Senin, 13 Maret 2017

Ketawadhuan Sekaligus Pengakuan Ali ra Ketika Memuji Abu Bakar Dan Umar

Pengakuan Diiringi Tawadlu’ Imam Ali Dalam Mengutamakan Abu Bakar dan Umar : Bantahan Terhadap Seconprince.


Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar adalah satu hal yang tidak perlu disangsikan lagi. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali ia adalah seorang yang buta riwayat dan sejarah. Banyak riwayat, baik berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau para shahabat lain yang memuat pujian bagi mereka berdua. Begitu juga sejarah telah menggoreskan tinta emasnya bagaimana Islam menjadi jaya dan tersebar melalui perantaraan keduanya.

Artikel kali ini akan sedikit membahas tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar, khususnya yang diucapkan oleh saudaranya seiman yang mulia : ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.

1. Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 993) berkata :

حدثنا أبو علي الحسن بن البزار حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا شهاب بن خراش عن حجاج بن دينار عن أبي معشر عن إبراهيم عن علقمة قال سمعت عليا على المنبر فضرب بيده على منبر الكوفة يقول بلغني أن قوما يفضلوني على أبي بكر وعمر ولو كنت تقدمت في ذلك لعاقبت فيه ولكني أكره العقوبة قبل التقدمة من قال شيئا من هذا فهو مفتر عليه ما على المفتري أن خير الناس رسول الله صلى الله عليه وسلم وبعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin Al-Bazzaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Khaarijah : Telah menceritakan kepada kami Syihaab bin Khiraasy, dari Hajjaaj bin Diinaar, dari Abu Mi’syar, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy di atas mimbar, lalu ia memukul mimbar Kuufah dengan tangannya seraya berkata : Telah sampai kepadaku ada satu kaum yang mengutamakan diriku di atas Abu Bakr dan ‘Umar. Seandainya saja aku dapati hal itu sebelumnya, niscaya aku berikan/tetapkan hukuman padanya. Akan tetapi aku tidak suka ada satu hukuman sebelum permasalahan ada. Barangsiapa yang mengatakan sesuatu dari hal tersebut, maka ia telah dusta. Baginya diberikan hukuman sebagai seorang pendusta. Bahwasannya sebaik-baik manusia adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan (sebaik-baik manusia) setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar…..”.
Sanad riwayat ini adalah hasan.

‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu mengakui keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar atas dirinya, yang ia sampaikan di atas mimbar. Ia menampakkan kemarahannya (dengan menggebrak mimbar) saat mendengar ada kaum yang mengutamakan dirinya di atas Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum. Bahkan mengecap dan akan menghukumnya dengan hukuman seorang pendusta.

Jika orang-orang Syi’ah mengklaim ‘Aliy bin Abi Thaalib lebih utama daripada Abu Bakr dan ‘Umar, maka berdasarkan perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum di atas, sangat boleh kita menyebut mereka sebagai pendusta.

2. Dalam kitab Fadlaailush-Shahaabah (no. 399) disebutkan :

حدثنا عبد الله قال حدثني عبيد الله بن عمر القواريري ومحمد بن سليمان لوين قالا نا حماد بن زيد وهذا لفظ القواريري قثنا عاصم عن زر عن أبي جحيفة قال خطبنا علي يوما فقال ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم قال ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها وبعد أبي بكر عمر
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy dan Muhammad bin Sulaimaan Luwain, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Zaid – dan ini adalah lafadh Al-Qawaariiriy - , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim, dari Zirr, dari Abu Juhaifah, ia berkata : Pada suatu hari ‘Aliy berkhutbah kepada kami, lalu ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? (yaitu) Abu Bakr”. Kemudian ia berkata lagi : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah Abu Bakr ? (yaitu) ‘Umar”.
Sanad riwayat ini hasan.

Perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ini diucapkan di atas mimbar (sebagaimana riwayat pertama) agar kaum muslimin mendengarkannya sekaligus tunduk terhadap penjelasannya.

Perkataan ‘Aliy ini tidak bisa dipahami sebagai uslub taqiyyah atau tawadldlu’ – sebagaimana berulang-ulang disebutkan orang-orang Syi’ah.

Untuk apa ia harus ber-taqiyyah di hadapan pendukungnya di Kuffah, sementara itu ia telah memegang tampuk kekuasaan. Apa yang perlu ia takutkan untuk mengatakan yang sebenarnya seandainya saja ia memang punya kedudukan lebih utama daripada Abu Bakr dan ‘Umar ? ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu telah dikenal sebagai pemberani. Menganggap perkataan yang diucapkannya di atas mimbar itu sebagai satu taqiyyah merupakan bentuk penghinaan atas dirinya. Ahlus-Sunnah mempunyai keyakinan bahwa ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu bukanlah seorang pengecut.

Jika dikatakan bahwa perkataan tersebut sebagai sikap ke-tawadlu’-an (dan kita tidak ragu akan ke-tawadlu’-annya sebagaimana ke-tawadlu’-an para shahabat besar lainnya), maka ini sangat tidak bisa diterima. Kalimat ألا أخبركم (Maukah aku beritahukan kepada kalian) merupakan jenis kalimat yang menuntut penjelasan yang hakiki. Uslub ini banyak digunakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya, antara lain :

1.    [أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ دُورِ الْأَنْصَارِ] :
“Maukah kalian aku beritahukan tentang rumah orang Anshar yang paling baik?".

2.    [أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ] : “Maukah kalian aku beritahukan mengenai penghuni surga?”.

3.    [أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ] : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar?".

4.    [أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ] : “Maukah aku beritahukan kepada kalian mengenai saksi yang paling baik?”.

5.    [أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَشَدَّ حَرًّا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ] : “'Maukah kamu aku tunjukkan orang yang lebih panas daripada orang yang sakit panas ini pada hari kiamat kelak?”.

Memaksakan diri untuk mengatakan bahwa kalimat tersebut merupakan jenis uslub tawadlu’ merupakan satu kejahilan akan uslub bahasa ‘Arab dalam hadits-hadits nabawiy.

3. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4629) berkata :

حدثنا محمد بن كثير ثنا سفيان ثنا جامع بن أبي راشد ثنا أبو يعلى عن محمد بن الحنفية قال : قلت لأبي أي الناس خير بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أبو بكر قال قلت ثم من قال ثم عمر قال ثم خشيت أن أقول ثم من فيقول عثمان فقلت ثم أنت يا أبة قال ما أنا إلا رجل من المسلمين

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Jaami’ bin Abi Raasyid : Telah menceritakan kepada kami Abu Ya’laa, dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku (‘Aliy bin Abi Thaalib) : "Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?. Ia menjawab : "Abu Bakr". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa ?". Ia menjawab : "Umar". Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata : "Lalu aku khawatir jika aku kembali bertanya 'kemudian siapa ?’, lalu ia menjawab 'Utsmaan". Aku lalu bertanya : "Apakah setelah itu engkau wahai ayahku ?". Ia menjawab : "Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin”.
Sanad riwayat ini shahih.

Sebagaimana alasan sebelumnya, orang-orang Syi’ah menganggap jawaban ‘Aliy bin Abi Thaalib saat ditanya anaknya ini pun dianggap sebagai jawaban taqiyyah atau minimal menggambarkan ke-tawadlu’-an.

Sangat sulit rasanya menerima hujjah mereka. Apa yang ditakutkan ‘Aliy terhadap anaknya sendiri sehingga ia merasa harus melakukan taqiyyah ?

Jika ia melakukannya hanya sebagai ungkapan tawadlu’ - ; apa maslahatnya ia melakukannya karena waktu itu Muhammad bin Al-Hanafiyyah benar-benar ingin bertanya tentang keutamaan para shahabat-shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita tentu berkeyakinan bahwa pertanyaan itu bukanlah pertanyaan ‘iseng’, namun pertanyaan yang dilontarkan karena keingintahuan yang hakiki akan permasalahan tersebut.

Dapat kita lihat bahwa sebenarnya ia ingin jawaban bahwa ‘Aliy akan menyebut dirinya. Lalu, perhatikan riwayat berikut :

حدثنا أبو بكر ثنا عبدالله بن ادريس عن أبي مالك الأشجعي قال قلت لابن الحنفية أبو بكر كان أول القوم إسلاما قال لا قلت فيما علا وسبق حتى لا يذكر أحد غير أبي بكر قال كان أفضلهم إسلاما حتى لحق بالله عز وجل

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnul-Hanafiyyah : “Apakah Abu Bakr orang yang pertama kali masuk Islam ?”. Ia menjawab : Tidak”. Aku kembali bertanya : “Dalam hal apa ia punya ketinggian dan lebih dahulu (dari yang lainnya) sehingga tidak disebut seorang pun melainkan Abu Bakr ?”.  Ia menjawab : “Ia adalah orang yang paling utama (afdlal) ke-Islamannya di antara mereka (para shahabat) hingga ia berjumpa (wafat) Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1220; shahih].

Dapat kita lihat bahwa Muhammad bin Al-Hanafiyyah mengakui dan menegaskan bahwa Abu Bakr adalah orang yang paling utama di antara para shahabat dengan keislamannya.

Ia tidak menyebutkan ayahnya (‘Aliy bin Abi Thaalib) saat ditanya, padahal tidak ada halangan apapun untuk mengatakannya. Tidak ada maslahat untuk menutupinya jika saja ia beranggapan bahwa shahabat yang paling utama adalah ayahnya. Bahkan ia harus menjelaskan duduk permasalahannya. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan permasalahan keimamahan sebagaimana yang diklaim orang-orang Syi’ah. Menetapkan keutamaan ‘Aliy adalah satu kewajiban. Terlebih, posisinya sebagai anak kandung ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Ternyata hal itu tidak ia lakukan, karena ia lebih cinta akan kebenaran dibandingkan rasa fanatisme golongan dan sentimen madzhab.

Inilah pemahaman Muhammad bin Al-Hanafiyyah rahimahullaahu ta’ala.
Jika kita dihadapkan dua pilihan antara pemahaman orang yang bertanya (Muhammad bin Al-Hanafiyyah) di satu sisi, dan pemahaman orang Syi’ah (yang memerankan diri sebagai juru tafsir kontemporer perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib) di sisi lain; kira-kira kita akan memilih yang mana ? Orang yang cerdas tidak perlu untuk menjawabnya - karena jawabannya telah jelas (dikecualikan bagi mereka yang mengaku tidak cerdas).

4. Al-Bukhaari berkata dalam Shahih-nya :

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا

Telah menceritakan kepada kami Ma’laa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata : Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’ dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki".

Hadits ini merupakan penjelas siapa di antara shahabat yang paling beliau cintai. Tidak perlu aneka ragam ta’wil, karena jawaban beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengalir dari mulut beliau sendiri yang mulia. Demikian jelas. Dapat dipahami semua strata kaum muslimin yang berakal dan paham bahasa manusia.

Inilah penjelasan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Tidaklah mengherankan jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu mengatakan sebagaimana yang beliau katakan tentang Abu Bakr dan ‘Umar, karena ‘Aliy adalah orang yang sangat cinta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Kalaulah misal kita benarkan pendapat orang-orang Syi’ah – padahal kita tahu bahwa itu sangat salah – bahwa ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu memuji Abu Bakr dan ‘Umar sebagai satu sikap ke-tawadlu’-an; lantas mengapa mereka tidak mencontoh ‘Aliy dalam ketawadlu’an tersebut ?

Berulang-kali ‘Aliy memuji keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar, namun kenyataannya yang ada, tidaklah orang Syi’ah menyebut Abu Bakr dan ‘Umar melainkan kobaran kebencian, perendahan, dan yang semisal dengan itu.
Oleh karena itu, mengambil alasan ini dan itu pun, orang-orang Syi’ah ternyata tidak meneladani ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.

Lantas, siapa yang mereka teladani ? Entahlah,…. saya sendiri juga tidak kunjung paham……….

Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 1431 H...artikel tentang Syiah no 32].

Kemudian terdapat tulisan seconprince ar rafidhi tentang Ali memuji Abu Bakar dikarenakan tawadhu.


Seconprince menulis :
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar adalah satu hal yang tidak perlu disangsikan lagi. Banyak riwayat, baik berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau para shahabat lain yang memuat pujian bagi mereka berdua. Tetapi keutamaan yang dimiliki mereka berdua tidaklah melebihi keutamaan yang dimiliki Imam Ali bahkan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berbagai keutamaan Imam Ali di atas mereka berdua. Siapapun yang dengan sabar dan objektif mengumpulkan semua keutamaan Imam Ali dan keutamaan Abu Bakar dan Umar kemudian membandingkannya maka ia akan mendapatkan kebenaran bahwa kedudukan Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar.


Tanggapan :
Benarkah demikian wahai secondprince?
Mari kita lanjutkan dialognya...


Seconprince :
Sebagian orang yang menyebut dirinya salafy berhujjah dengan berbagai riwayat Imam Ali yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding dirinya. Riwayat-riwayat tersebut sebenarnya telah kami bahas dan kami tunjukkan bahwa perkataan Imam Ali adalah bagian dari sikap tawadlu’ beliau. Tetapi salafy tidak bisa menerima alasan tawadlu’ tersebut. Oleh karena itu kami katakan kepada agar mereka juga menerima berbagai konsekuensi yang justru menentang keyakinan mereka sendiri. Dengan kata lain jangan berhujjah dengan cara-cara yang tidak konsisten.


Tanggapan :
Lanjut terus dialognya...


Seconprince :
Aku mendengar ‘Aliy di atas mimbar, lalu ia memukul mimbar Kuufah dengan tangannya seraya berkata : Telah sampai kepadaku ada satu kaum yang mengutamakan diriku di atas Abu Bakr dan ‘Umar. Seandainya saja aku dapati hal itu sebelumnya, niscaya aku berikan/tetapkan hukuman padanya. Akan tetapi aku tidak suka ada satu hukuman sebelum permasalahan ada. Barangsiapa yang mengatakan sesuatu dari hal tersebut, maka ia telah dusta. Baginya diberikan hukuman sebagai seorang pendusta. Bahwasannya sebaik-baik manusia adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 993]


Tanggapan :
Kalau tawadhu tidak perlu sekeras itu sikap Ali ra, bahkan sampai dicap pendusta, bahkan diancam hendak dihukum (secara fisik).


Seconprince :
1. Alqamah bin Qais memukul mimbar ini dan berkata “Ali RA pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar ini. Dia memuji Allah dan menyanjung-Nya. Dia menyebutkan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk disebutkannya. Lalu dia berkata “Sesungguhnya manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar. Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu” [Musnad Ahmad 1/127 no 1051 Syaikh Al Arnauth menyatakan sanadnya kuat].

2. Pada suatu hari ‘Aliy berkhutbah kepada kami, lalu ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam? (yaitu) Abu Bakr”. Kemudian ia berkata lagi : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah Abu Bakr ? (yaitu) ‘Umar”. [Fadhail Ash Shahabah no 399]

3. “Ali berdiri dan berkata “Orang yang terbaik diantara umat ini setelah Nabi mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya kita telah membuat hal-hal baru sepeninggal mereka dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu sesuai dengan kehendak-Nya” [Musnad Ahmad 1/15 no 926 dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth].

4. Aku pernah bertanya kepada ayahku (‘Aliy bin Abi Thaalib) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku kembali bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata : “Lalu aku khawatir jika aku kembali bertanya ‘kemudian siapa ?’, lalu ia menjawab ‘Utsmaan”. Aku lalu bertanya : “Apakah setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin”. [Sunan Abu Dawud no 4629]

Semua atsar Imam Ali di atas adalah bagian dari sikap tawadlu’ Beliau. Hal ini nampak jelas dalam perkataan Imam Ali tersebut bagi mereka yang memahaminya dengan baik.

Tanggapan :
Lihatlah gaya bahasa yang dipakai Ali ra...terutama riwayat no 2.

Ali menggunakan kalimat "maukah kamu" dua kali. Ini merupakan penegasan, bukan ketawadhuan.


Seconprince :
Mengenai khutbah Imam Ali kepada orang-orang maka di dalamnya terdapat perkataan yang menunjukkan sikap tawadlu’ beliau yaitu perkataan “Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu”. Perkataan ini jelas tawadlu’ karena Imam Ali tidak pernah membuat hal-hal yang baru dimana Allah SWT akan memberikan hukuman untuk itu. Justru cukup banyak hal-hal baru yang muncul pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Maka tidak bisa tidak perkataan Imam Ali di atas menunjukkan sikap tawadlu’ beliau.


Tanggapan :
Memang beliau seorang tawadhu yang beriringan dengan penegasan dan kemarahan beliau kepada orang yang lebih mengutamakan beliau diatas Abu Bakar dan Umar.


Seconprince :
Mengenai perkataan Imam Ali kepada anaknya Muhammad bin Al Hanafiyah maka di dalamnya terdapat perkataan yang menunjukkan sikap tawadlu’ beliau yaitu “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin”. Sangat jelas ini merupakan sikap tawadlu’ Imam Ali karena telah shahih berbagai hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keutamaan Beliau diantara semua sahabat yang lain. Sehingga sangat tidak mungkin kalau kedudukan Imam Ali hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin.


Tanggapan :
Ketawadhuan beliau tdk diragukan lagi.

Adapun hadits tentang keutamaan Ali, kami pun mengakuinya.
Akan tetapi bila pengakuan keutamaan Ali ini menyebabkan Abu Bakar atau Umar dicap telah merampas hak Ali, maka kami bangkit untuk membantahmu wahai seconprince ar rafidhi...


Seconprince :
Jadi kami memiliki alasan yang cukup untuk menyatakan kalau perkataan Imam Ali dalam atsar-atsar di atas adalah bagian dari sikap tawadlu’ Beliau. Sangat mungkin kalau perkataan Imam Ali ini disampaikan untuk meredakan perselisihan atau pertentangan yang terjadi di antara orang-orang soal kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Imam Ali pernah berkhutbah dihadapan orang-orang kalau Beliau lebih berhak dalam urusan khilafah daripada Abu Bakar dan Umar dan disebutkan pula bahwa Beliau telah berhujjah dengan hadis Ghadir-khum untuk membuktikan kekhalifahan Beliau.


Tanggapan :
Khutbah tsb disampaikan pada masa kekhalifahan beliau, adakah yang menggugat kepemimpinan beliau dari kalangan pendukung Abu Bakar atau Umar, shg harus diredakan dg khutbah beliau...terlalu mengada-ada saja rafidhah ini.

Tentang keberhakan beliau diatas Abu Bakar akan kita bahas setelah ini.


Seconprince :
Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya” [Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth]


Tanggapan :
Abu Tufail merupakan pengikut Ali yang militan sehingga terasa janggal bila ia mempunyai ganjalan akan makna hadits ghadir khum sebagai pemimpin.

Menurut saya ganjalan Abu Tufail bukan karena meragukan kepemimpinan Ali, atau kepemimpinan khalifah sebelum beliau, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk meminta kesaksian orang lain ketika mendengar hadits.

Ada riwayat penjelas atas riwayat Ali diatas :
Dari Riyah bin al-Harits berkata : Sekelompok orang datang kepada 'Ali di rahbah, kemudian berkata : "Assalamu 'alaika yaa maulanaa"
'Ali menjawab : "Bagaimana bisa aku menjadi maula kalian sedangkan kalian kaum arab ?"
Orang-orang tsb berkata : "Kami mendengar Rasulullah Saw pada hari ghadir khum bersabda :"man kuntu maulahu fainna hadza maulahu".  Berkata Riyah : Saat mereka pergi, aku mengikuti mereka lalu aku tanya siapa mereka, mereka menjawab : Mereka adalah sekelompok orang Anshar, diantara mereka ada Abu Ayyub Al Anshari.
 - Syaikh Syu'aib al-Arna'uth : Isnadnya shahih (hadits no. 23563, juz 38 hal. 541 s/d 542)
- Syaikh Hamzah Ahmad al-Zain : Isnadnya shahih (hadits no. 23453, juz 17  hal. 36)

Perhatikanlah hadits diatas. Ada sekelompok orang menyapa 'Ali ra dengan sebutan "Maulana", tetapi 'Ali ra sendiri justru heran, sehingga perlu untuk diingatkan bahwa di Ghadir Khum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada 'Ali ra, bahwa "Barangsiapa Aku adalah maulanya, maka ini 'Ali adalah maulanya". Itu adalah peristiwa yang sangat jelas sekali menunjukkan bahwa 'Ali ra tidak pernah merasa hadits tersebut sebagai pelantikan dirinya.

Maula artinya kecintaan dan pemimpin. Ali memahami maula yg diucapkan rombongan tadi dg makna pemimpin, dan beliau heran.
Ini menunjukkan bahwa beliau tdk merasa ditunjuk sbg maula yang bermakna pemimpin, sekaligus beliau memahami maula dalam hadits ghadir khum bermakna kecintaan...


Seconprince :
Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini [kekhalifahan]. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara Saya dan Muawiyah [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294 dengan sanad yang shahih sesuai syarat Bukhari]

Perkataan Imam Ali bahwa ia yang paling berhak dalam masalah khilafah jelas mengundang perselisihan dan pertentangan di kalangan orang-orang. Sebagian diantara mereka mulai meragukan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar [bahkan mungkin ada yang mulai mencela Abu Bakar dan Umar] dan mereka ini ditentang oleh sebagian orang lain yang justru mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Perselisihan seperti ini tentu jika dibiarkan berlarut-larut akan melemahkan kekuatan pemerintahan Imam Ali apalagi saat itu Beliau harus menghadapi penentangan dari Muawiyah dan pengikutnya. Oleh karena itu Imam Ali berkhutbah di hadapan orang-orang untuk meredakan perselisihan dengan memuji Abu Bakar dan Umar dan mengatakan “Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu”. Sikap tawadlu’ beliau ini telah meredakan perselisihan yang terjadi diantara pengikut Beliau. Tentu saja semua ini adalah penafsiran yang kami pilih dan lebih sesuai dengan berbagai riwayat lain tentang keutamaan Beliau.


Tanggapan :
Pernyataan seconprince diatas mengesankan Ali memulai membuat pernyataan yang menimbulkan perselisihan, lalu bersilat lidah beralasan agar tidak memuncak perselisihan tsb....na'udzubillah...

Kalau beliau menganggap lebih berhak sebagai khalifah sepeninggal Nabi itu sah-sah saja, sebagaimana kaum Anshor pernah merasa berhak sbg pengganti Nabi.

Tapi apakah lantas kita benarkan anggapan beliau ?

Tapi apakah lantas Ali menyatakan bahwa khalifah sebelumnya merampas haknya dan marah kepada mereka ?... tidak....bahkan beliau menerima dan ridha.

Ada terjemahan yang mengkaburkan dari seconprince tentang kalimat "ridha".
Ia menterjemahkan ridha dengan pasrah, shg berkonotasi terpaksa. Padahal makna dari ridha adalah menerima dengan ikhlas.


Seconprince :
Jika salafy tidak suka atau menentang penafsiran seperti ini ya silakan saja. Justru jika diartikan secara zhahir maka atsar-atsar Imam Ali di atas menunjukkan kalau Imam Ali hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin yang telah melakukan hal-hal baru sehingga mendapat hukuman dari Allah SWT.


Tanggapan :
Sangat dangkal pemahaman anda wahai seconprince...
Kalimat "kita" apa harus diartikan semuanya...termasuk Ali ra..?


Seconprince :
Konsekuensinya salafy harus meyakini kebenaran pernyataan tersebut. Tetapi anehnya mereka sendiri mengakui bahwa Imam Ali adalah orang yang paling utama diantara para sahabat yang lain setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mengapa mereka tidak berpegang pada perkataan Imam Ali kalau Beliau hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Beranikah mereka mengatakan Imam Ali membuat hal-hal baru yang mendapat hukuman dari Allah SWT?.


Tanggapan :
Alhamdulillah...kami umat islam mengakui keutamaan Ali ra, tanpa mengurangi keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman....tapi anda merendahkan Abu Bakar, Umar dan Utsman gara-gara berani melangkah menjadi khalifah membelakangi Ali.

Kami mengakui Ali ra merupakan salah satu dari khulafaurasyidin shg beliau bersih dari kebid'ahan yang menjadi sebab kemurkaan Alloh.


Seconprince :
Bukankah mereka salafy menolak untuk mengartikan atsar tersebut dengan sikap tawadhu’. Kalau mereka salafy ingin mengatakan bahwa mereka juga berhujjah dengan berbagai hadis keutamaan Imam Ali yang lain maka itu juga yang telah kami lakukan. Keutamaan-keutamaan Imam Ali yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan keutamaan Imam Ali yang tinggi diantara para sahabat yang lain termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.


Tanggapan :
Ali ra seorang yg tawadhu, itu tdk diragukan lagi...

Tapi...hadits-hadits anda diatas telah menunjukkan dengan jelas penegasan yang keluar dari lisan Ali ra sendiri bahwa Abu Bakar dan Umar lebih utama daripada beliau sendiri....piye to sampeyan iki mas....


Secondprince :
Sikap tawadlu’ yang ditunjukkan Imam Ali ini pernah pula dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah diriwayatkan berbagai hadis shahih bahwa Rasulullah SAW mengatakan jangan mengutamakan Beliau dari para Nabi yang lain atau riwayat dimana Beliau mengatakan Jangan mengutamakanku dari Musa alaihis salam dan sebagainya. Padahal umat islam mengakui kalau Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling utama Sayyidul anbiya’.


Tanggapan :
Nggak nyambung pren....


Seconprince :
Abu Hurairah radiallahu ‘anhu yang berkata : Suatu ketika seorang Yahudi menawarkan barang dagangannya, seseorang ingin membelinya dengan harga yang tidak disukai [oleh Yahudi tersebut]. Ia berkata “tidak demi Yang memilih Musa untuk sekalian manusia” kemudian seseorang dari kalangan Anshar mendengarnya maka dia bangkit dan menampar wajah yahudi tersebut. Ia berkata “engkau katakan tadi demi Yang memilih Musa untuk sekalian manusia padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada diantara kami?”. Maka Yahudi tersebut mengahadap Nabi dan berkata “wahai Abul Qasim sesungguhnya aku dalam perlindungan dan perjanjian lantas mengapa fulan menampar wajahku”. Nabi berkata “mengapa engkau menampar wajahnya?”. Maka ia menyebutkannya. Kemudian marahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kemarahan terlihat jelas di wajah Beliau. Beliau berkata “janganlah kalian mengutamakan diantara para Nabi Allah sesungguhnya akan ditiup shuur [terompet sangkakala] kemudian yang di langit dan di bumi akan mati kecuali yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian ditiup sekali lagi maka aku yang pertama kali bangkit dan aku dapati Musa telah memegang pilar Arsy. Aku tidak tahu apakah ia dibebaskan darinya karena telah merasakannya di bukit Thur atau dibangkitkan sebelumku, dan tidak pula aku mengatakan ada seseorang yang lebih utama dari Yunus bin Matta” [Shahih Bukhari no 3414]

Dalam riwayat lain disebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setelah mendengar alasan lelaki anshar, Beliau berkata

Janganlah mengutmakanku dari Nabi-Nabi Allah [yang lain], sesungguhnya orang-orang akan mati di hari kiamat kemudian aku adalah orang yang pertama bangkit ternyata aku dapati Musa memegang salah satu pilar dari pilar-pilar arsy, aku tidak tahu apakah ia dibangkitkan sebelumku atau telah merasakannya di bukit Thur [Shahih Bukhari no 4638]

Dalam riwayat lain disebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setelah mendengar alasan lelaki anshar, Beliau berkata

Janganlah kalian mengutamakanku dari Musa, sesungguhnya orang-orang akan mati pada hari kiamat, aku juga mati bersama mereka. Maka aku yang pertama bangkit dan ketika itu Musa berada di bawah Arasy. Aku tidak tahu apakah ia dibangkitkan sebelumku atau ia termasuk yang dikecualikan oleh Allah SWT. [Shahih Bukhari no  2411 dan no 3408].

Dari Abu Hurairah yang berkata seorang Yahudi di pasar pernah berkata “tidak demi Yang memilih Musa dari sekalian manusia”. Abu Hurairah berkata seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengangkat tangan memukul wajahnya sambil berkata “kamu mengatakan seperti itu sementara diantara kami ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “dan ditiup sangkakala maka matilah yang ada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah kemudian ditiuplah sekali lagi maka mereka bangkit dan menunggu” [Az Zumar ayat 68], aku adalah orang yang pertama mengangkat kepala, saat itu Musa telah memegang salah satu pilar dari pilar-pilar ‘arasy aku tidak tahu apakah ia mengangkat kepalanya sebelumku atau termasuk yang dikecualikan Allah SWT? Dan barangsiapa mengatakan aku lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta” [Sunan Tirmidzi 5/373 no 3245 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Para ulama diantaranya Ibnu Katsir dan Ibnu Qutaibah menafsirkan berbagai riwayat di atas sebagai salah satu sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena sudah jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Sayyidul Anbiya’ dan yang paling mulia diantara para Nabi.


Tanggapan :
Nggak nyambung lagi pren...


Seconprince :
Sekarang mari kita menafsirkan hadis-hadis di atas dengan menuruti cara berdalil versi salafy.

Jika kami mengikuti cara pikir salafy maka kami katakan : sangatlah sulit untuk menerima hujjah bahwa ini adalah sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena dari riwayat di atas ditunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah kepada lelaki anshar tersebut sehingga kemarahan tampak jelas dari raut wajah Beliau. Padahal lelaki anshar tersebut mengutamakan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di atas Musa.
Lafaz yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “Jangan mengutamakanku dari Musa” atau “Jangan mengutamakanku dari para Nabi yang lain” merupakan larangan yang jelas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas mengatakan siapa yang mengatakan aku [Beliau] lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta.
Mari kita tanyakan kepada salafy, apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam lebih utama dari para Nabi yang lain termasuk lebih utama dari Nabi Yunus alaihis salam?. Jika mereka menjawab “ya” maka secara zhahir hadis di atas sangat boleh disebutkan kalau mereka salafy adalah pendusta. Jika mereka menjawab “tidak” maka kalian salafy telah menentang diri kalian sendiri dan umat islam lainnya yang berkeyakinan kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Sayyidul Anbiya’. Bagi kami pribadi, kami lebih memilih menafsirkan hadis-hadis di atas sebagai sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


Tanggapan :
Sudah bingung to mas....
Diawal pernyataan anda, anda mengatakan : sangatlah sulit untuk menerima hujjah bahwa ini adalah sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tapi diakhir pernyataan diatas, anda menyatakan : Bagi kami pribadi, kami lebih memilih menafsirkan hadis-hadis di atas sebagai sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Piye to sampeyan iki...mbulet...


Seconprince :
Hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas adalah analogi yang baik bagi Atsar Imam Ali soal Abu Bakar dan Umar sebelumnya.

Imam Ali mengatakan siapa yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya adalah pendusta sama halnya dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa siapa yang mengatakan aku [Beliau] lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta. Kedua perkataan ini ditafsirkan dengan sikap tawadhu’
Imam Ali dikatakan memukul mimbar ketika mendengar ada yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya dan ditafsirkan oleh salafy bahwa ini menunjukkan kemarahan Imam Ali. Maka ini sama halnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah sehingga kemarahan tampak jelas dari wajah Beliau ketika mendengar perkataan lelaki anshar padahal lelaki tersebut mengutamakan dirinya atas Nabi Musa. Keduanya ditafsirkan sebagai sikap tawadhu’.


Tanggapan :
Jadi inti mbuletnya sampeyan adalah : ketika Ali mengakui, dan marah bila dirinya lebih diutamakan dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar...itu adalah sikap tawadhu beliau...bukan penegasan yang serius atas keutamaan Abu Bakar dan Umar diatas beliau...

Ada satu hal yang anda lalaikan dalam tulisan anda ini...yaitu perkataan Ali ra, bahwa beliau akan menghukum mereka yang mengutamakan beliau diatas Abu Bakar dan Umar.... ini bukan tawadhu, tapi ini adalah sangsi atas suatu kesalahan...

Sehingga menurut Ali ra bahwa pengutamaan beliau kepada Abu Bakar dan Umar atas keutamaan beliau pribadi merupakan pernyataan yg jujur yang berangkat dari pemahaman ilmu beliau.


Seconprince :
Bukti Keutamaan Imam Ali di Atas Abu Bakar dan Umar :

Dalam perkara tafdhil kami tidak pernah mencukupkan diri hanya kepada satu riwayat semata seperti yang ditunjukkan oleh para pengikut salafy. Mengapa dalam masalah tafdhil shahabat kami menganggap Imam Ali lebih utama diantara para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar karena telah diriwayatkan berbagai hadis shahih keutamaan Imam Ali di atas semua sahabat termasuk Abu Bakar dan Umar. Salah satunya adalah sebagai berikut :

Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].

Allah SWT telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Imam Ali adalah hamba yang paling dicintai Allah SWT. Keutamaan ini menunjukkan keutamaan yang tinggi Imam Ali di atas semua sahabat lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Tidak perlu aneka ragam ta’wil dan sangat jelas ucapan ini berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikabulkan oleh Allah SWT. Demikian jelas, dapat dipahami semua strata kaum muslimin yang berakal dan paham bahasa manusia.


Tanggapan :
Mari kita cek....

Jalur sanad 1 :
Telah menceritakan kepada kami Abu Ghalib bin Al Bana yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain bin Al Banusi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Daruquthni yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Hatim bin Laits yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Isa bin Umar Al Qari dari As Suddi dari Anas bin Malik [Tarikh Ibnu Asakir 42/254].

Perhatikan... ada perawi Ubaidillah bin Musa...beliau perawi tsiqat tapi syi'ah...menurut ilmu hadits perawi bid'ah yg tsiqat bila meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan madzabnya maka ditolak, tapi bila tidak berkaitan dg madzabnya diterima.

Jalur 2 :
Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman Ath Thawil dari Anas bin Malik [Tarikh Al Kabir karya imam Bukhari juz 2 no 1488].

Al Bukhari setelah membawakan riwayat ini ia berkata “tidak dikenal Utsman mendengar langsung dari Anas” [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1488]. Pernyataan ini bisa dijadikan hujjah untuk mencacatkan hadis tersebut atau menyatakannya inqitha’ atau terputus sanadnya...dhaif.

Jalur 3 :
Telah menceritakan kepada kami Ubaid Al Ajli yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’id Al Jauhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qarm dari Fithr bin Khalifah dari Abdurrahman bin Abi Na’m dari Safinah.

Perhatikan...ada perawi Sulaiman bin Qarm...beliau syiah...dhaif.

Jadi hadits diatas adalah hadits dhaif.

Kalau pun kita terima hadits tsb, maka bahwa Ali ra bukan satu-satu manusia yang paling dicintai Allah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ وأحبُّ الأعمالِ إلى اللهِ عزَّ وجلَّ سرورٌ يُدخلُه على مسلمٍ أو يكشفُ عنه كُربةً أو يقضي عنه دَينًا أو يطردُ عنه جوعًا ولأن أمشيَ مع أخٍ في حاجةٍ أحبُّ إليَّ من أن أعتكفَ في هذا المسجدِ ( يعني مسجدَ المدينةِ ) شهرًا ومن كفَّ غضبَه ستر اللهُ عورتَه ومن كظم غيظَه ولو شاء أن يمضيَه أمضاه ملأ اللهُ قلبَه رجاءَ يومِ القيامةِ ومن مشى مع أخيه في حاجةٍ حتى تتهيأَ له أثبت اللهُ قدمَه يومَ تزولُ الأقدامُ

“manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat untuk manusia. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiraan yang engkau masukan ke hati seorang mukmin, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau membayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Dan aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi kebutuhannya itu lebih aku cintai daripada ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya. Dan siapa yang menahan marahnya maka Allah akan tutupi auratnya. Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia bisa menumpahkannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan di hari kiamat. Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya sampai ia memenuhi kebutuhannya, maka Allah akan mengokohkan kedua kakinya di hari ketika banyak kaki-kaki terpeleset ke api neraka” (HR. Ath Thabrani 6/139, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/575).



Seconprince :

“Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku” sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].

Demikian lah yg dikatakan oleh Aisyah radiallahu’ anhu di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan didengar pula oleh Abu Bakar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mencintai Ali dari Abu Bakar dan Aisyah. Sudah jelas ini adalah bukti nyata keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar radiallahu ‘anhu. Sangat jelas dapat dipahami semua strata kaum muslimin yang berakal dan paham bahasa manusia. Inilah penjelasan dan bukti shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidaklah mengherankan jika Abu Bakar sendiri kendati ia dibaiat sebagai khalifah, ia sendiri mengakui kalau ia bukanlah yang terbaik diantara para sahabat Nabi.


Tanggapan :
Ucapan diatas bukan sabda Nabi...itu hanya persangkaan dari 'Aisyah saja.

Sedangkan menurut Rosululloh saw sendiri bahwa yg paling beliau cintai diantara kaum laki-laki adalah Abu Bakar.

Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengutus pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Maka aku (Amr bin Ash) mendatanginya, dan bertanya kepadanya: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (Shahih Bukhari Fadhailil A’mal, Fath Al Bari juz ke 7, hal. 18 dan Shahih Muslim Fadhail Ash Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384).

Mengenai pidato pelantikan Abu Bakar....emangnya beliau harus mengatakan : Akulah yang terbaik...


Seconprince :
Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian juga tidak dapat menyainginya. Rasulullah SAW telah mengutusnya untuk memegang bendera pasukan. Saat itu, Jibril berada di sebelah kanannya sedangkan Mika’il berada di sebelah kirinya. Dia tidak akan pulang hingga negeri (yang didatanginya) berhasil ditaklukan [Musnad Ahmad no 1719 dan no 1720 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan dihasankan oleh Syaikh Al Arnauth]

Dapat kita lihat bahwa Imam Hasan alaihis salam mengakui keutamaan ayahnya Imam Ali yang tidak bisa dicapai oleh orang sebelum beliau dan setelah beliau. Ini merupakan pengakuan yang jelas akan keutamaan Imam Ali diatas semua sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar.



Tanggapan :
Ini adalah anggapan Hassan bin Ali...bukan sabda Nabi saw.

Sanjungan tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah terbunuhnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah sehingga membenci ‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin ‘Aliy tampil di atas mimbar untuk mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan ‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum. Dan memang, ‘Aliy bin Abi Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu.

Apa yang dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Haritsah) radliyallaahu ‘anhuma saat orang-orang tidak menerima keputusan beliau yang telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan kedudukannya :

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberangkatkan pasukan dengan menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada sejumlah orang yang mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah sebagai panglima berarti kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima pada masa sebelumnya. Demi Allah, Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan anaknya ini (Usamah) juga termasuk orang yang paling aku cintai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 1525].

Tentu saja perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk mengunggulkan Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.


Seconprince :
Perkataan Imam Hasan alaihis salam ini lebih dapat dijadikan hujjah karena Beliau adalah ahlul bait yang telah disucikan dan menjadi pedoman bagi umat islam.


Tanggapan :
Bahwa Hassan bin Ali ra termasuk ahlul bait Nabi, akan tetapi menetapkan beliau sumber hujjah yang sejajar dengan Nabi, adalah merupakan kesesatan....

Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah menuturkan:
“Umar ibnul Khaththab ra datang kepada Nabi saw dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi saw pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa as masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.

Jangankan mengikuti Hasan bin Ali ra, mengikuti Nabi Musa saja Rosululloh saw sudah sangat murka.


Seconprince :
Kami pribadi walaupun mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tidak pernah kami mencela atau mencaci mereka berdua seperti yang dituduhkan oleh pengikut salafy.


Tanggapan :
Rupanya seconprince perlu diingatkan lagi akan perkataan orang yg dianggap imam mereka yaitu Ali bin Abu Thalib ra :

Aku mendengar ‘Aliy di atas mimbar, lalu ia memukul mimbar Kuufah dengan tangannya seraya berkata : Telah sampai kepadaku ada satu kaum yang mengutamakan diriku di atas Abu Bakr dan ‘Umar. Seandainya saja aku dapati hal itu sebelumnya, niscaya aku berikan/tetapkan hukuman padanya."


Seconprince :
Kami tetap menghormati mereka dan tidak pernah bersikap ghuluw terhadap mereka. Kami tidak pernah membela kesalahan mereka seperti yang ditunjukkan oleh sebagian pengikut salafy. Sebagian diantara mereka naik pitam jika kami menunjukkan kesalahan Abu Bakar dan Umar, padahal sebagai seorang yang mengaku pengikut sunnah maka sudah sewajarnya kalau yang menjadi pegangan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya Abu Bakar dan Umar menyalahi ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada halangan bagi kami menyalahkan mereka dan sangat tidak perlu kami bersusah-susah membela mereka karena mereka berdua bukanlah orang yang selalu dalam kebenaran, mereka berdua bukanlah orang yang menjadi pedoman bagi umat islam. Maka kita dapat lihat sikap ghuluw salafy terhadap Abu Bakar dan Umar dan bersamaan dengan itu mereka malah meninggalkan Ahlul Bait Rasul.


Tanggapan :
Benarkah seconprince tidak bersikap guluw thd Abu Bakar...?

Saya ingatkan penilaian seconprince kepada Abu Bakar :

secondprince pada April 2, 2014 pukul 7:22 am

@Naufal Assagaf

"Wa ‘alaikum salam. Bagi saya itu sudah jelas, bahwa kesesatan yang dimaksud adalah dalam hal mereka tidak membaiat Imam Aliy. Terlepas dari perkara itu para sahabat adalah orang-orang yang mulia. Pada dasarnya manusia itu tidak benar-benar hitam dan benar-benar putih. Semua orang memiliki kebaikan dan keburukan hanya saja berbeda kadarnya, begitu pula para sahabat. Secara umum para sahabat memiliki keutamaan dan kemuliaan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah salah atau tersesat dalam perkara tertentu. Adapun masalah hisab mereka itu nanti urusannya kembali kepada Allah SWT.
Jadi dari sisi saya pribadi, saya melihat tidak ada pertentangan antara riwayat Syi’ah yang menyatakan para sahabat tersesat dalam perkara Imamah dengan riwayat Syi’ah yang menyatakan keutamaan sahabat."

Spt itu penilaian seconprince, dia menganggap sesat Abu Bakar disebabkan beliau tdk membaiat Ali ra.

Padahal Ali sendiri lebih mengutamakan Abu Bakar dari pada beliau sendiri.


Seconprince :
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan Ahlul Bait sebagai pedoman bagi umat islam. Bukannya mengikuti perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka salafiyun malah mendustakannya, entahlah sebenarnya siapa yang diteladani oleh salafiyun?. Kami pribadi tidak paham dan tidak berniat memahami sikap mereka.
Salam damai.


Tanggapan :
Tidak benar bahwa ahlul bait sebagai pedoman dalam berislam.

Bahwa hadits ahlul bait hanya memerintahkan umat islam untuk berbuat baik kpd mereka.

Bahwa pegangan umat islam hanya dua, yaitu Al Quran dan Al Hadits yang shahih.

Wallohu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar