakan
A'masy meriwayatkan dari Salamah dan dari Habib ?
Jalur ini tidak dapat dihukumi idhthirab, karena dapat didudukkan pada tempatnya masing-masing. A'masy adalah perawi yang dikenal sebagai perawi yang tsiqat lagi hafidz, yaitu perawi yang jujur dan hafalannya sangat bagus, sehingga tidak ada celah bagi beliau dituduh salah menyampaikan jalur sanad, tidak seperti perawi yang buruk hafalannya, perawi yang buruk hafalannya sangat dimungkinkan dia lupa atau salah menyampaikan jalur sanad akibat buruknya hafalannya, hal ini tidak terjadi pada perawi yang disifati hafidz.
Apalagi amat sangat dimungkinkan bahwa seorang perawi mempunyai jalan sanad yang banyak disebabkan banyak guru yang ia ambil haditsnya. Yang menguatkannya lagi bahwa jalur sanad A'masy menerima dari Habib terdapat pula dalam shahih Muslim hadits no. 1151.
Justru disinilah kita bisa mengetahui idhthirab
itu terjadi manakala ada kegoncangan/ke-tidak pasti-an dalam sanad maupun
matannya yang tidak dapat didudukkan posisinya. Kalau kita lihat riwayat
Abdullah bin Sabu, terlihat kegoncangan sanadnya, yaitu :Jalur ini tidak dapat dihukumi idhthirab, karena dapat didudukkan pada tempatnya masing-masing. A'masy adalah perawi yang dikenal sebagai perawi yang tsiqat lagi hafidz, yaitu perawi yang jujur dan hafalannya sangat bagus, sehingga tidak ada celah bagi beliau dituduh salah menyampaikan jalur sanad, tidak seperti perawi yang buruk hafalannya, perawi yang buruk hafalannya sangat dimungkinkan dia lupa atau salah menyampaikan jalur sanad akibat buruknya hafalannya, hal ini tidak terjadi pada perawi yang disifati hafidz.
Apalagi amat sangat dimungkinkan bahwa seorang perawi mempunyai jalan sanad yang banyak disebabkan banyak guru yang ia ambil haditsnya. Yang menguatkannya lagi bahwa jalur sanad A'masy menerima dari Habib terdapat pula dalam shahih Muslim hadits no. 1151.
- A'masy meriwayatkan dari siapa ? dari Salamah
atau Salim ? terjadi perselisihan, dalam sanad wakie' disebutkan dari Salim,
dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy dari Salamah.
- Siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu
? Salim atau Salamah ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' yang
meriwayatkan adalah Salim, dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy yang menerima
adalah Salamah.
- Siapakah yang meriwayatkan dari Ali ra ? Salim
atau Abdullah bin Sabu ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' adalah
Abdullah bin sabu dan dalam riwayat Yahya bin Yaman adalah Salim.
Tiga kegoncangan tersebut terdapat pada satu
jalur sanad Abdullah bin Sabu yang kesemuanya berpangkal pada A'masy, sehingga
riwayat dihukumi idhthirab.
Akan tetapi bila tidak terdapat perselisihan,
apalagi jalurnya adalah jalur yang berbeda, dan tidak ada qarinah bahwa telah
terjadi kegoncangan pada sanad maupun matannya, maka menghukumi idhthirab
semata-mata ada perawi yang meriwayatkan dari syaikh yang berbeda merupakan
suatu kekeliruan.
- Apakah pertanyaan A'masy meriwayatkan dari
siapa ? Salamah atau Habib ? merupakan hal yang diperselisihan ? jawabannya
tidak.
- Apakah pertanyaan Habib meriwayatkan dari siapa
? Salim atau Tsa'labah ? merupakan hal yang diperselisihkan ? jawabannya tidak.
- Apakah diperselisihkan siapakah yang diambil
riwayatnya oleh Tsa'labah ? Ali ra ataukah Abdullah bin Sabu ? jawabannya tidak.
A'masy dalam jalur Tsa'labah menerima riwayat
dari Habib tanpa perselisihan, demikian pula Habib menerima riwayat dari
Tsa'labah tanpa perselisihan, demikian pula Tsa'labah menerima riwayat dari Ali
juga tanpa perselisihan, sehingga sangatlah keliru apabila para pengingkar itu
menghukuminya dengan idhthirab/goncang sanadnya. Akan tetapi bila riwayat ini
dihukumi dhaif karena mudallisnya A'masy dan Habib, diterima.
Kesimpulan dari riwayat Tsa'labah ini, adalah :
tidak mengalami idhthirab, dapat menjadi syahid atas Abdullah bin sabu'.
Riwayat di bawah ini dapat digunakan qarinah menghilangkan cacat tadlis dari A'masy, sekaligus menguatkan riwayat Abdullah bin Sabu' tersebut, karena jalur ini tidak melalui A'masy
tetapi sama-sama melalui Salim.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَكِيمٍ، قال: ثنا أَبِي، قال: ثنا بَكْرُ بْنُ بَكَّارٍ،
قال: ثنا حَمْزَةُ الزَّيَّاتُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ
أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَلِيٌّ،
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Muhammad bin Ibrahiim bin Hakiim yang berkata telah menceritakan kepada kami
ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Bakr bin Bakkaar yang
berkata telah menceritakan kepada kami Hamzah Az Zayyaat dari Hakiim bin Jubair
dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/29]
Riwayat Bakr bin Bakkaar ini lemah akan tetapi ringan kelemahannya
karena hanya bermasalah dalam hal ke-dhabit-an perawinya saja. Berikut penilaian para ulama atas perawi lemah
tersebut, yaitu karena lemahnya Bakr bin Bakkaar
dan Hakim bin Jubair.
Mengenai Bakr bin Bakkaar, Abu Ashim An Nabiil
dan Asyhal serta Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata
“dhaif al hadits, buruk hafalannya dan mengalami ikhtilath”. Ibnu Ma’in berkata
“tidak ada apa-apanya”. Nasa’i terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang
berkata “tidak tsiqat”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Al Uqailiy, Ibnu Jaruud
dan As Saajiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 1 no 882]. Ibnu
Hajar dalam Lisanul Mizan no. 1566 memberikan contoh bahwa Bakr bin Bakkaar
pernah mencuri sanad.
Pembaca bisa lihat, bahwa Bakr bin Bakkaar
seorang yang tsiqat, akan tetapi mempunyai kelemahan dalam hafalannya sehingga
mengalami ikhthilat dan salah memasukkan sanad (diistilahkan Ibnu Hajar dengan
mencuri hadits). Keadaan perawi semacam ini dapat menguatkan dan dikuatkan
dengan sanad lain yang sebanding.
Mengenai Hakim bin Jubair, Ahmad berkata “dhaif
al hadits mudhtharib”, Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, Yaqub bin
Syaibah berkata “dhaif al hadits”. Abu Zur’ah berkata “shaduq insya Allah”. Abu
Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”. Nasa’i berkata “tidak kuat”.
Daruquthni berkata “matruk”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya” [At
Tahdzib juz 2 no 773]
Pembaca bisa lihat, pada dasarnya beliau adalah
shaduq tapi kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar, sehingga kebanyakan para
ulama meninggalkan periwayatan beliau (matruk), hal ini merupakan cacat dalam ke-dhabit-an, bukan dalam hal ke-'adalah-an.
Sudah maklum dalam ilmu mushthalah hadits, bahwa
riwayat yang lemah dari segi ke-dhabit-an dengan riwayat mudallas dapat menjadi
saling menguatkan. Riwayat Bakr bin Bakkaar dan riwayat A'masy ini dari segi
status haditsnya dapat saling kuat menguatkan dan dari segi jalur sanadnya
dapat memastikan bahwa Salim benar-benar meriwayatkan peristiwa tersebut.
Hal ini yang dilakukan Imam Asakir, ketika
meriwayatkan hadits Bakr bin Bakkar ini beliau mengatakan :
Saalim tidak mendengarnya [hadis itu] dari
‘Aliy, sesungguhnya ia hanyalah meriwayatkannya [hadis itu] dari ‘Abdullah bin
Sabu’.
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan
bin Muzhaffar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad. Dan
telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim bin Hushain yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy. Keduanya [Abu Muhammad dan Abu ‘Aliy]
berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang
berkata telah menceritakan kepada kami Wakii’ yang berkata telah menceritakan
kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang
berkata aku mendengar Aliy…[Tarikh Ibnu Asakir 42/538]
Jadi Imam Ibnu Asaakir menjadikan riwayat A'masy
ini sebagai penambal riwayat Bakr bin Bakkaar.
Sebagai tambahan, terdapat riwayat lain yang
diluar jalur A'masy yang walaupun lemah akibat adanya beberapa perawi majhul,
akan tetapi dapat menjadi pertimbangan bahwa Salamah benar meriwayatkan
peristiwa tersebut. Riwayatnya sebagai berikut : Dari Aban bin Taghlib dari
Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/541
أَنْبَأناهُ أَبُو بَكْرٍ الشِّيرُوِيُّ،
وَحَدَّثَنَا أَبُو الْمَحَاسِنِ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْهُ.ح
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْوَاسِطِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ،
قَالا: أنا الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْحِيرِيُّ، نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ
بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ، نا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
حَبِيبَةَ الْقُرَشِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ الْفُرَاتِ الْعِرَارُ،
نا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي
طَالِبٍ
Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy
Syiiruwiy dan telah menceritakan kepada kami Abu Mahaasin Abdurrazaq bin
Muhammad darinya. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Al Waasithiy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Khatib. Keduanya
berkata telah mengabarkan kepada kami Al Qaadhiy Abu Bakar Al Hirriy yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Abbaas Muhammad bin Ya’qub Al Ashaam
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin
Habiibah Al Qurasyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Hasan bin Furaat Al ‘Iraar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin ‘Umar dari Abaan bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin
Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkata [Tarikh Ibnu Asakir 42/541].
Riwayat ini dhaif sanadnya sampai Aban bin
Taghlib karena diriwayatkan oleh para perawi majhul (Abu Hasan Ali bin
Muhammad, Yahya bin Hasan, Muhammad bin Umar). Riwayat ini melalui Salamah,
sehingga besar kemungkinannya Salamah benar telah meriwayatkan peritiwa
tersebut.
Dari paparan-paparan diatas dapat diketahui bahwa
riwayat :
A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah
bin Sabu -> Ali
Berkedudukan tidak idhthirab, tadlis dari A'masy sudah hilang, akan tetapi masih
dhaif dikarenakan terjadi perselisihan antara para ulama mengenai status
Abdullah bin Sabu.
SYUBHAT ATAS MAJHULNYA ABDULLAH BIN SABU'
Para pengingkar tersebut berkata bahwa Abdullah bin Sabu adalah majhul 'ain, sehingga dhaif haditsnya tidak dapat naik menjadi hasan.
Para pengingkar tersebut berkata bahwa Abdullah bin Sabu adalah majhul 'ain, sehingga dhaif haditsnya tidak dapat naik menjadi hasan.
JAWABAN ATAS SYUBHAT TENTANG ABDULLAH BIN SABU'
Mari kita lihat :
Mari kita lihat :
- Abdullah bin Sabu disebutkan oleh Ibnu Hajar
sebagai seorang yang maqbul, artinya riwayatnya dhaif, sampai diketahui ada
mutaba'ahnya, riwayat Tsa'labah dan Amr bin Sufyan (yang akan dibahas kemudian)
menjadi mutaba'ah bagi Abdullah bin Sabu, sehingga riwayat Abdullah bin Sabu
dapat diterima menurut syarat Ibnu Hajar.
- Abdullah bin Sabu diambil riwayatnya oleh
Salim, dan di-jayyid-kan oleh Abu Bakar bin Ayyasy, yang berkonsekwensi
hilanglah majhul 'ain beliau.
- Syaikh Ahmad Syakir menilai tsiqat Abdullah bin
Sabu (lihat Musnad Ahmad no. 1078), dimana beliau memandang bahwa perawi yang
disebut dalam Ats Tsiqatnya Ibnu Hibban dan disebut biografinya oleh Bukhari
dan Abu Hatim tanpa menyebutkan jarh dan ta'dilnya, maka menurut beliau perawi
tersebut tsiqat. Dan ternyata disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats
Tsiqat juz 5 no 3646. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh
Al Kabir juz 5 no 283 dan Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 5/68
no 322, keduanya tidak menyebutkan jarh dan ta’dil pada Abdullah bin Sabu’.
Kesimpulannya bahwa Abdullah bin Sabu seorang
yang terkenal, beliau termasuk pengikut dalam pasukan Ali ra, dikenal oleh
Tsa’labah bin Yazid dan dimbil riwayatnya oleh Salim bin Abi Ja’d,
di-jayyid-kan oleh Abu Bakar bin Ayyasy dan ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban, Al
Haitsami dan Syaikh Ahmad Syakir.
Terakhir, riwayat Abdullah bin Sabu ini
dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan menurut Syaikh Syua’ib Al Arnauth
berderajat hasan lighairihi.
Riwayat ‘Amru bin Sufyan
Diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/114, Fadha’il
Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 477, As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1333, Al
Ilal Daruquthni no 442 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaaq dari Sufyan dari
Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy. Berikut riwayat Ahmad
dalam Musnad-nya
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا
سُفْيَانُ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي
إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ
اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ
وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ
وَاسْتَقَامَ، حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq
yang memberitakan kepada kami Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang
laki-laki dari Aliy [radiallahu ‘anhu] bahwa ia berkata pada saat perang Jamal
“Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak pernah
berwasiat kepada kami satu wasiatpun yang mesti kami ambil dalam masalah
kepemimpinan. Akan tetapi hal itu adalah sesuatu yang kami pandang menurut
pendapat kami, kemudian diangkatlah Abu Bakar menjadi Khalifah, semoga Allah
mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Ia menjalankan dan istiqamah di dalam
menjalankannya, kemudian diangkatlah Umar menjadi Khalifah semoga Allah
mencurahkan rahmatnya kepada Umar maka dia menjalankan dan istiqamah di dalam
menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya [Musnad Ahmad 1/114]
Abdurrazzaq dalam periwayatannya dari Sufyan
memiliki mutaba’ah yaitu Zaid bin Hubaab sebagaimana yang disebutkan dalam As
Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no 1327 dan Abul Yahya Al Himmaniy
sebagaimana disebutkan dalam Al Ilal Daruquthniy no 442. Riwayat ini shahih
bersambung sampai kepada Ali ra, dapat menjadi shahih sampai diketahui siapakah
laki-laki tersebut.
Kemudian diriwayatkan dalam As Sunnah Abdullah
bin Ahmad no 1334, Al Ilal Daruquthniy no 442, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, Al
I’tiqaad Baihaqiy hal 502-503 dan Tarikh Al Khatib 4/276-277 dengan jalan sanad
dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy. Berikut
sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ،
نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ عِصَامِ بْنِ النُّعْمَانِ، عَنْ سُفْيَانَ،
عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، قَالَ: ” خَطَبَ
عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ
Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi
Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafariy dari
‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan
yang berkata “Ali berkhutbah pada saat perang Jamal [As Sunnah Abdullah bin
Ahmad no 1334]
Dalam riwayat Baihaqiy yaitu dalam Ad Dalaa’il
dan Al I’tiqaad disebutkan bahwa Syu’aib bin Ayuub meriwayatkan dari Abu Dawud
Al Hafariy dari Sufyan tanpa menyebutkan ‘Ishaam bin Nu’man. Hal ini keliru,
karena dalam riwayat Daruquthni disebutkan dari Syu’aib bin Ayuub dari Abu
Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyan. Kemudian dalam riwayat
Al Khatib disebutkan dari Al Hafariy dari ‘Aashim bin Nu’maan dari Sufyan.
Riwayat ini sanadnya dhaif atau tidak tsabit
sampai Aswad bin Qais karena ‘Ishaam bin Nu’man atau ‘Aashim bin
Nu’man adalah seorang yang majhul tidak diketahui kredibilitasnya bahkan
namanya pun tidak jelas apakah ‘Ishaam ataukah ‘Aashim dan yang meriwayatkan
darinya hanya satu orang yaitu Abu Dawud Al Hafariy.
‘Ishaam bin Nu’maan dalam periwayatannya dari
Sufyaan memiliki mutaba’ah yaitu dari Husain bin Walid sebagaimana disebutkan
dalam Amaliy Al Jurjaniy no 13 yaitu dengan jalan sanad berikut
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ
الْحَسَنِ، ثَنا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ السُّلَمِيُّ، ثنَا الْحُسَيْنُ بْنُ
الْوَلِيدِ، ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ
الْعَبْدِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ الثَّقَفِيِّ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al
Husain bin Al Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Yazid As Sulamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waliid
yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan Ats Tsawriy dari Aswad bin
Qais Al ‘Abdiy dari ‘Amru bin Sufyan Ats Tsaqafiy [Amaliy Al Jurjaniy no 13]
Sanad ini dhaif jiddan atau tidak tsabit sanadnya
sampai Aswad bin Qais karena Muhammad bin Yazid As Sulamiy, Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15677]. Daruquthni berkata
“dhaif” [Ma’usuah Qaul Daruquthni no 3424]. Daruquthni juga berkata “ia
memalsukan hadis dari para perawi tsiqat” [Ta’liqat Daruquthni ‘Ala Al
Majruuhiin Ibnu Hibban 1/277]. Al Khatib berkata “matruk al hadits” [Tarikh
Baghdad 2/289].
Kemudian disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin
Ahmad no 1336, Al Ilal Daruquthni no 442, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 503-504, Adh
Dhu’afa Al Uqailiy 1/165, Al Mukhtaran Al Maqdisiy no 470 & 471, dengan
jalan sanad dari Abu Ashim An Nabiil dari Aswad bin Qais dari Sa’id bin
‘Amru bin Sufyan dari Ayahnya dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat
Abdullah bin Ahmad
حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحِيمِ ثِقَةٌ، وَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ
قَيْسٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِيهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya
Muhammad bin ‘Abdurrahiim tsiqat menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari
Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya [As
Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336]
Riwayat ini sanadnya walaupun dhahirnya shahih
sampai Al Aswad bin Qais dan Abu Ashim An Nabiil adalah Dhahhak bin Makhlaad
Asy Syaibaniy termasuk perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh
Ibnu Ma’in, Al Ijliy dan Ibnu Sa’ad. Umar bin Syabbah berkata “demi Allah aku
tidak pernah melihat orang yang sepertinya”. Al Khaliliy berkata disepakati
atasnya zuhud, alim, agamanya dan keteguhannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam
Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 4 no 793]. Ibnu
Hajar berkata “tsiqat lagi tsabit” [At Taqrib 1/444], akan tetapi perkataan
Ibnu Abi Hatim dibawah ini menjadi qarinah penta’lilan sanad ini apabila terjadi
perselisihan dan tidak ditemukan sanad lain yang menjadi mutaba’ahnya. Ibnu Abi
Hatim dalam biografi Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan berkata
سعيد بن عمرو بن سفيان روى عن ابيه عمرو بن
سفيان روى عنه الاسود بن قيس في حديث تفرد أبو عاصم النبيل في ادخاله سعيدا في
الاسناد فيما رواه عن الثوري عن الاسود ولا يتابع عليه
Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari
ayahnya ‘Amru bin Sufyan, telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais dalam
hadis dimana Abu ‘Aashim An Nabiil bersendirian dalam memasukkan Sa’id dalam
sanad yang ia riwayatkan dari Sufyan dari Al Aswad, ia tidak memiliki mutaba’ah
[Al Jarh Wat Ta’dil 4/53 no 230]
Selanjutnya riwayat ini juga diriwayatkan dari
Qutaibah dari Jarir sebagaimana riwayat dibawah ini.
قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس
عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في
الإمرة شيئا
Qutaibah berkata telah menceritakan kepada
kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali
radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan
kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6
no 2565]
Sanad riwayat ini lemah karena tidak diketahui
apakah Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum atau sesudah masa ikhtilathnya,
walaupun jalur Qutaibah dari Jarir terdapat dalam shahih bukhari yang mana
disepakati bahwa Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum ikhtilath, akan tetapi
bila jalur ini terdapat pada selain Bukhari dan Muslim disepakati dhaif bila
tidak diketahui mendengarnya Qutaibah sebelum atau sesudah ikhtilathnya Jarir.
Yang perlu diperhatikan adalah Bukhari tidak
memasukkan hadis ini dalam biografi Qais Al Abdiy ayah Aswad bin Qais
sebagaimana bisa dilihat dalam biografi Qais [Tarikh Al Kabir juz 7 no 663].
Bukhari malah memasukkan hadis di atas dalam biografi ‘Amru bin Sufyan [Tarikh
Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]. Hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas adalah
bagian dari idhthirab riwayat ‘Amru bin Sufyan.
Hal ini telah disinyalir oleh Ibnu Hajar. Dalam
biografi Qais Al Abdiy ia mengutip riwayatnya dalam Musnad Ali yang dikeluarkan
Nasa’i dari Ali tentang kepemimpinan kemudian mengutip berbagai riwayat ‘Amru
bin Sufyan [At Tahdzib juz 8 no 733]. Setelah itu dalam At Taqrib ia berkata
قيس العبدي والد الأسود مقبول من الثانية وفي
الحديث الذي أخرجه له النسائي اضطراب
Qais Al Abdiy ayahnya Al Aswad maqbul termasuk
thabaqat kedua dan hadisnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i idhthirab [At
Taqrib 2/36]
Dengan kata lain tidak tsabit periwayatannya dari
Ali tentang hadis ini karena hadis ini sendiri idhthirab pada sanadnya.
Benarkah demikian? Tentu jika mengumpulkan semua tersebut akan terlihat idhthirabnya.
1. Sufyan -> Aswad -> seorang laki-laki -> Ali ra.
2. Sufyan -> Aswad -> Amr bin Sufyan -> Ali ra.
3. Sufyan -> Aswad -> Said -> Amr bin Sufyan -> Ali ra.
4. Sufyan -> Aswad -> Qais -> Ali ra.
1. Sufyan -> Aswad -> seorang laki-laki -> Ali ra.
2. Sufyan -> Aswad -> Amr bin Sufyan -> Ali ra.
3. Sufyan -> Aswad -> Said -> Amr bin Sufyan -> Ali ra.
4. Sufyan -> Aswad -> Qais -> Ali ra.
Jalur diatas terjadi kegoncangan Al Aswad
menerima riwayat dari Amr bin Sufyan atau dari Said, atau dari ayahnya ?
Sedangkan yang meriwayatkan dari Ali juga diperselisihkan apakah Amr bin Sufyan
ataukah Qais (ayah Al Aswad) ? Daruquthni dan Al Khatib menyatakan bahwa hadis
‘Amru bin Sufyan tersebut idhthirab dan menisbatkan hal itu pada Ats Tsawriy,
ada juga yang menisbahkan poros idhthirabnya adalah Al Aswad. Menurut kami
diantara Sufyan Ats Tsawriy dan Al Aswad bin Qais, yang lebih mungkin mengalami
idhthirab adalah Sufyan Ats Tsauriy karena Ats Tsauriy mengalami ikhtilath
diakhir usianya dan idhthirab terjadi pada dua thabaqah diatasnya, sedangkan
pada Al Aswad kemungkinan idhthirab pada beliau kecil sekali karena yang
terjadi idhthirab hanya satu thabaqah diatas beliau, sehingga benarlah apa yang
dinyatakan oleh Imam Daraquthni dan Al Khatib.
Setelah kita mengetahui kedudukan sanad-sanad Amr
bin Sufyan diatas mengalami idhthirab yang berporos kepada Sufyan Ats Tsauriy,
maka adakah qarinah yang dapat mendudukkan ke-idhthirab-an sehingga dapat
dihilangkan ?
Jawabannya adalah ada, yaitu dengan qarinah
tarjih, mari kita lihat :
a. Jalur no. 1 shahih bersambung sampai Ali ra
b. Jalur no. 2 tidak sampai pada Sufyan akibat Muhammad bin Yazid.
c. Jalur no. 3 terdapat ta'lil akibat kesendirian Abu Ashim dalam memasukkan Said dalam sanad yang mana tidak terdapat jalur lain sebagai mutaba'ahnya, serta terdapat peselisihan dengan sanad A'masy yang lain.
d. Jalur no. 4 tidak sampai pada Sufyan akibat ikhtilath Jarir bin Abdul Hamid, tidak diketahui penerimaan Qutaibah darinya sebelum atau sesudah Jarir mengalami ikhtilath.
a. Jalur no. 1 shahih bersambung sampai Ali ra
b. Jalur no. 2 tidak sampai pada Sufyan akibat Muhammad bin Yazid.
c. Jalur no. 3 terdapat ta'lil akibat kesendirian Abu Ashim dalam memasukkan Said dalam sanad yang mana tidak terdapat jalur lain sebagai mutaba'ahnya, serta terdapat peselisihan dengan sanad A'masy yang lain.
d. Jalur no. 4 tidak sampai pada Sufyan akibat ikhtilath Jarir bin Abdul Hamid, tidak diketahui penerimaan Qutaibah darinya sebelum atau sesudah Jarir mengalami ikhtilath.
Dari uraian diatas terlihat bahwa jalur yang
rajih adalah jalur no.1, sudah hilang ke-idhthirab-annya, akan tetapi berstatus
lemah sampai diketahui siapakah laki-laki tersebut.
Ada riwayat ‘Amru bin Sufyan yang lain tentang
hadis ini yang sanadnya tidak melalui jalur Ats Tsauriy yaitu riwayat dengan
sanad berikut
وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا مُسَاوِرٌ الْوَرَّاقُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan yang
berkata telah menceritakan kepada kami Marwan yang berkata telah menceritakan
kepada kami Musawwir Al Warraaq dari ‘Amru bin Sufyaan [Asy Syari’ah Al
Ajjuriy 2/441]
Riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu Marwan
bin Mu’awiyah Al Fazaariy ia seorang tsiqat hafizh tetapi sering melakukan tadlis
dalam penyebutan nama-nama gurunya [At Taqrib 2/172]. Penyifatan Ibnu Hajar
terhadap Marwan ini berdasarkan pernyataan ulama mutaqaddimin seperti Ibnu
Ma’in yang menyatakan bahwa ia sering mengubah nama gurunya sebagai bentuk
tadlisnya dan pernyataan Abu Dawud bahwa ia sering membolak balik nama, dan
Marwan dikenal sering meriwayatkan dari syaikhnya para perawi majhul [At
Tahdzib juz 10 no 178], kesimpulannya Marwan seorang yang mudallas, baik tadlis
isnad, taswiyah maupun tadlis syuyukh.
Akan tetapi menghukumi bahwa Musawwir Al Waraq
sebagai guru majhulnya Marwan akibat tadlis syuyukh beliau perlu diteliti lagi.
Imam Ibnu Hajar dan Al Mizzi serta Adz Dzahabi menyebutkan bahwa guru majhul
Marwan adalah Al Musawwir (At Taqrib 2/174 dan Al Mizan no.8448 serta Al Mughni
no. 6183) dan ini lain dengan Musawwir Al Waraq. Pembaca perhatikan dengan
seksama apakah Al Musawwir = Musawwir Al Waraq ? Dalam kebiasaan orang Arab
bahwa kunyah, laqab, dan nasab amat sangat diperhatikan sebagai pembeda antara
satu orang dengan orang lain yang kesamaan nama mereka. Apalagi disebutkan oleh
Al Qaasim bin Tsabit dalam Ad Dalaa’il fii Gharibil Hadits 2/586 no. 307 dan Al
Hakim dalam Mustadrak 3/104 bahwa guru Marwan bernama Sawwaar bukan Al
Musawwir.
Adapun Musawwir Al Waraq beliau seorang yang shaduq
(taqriibut-tahdzib hal 933 no. 6632)
Terdapat Illat [cacat] lain dalam riwayat Marwan
bin Mu’awiyah di atas, Al Mu’allimiy menyebutkan bahwa Marwan bin Mu’awiyah
pernah melakukan tadlis taswiyah selain tadlis suyukh [At Tankiil 1/431]. Hal
ini juga diisyaratkan Abu Dawud dalam Su’alat Al Ajjury bahwa Marwan pernah meriwayatkan
dari Abu Bakar bin ‘Ayasy dari Abu Shalih dan menghilangkan nama seorang perawi
di antara keduanya [Su’alat Abu Dawud Al Ajjuriy no 204]. Pentahqiq kitab
Su’alat Abu Dawud tersebut berkomentar bahwa Marwan bin Muawiyah melakukan
tadlis taswiyah dan tadlis syuyukh. Ibnu Ma’in menyebutkan bahwa perawi yang
dihilangkan namanya itu adalah Al Kalbiy [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy
no 2241].
Perawi yang melakukan tadlis taswiyah maka
hadisnya diterima jika ia menyebutkan sima’ hadisnya dari Syaikh [gurunya] dan
gurunya tersebut juga menyebutkan sima’-nya dari gurunya. Intinya terdapat
lafaz tahdits atau sima’ hadis pada dua thabaqat dari perawi yang tertuduh
tadlis taswiyah. Bahkan beberapa ulama mensyaratkan bahwa lafaz tahdits atau
sima’ itu harus ada pada setiap thabaqat sanad sampai ke sahabat. Dalam riwayat
di atas Marwan bin Mu’awiyah memang menyebutkan lafaz sima’ dari syaikh-nya
Musawwir Al Waraaq tetapi ia tidak menyebutkan lafaz sima’ Musawwir Al Waraaq dari ‘Amru bin
Sufyan, maka hadisnya tidak bisa diterima. Bisa saja diantara Musawwir dan
‘Amru bin Sufyan terdapat perawi dhaif atau majhul yang dihilangkan namanya
oleh Marwan bin Mu’awiyah.
Akan tetapi menurut Syaikh Nashir bin Hamad Al
Fahd dalam kitab Manhaj al Mutaqaddimin fi al Tadlis bahwa suatu riwayat dari
mudallas yang tidak ada indikasi tertadlis di dalamnya, dapat diterima
walaupun diriwayatkan secara mu’an’an, apalagi dalam riwayat Marwan ini beliau
menggunakan kalimat sima’ dalam periwayatannya.
Kesimpulannya, kalau menurut metodenya Syaikh
Nashir bin Hammad Al Fahd, maka hadits ini berderajat shahih, akan tetapi kalau
menurut metode Ibnu Hajar maka hadits ini merupakan hadits mudallas. Walau
bagaimana-pun juga riwayat ini sudah dapat dijadikan indikasi bahwa Amr bin
Sufyan-lah laki-laki yang terdapat tersebut.
Hal ini dikuat lagi dengan riwayat lain diluar
jalur Ats Tsauriy, yaitu dari Abu Nua’im dari Syarik dari Al aswad dari Amr bin
Sufyan
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ ، قَالَ: خَطَبَ رَجُلٌ يَوْمَ الْبَصْرَةِ
حِينَ ظَهَرَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: هَذَا الْخَطِيبُ
الشَّحْشَحُ، " سَبَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ، وَثَلَّثَ عُمَرُ، ثُمَّ خَبَطَتْنَا فِتْنَةٌ بَعْدَهُمْ،
يَصْنَعُ اللَّهُ فِيهَا مَا شَاءَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Al Aswad bin Qais, dari Amr bin Sufyan, ia berkata : Seorang laki-laki berkhotbah pada peristiwa Bashrah (perang Jamal) ketika Ali ra memenangkan peperangan, lalu Ali ra berkata : Khatib ini pandai bicara. Rasulullah saw telah mendahului. Dan Abu Bakar pun menyusul, dan yang ketiga Umar pun telah menyusul juga. Kemudian kami ditimpa fitnah setelah mereka. Allah berbuat padanya menurut kehendak-Nya. (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/147).
Riwayat ini lemah akibat ikhtilathnya Syariik, akan tetapi riwayat ini sudah lebih dari cukup sebagai saksi bahwa Amr bin Sufyan -lah laki-laki yang dimaksud.
Riwayat ini lemah akibat ikhtilathnya Syariik, akan tetapi riwayat ini sudah lebih dari cukup sebagai saksi bahwa Amr bin Sufyan -lah laki-laki yang dimaksud.
Secara keseluruhan hadis ‘Amru bin Sufyan yang melalui jalan Sufyan Ats Tsauriy adalah shahih dengan diketahuinya laki-laki tersebut adalah Amr bin Sufyan dan riwayat Marwan bin Muawiyyah pun menjadi berderajat shahih.
Tinggal satu permasalahan yang tertinggal,
siapakah Amr bin Sufyan tersebut ?
Amr bin Sufyan disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
Tarikh Kabir juz 6 no. 2565 tanpa jarh dan ta’dil, disebutkan Imam Ibnu Hibban
dalam Ats Tsiqat juz 5 no. 4480, dan telah meriwayatkan darinya Said bin Amr
bin Sufyan, Al Aswad, dan Musawwir Al Waraq. Dari keterangan ini terlihat bahwa
Amr bin Sufyan minimal berstatus majhul hal.
Kesimpulan akhir, riwayat Amr bin Sufyan dengan
riwayat Abdullah bin Sabu dapat saling menguatkan sehingga berderajat hasan
lighairihi.
Hal ini dikuatkan pula dengan riwayat dari Umar
ra bahwa Rasulullah saw tidak menunjuk siapa-pun sebagai pengganti beliau :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَضَرْتُ
أَبِي حِينَ أُصِيبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوا جَزَاكَ اللَّهُ
خَيْرًا فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوا اسْتَخْلِفْ فَقَالَ
أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا
الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ
مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ فَقَدْ
تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari Ayahnya, dari Ibnu Umar, ia berkata : Aku turut hadir ketika ayahku terkena musibah (ditikam Abu Lu'lu'ah). Para shahabat yang hadir ketika itu turut menghiburnya. Mereka berkata : Semoga Alloh membalas anda dengan kebaikan. Umar menjawab : Aku penuh harap dan juga merasa cemas. Mereka berkata : Tunjukkanlah pengganti anda (sebagai khalifah). Umar menjawab : Apakah aku juga harus memikul urusan pemerintahanmu waktu hidup dan matiku ? Aku ingin tugasku sudah selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aku menunjuk penggantiku, maka itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada aku, yaitu Abu Bakar ash shidiq, dan jika pengangkatan itu aku serahkan kepada kalian, maka itupun pernah dilakukan oleh orng yang lebih baik dari aku, yaitu Rasulullah saw. Abdullah bin Umar berkata : Dari perkataannya itu, tahulah aku bahwa dia tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi khalifah. (Diriwayatkan Muslim no. 1823, Bukhari no. 7218, Ahmad 1/43, Abd bin Humaid no. 32, Abu Ya'la no. 206, Ibnu Hibban no. 4478, dll)
Dari pembahasan ini dapat diambil kepastian bahwa Imam Ali ra tidak merasa ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi pemimpin menggantikan beliau, sehingga makna riwayat-riwayat dari kalimat “wali” adalah bermakna kecintaan dan tidak dapat diartikan dengan kepemimpinan.
Wallahu a’lam.
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar