Rabu, 29 April 2015

13. KESALAHAN TELAK SECONDPRINCE : ME-MAJHUL-KAN ABDULLAH BIN SABU'


1. Setelah kita ketahui bahwa riwayat A'masy tidak idhthirab, dan telah hilang tadlisnya A'masy, maka telah sah bahwa Salim meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu (lihat riwayat A'masy bersama dengan riwayat Bakr)

2. Riwayat penguat tidak harus shahih, dan tidak benar kalau riwayat Tsa'labah merupakan riwayat yang idhthirab, mari kita buktikan :

Jalur riwayat Tsa'labah : A'masy -> Habib -> Tsa'labah

Jalur riwayat Abdullah bin Sabu' : A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu'

Sekarang dipersilahkan SP melihat dua jalur yang tersisa :

- A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra.
- A'masy -> Habib -> Tsa'labah -> Ali ra.

Apakah jalur ini idhthirab hanya dikarenakan A'masy meriwayatkan dari Salamah dan dari Habib ?

Jalur ini tidak dapat dihukumi idhthirab, karena dapat didudukkan pada tempatnya masing-masing. A'masy adalah perawi yang dikenal sebagai perawi yang tsiqat lagi hafidz, yaitu perawi yang jujur dan hafalannya sangat bagus, sehingga tidak ada celah bagi beliau dituduh salah menyampaikan jalur sanad, tidak seperti perawi yang buruk hafalannya, perawi yang buruk hafalannya sangat dimungkinkan dia lupa atau salah menyampaikan jalur sanad akibat buruknya hafalannya, hal ini tidak terjadi pada perawi yang disifati hafidz.

Apalagi amat sangat dimungkinkan bahwa seorang perawi mempunyai jalan sanad yang banyak disebabkan banyak guru yang ia ambil haditsnya. Yang menguatkannya lagi bahwa jalur sanad A'masy menerima dari Habib terdapat pula dalam shahih Muslim hadits no. 1151.
 
Justru disinilah kita bisa mengetahui idhthirab itu terjadi manakala ada kegoncangan/ke-tidak pasti-an dalam sanad maupun matannya yang tidak dapat didudukkan posisinya. Kalau kita lihat riwayat Abdullah bin Sabu, terlihat kegoncangan sanadnya, yaitu :

- A'masy meriwayatkan dari siapa ? dari Salamah atau Salim ? terjadi perselisihan, dalam sanad wakie' disebutkan dari Salim, dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy dari Salamah.

- Siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu ? Salim atau Salamah ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' yang meriwayatkan adalah Salim, dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy yang menerima adalah Salamah.

- Siapakah yang meriwayatkan dari Ali ra ? Salim atau Abdullah bin Sabu ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' adalah Abdullah bin sabu dan dalam riwayat Yahya bin Yaman adalah Salim.

Tiga kegoncangan tersebut terdapat pada satu jalur sanad Abdullah bin Sabu yang kesemuanya berpangkal pada A'masy, sehingga riwayat dihukumi idhthirab.

Akan tetapi bila tidak terdapat perselisihan, apalagi jalurnya adalah jalur yang berbeda, dan tidak ada qarinah bahwa telah terjadi kegoncangan pada sanad maupun matannya, maka menghukumi idhthirab semata-mata ada perawi yang meriwayatkan dari syaikh yang berbeda merupakan suatu kekeliruan.

- Apakah pertanyaan A'masy meriwayatkan dari siapa ? Salamah atau Habib ? merupakan hal yang diperselisihan ? jawabannya tidak.

- Apakah pertanyaan Habib meriwayatkan dari siapa ? Salim atau Tsa'labah ? merupakan hal yang diperselisihkan ? jawabannya tidak.

- Apakah diperselisihkan siapakah yang diambil riwayatnya oleh Tsa'labah ? Ali ra ataukah Abdullah bin Sabu ? jawabannya tidak.

A'masy dalam jalur Tsa'labah menerima riwayat dari Habib tanpa perselisihan, demikian pula Habib menerima riwayat dari Tsa'labah tanpa perselisihan, demikian pula Tsa'labah menerima riwayat dari Ali juga tanpa perselisihan, sehingga sangatlah keliru apabila para pengingkar itu menghukuminya dengan idhthirab/goncang sanadnya. Akan tetapi bila riwayat ini dihukumi dhaif karena mudallisnya A'masy dan Habib, diterima.

Adapun menghukumi riwayat Tsa'labah terdapat idhthirab dalam matan dengan riwayat Abdullah bin Sabu, bisa diterima berdasarkan qarinah riwayat Imam Dzahabi dan Imam Ibnu Abdil Barr, kalimat tambahan perkataan Abdullah bin Sabu tersebut apakah memang terdapat dalam matan riwayat ataukah merupakan penggabungan dua riwayat yang berbeda yang dijadikan satu oleh A'masy.

Untuk menentukan mana yang benar dari dua kondisi riwayat A'masy diatas maka hendaklah dicermati dengan seksama matan hadits diatas, terdapat kalimat lalu 'Abdullah bin Subai berkata, dimana kalimat "lalu" adalah merupakan kelanjutan peristiwa sebelumnya yang diceritakan oleh Tsa'labah. Sehingga tidak benar bahwa riwayat tersebut merupakan penggabungan antara riwayat Abdullah bin sabu  dengan riwayat Imam Dzahabi maupun Imam Ibnu Abdil Barr.

Dari pembahasan diatas diketahui bahwa riwayat Tsa'labah tidak mengalami idhthirab, hanya saja lemah karena mudallis, akan tetapi ketika diiringi dengan riwayat dari Waqi' atau Abdullah bin Dawud maka riwayat tersebut menjadi KUAT, menambah keyakinan kita akan kebenaran peristiwa tersebut. Menambah keyakinan kita bahwa benar Tsa'labah mengenal Abdullah bin Sabu'.

3. Juga tidak boleh dilupakan tentang pen-jayyid-an Abu Bakar bin Ayyasy atas sanad A'masy dari Salim dari Abdullah bin Sabu', dimana pernyataan Abu Bakar bin Ayyasy ini sama persisi dengan periwayatan dari Wakie' baik dalam matan maupun sanad yang menunjukkan bahwa ketika meriwayatkan hadits tersebut Abu Bakar bin Ayyasy belum mengalami ikhtilath.

4. Setelah kita tahu tsabitnya Salim menerima dari Abdullah bin Sabu, dan "hasan" nya peristiwa Tsa'labah, serta menjayyid-an Abu Bakar bin Ayyasy,  maka pendapat majhulnya Abdullah bin Sabu perlu dikoreksi kembali.

5. Penghukuman Maqbul dari Ibnu Hajar bukan hanya dikarenakan, hanya Salim saja yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu', akan tetapi ada juga jalur Salamah, ada juga jalur riwayat Nasa'i, akan tetapi beliau tidak yakin akan mahfudznya jalur tersebut, sehingga beliau memilih status maqbul sampai ditemukan mutaba'ahnya. (Wallahu a'lam).

6. Tentang pendapat Syaikh Muqbil atas perawi yang hanya ditautsiq oleh Ibnu Hibban dapat dijadikan penguat terdapat dalam :

وقد سؤل الشيخ المحدث مقبل بن هادي الوادعي رحمه الله تعالى، السؤال التالي
بالنسبة لتوثيق العجلي، ذكر الشيخ الألباني حفظه الله تعالى، أن العجلي والحاكم متساهلان في التوثيق، ومع ذلك أجد الحافظ ابن حجر، إذا لم يكن في ترجمة الرجل إلا قول العجلى: (كوفي ثقة) أو (مدنيّ تابعيّ ثقة) يقول في "التقريب": ثقة، فما وجه تساهل العجلي؟

فأجاب رحمه الله تعالى:

قد عرف بالاستقراء، من تفرده -مع ابن حبان- بتوثيق بعض الرواة الذين لم يوثقهم غيرهما، فهذا عرف بالاستقراء، وإلا فلا أعلم أحدًا من الحفاظ نص على هذا، والذى لا يوثقه إلا العجلي، والذي يوثقه أحدهما أو كلاهما، فقد لا يكون بمنْزلة صدوق، ويصلح في الشواهد والمتابعات، وإن كان العجلي يعتبر أرفع في هذا الشأن، فهما متقاربان، و"التقريب" محتاج إلى إعادة نظر، فربما يقول فيه: مقبول، وتجد ابن معين قد وثّقه، أو على العكس يقول: ثقة، ولا تجد إلا العجلي أو ابن حبان، وقد أعطانا الشيخ محمد الأمين المصري رحمه الله تعالى عشرة عشرة، كل واحد عشرة ممن قيل فيه: (مقبول)، فالذي تحصل لي أن "التقريب" يحتاج إلى نظر، ونحن لا نرجع إلى "التقريب" إلا إذا رأينا للعلماء المتقدمين عبارات مختلفة، لا نستطيع التوفيق بين عباراتهم، فنرجع إلى "التقريب"، ونأخذ عبارة صاحب "التقريب". اهـ.

المقترح في أجوبة أسئلة المصطلح ص 19.

PENDAPAT SYAIKH MUQBIL TERHADAP
TAUTSIQ IMAM AL ‘IJLI

Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Haadiy al-Waadi’i pernah ditanya dengan pertanyaan berikut, berkaitan dengan tautsiq Al ‘Ijli :

Soal : Syaikh Al Albani –Hafidhohullah- menyebutkan bahwa Al ‘Ijli dan Al Haakim adalah ulama yang mutasaahil dalam tautsiq, namun aku mendapatkan Al Hafidz Ibnu Hajar, jika tidak ada komentar terhadap biografi seorang perowi, kecuali perkataannya Al ‘Ijli (misalnya) : ‘orang Kufah tsiqoh’ atau ‘Orang Madinah Tabi’i tsiqoh ‘, maka Al Hafidz dalam “at-Taqriib” berkata : ‘tsiqoh’. sehingga apa sisi ke-Tasaahulan- dari Imam Al ‘Ijli?

Jawab :

Telah diketahui berdasarkan penelitian kesendirian beliau –bersama Imam Ibnu Hibban- dalam mentautsiq sebagian perowi yang tidak ada ulama lain yang memberikan tautsiq kepadanya. Maka masalah ini diketahui dengan penelitian, karena jika tidak seperti itu, saya belum mengetahui ucapan Hufadz dalam hal ini.

Perowi yang tidak ditautsiq, kecuali oleh Al ‘Ijli atau perowi yang ditautsiq oleh Al ‘Ijli dan atau Ibnu Hibban, terkadang perowi tersebut tidak bisa dihukumi sebagai shoduq, namun hanya layak dijadikan sebagai penguat, sekalipun Imam Al ‘Ijli dianggap lebih tinggi kedudukannya dalam perkara ilmu ini (dibanding Ibnu Hibban), namun Imam Al ‘Ijli dan Imam Ibnu Hibban hampir sama (dalam masalah Tasahul).

Kitab “at-Taqriib” (karya Al Hafidz Ibnu Hajar) perlu diteliti ulang, terkadang tertulis didalamnya ‘maqbul’, padahal didapati Imam Ibnu Ma’in mentsiqohkannya atau kebalikannya didalamnya tertulis ‘tsiqoh’, padahal hanya Al ‘Ijli atau Ibnu Hibban yang mentsiqohkannya. Kami pernah memberikan kepada Syaikh Muhammad al-Amiin al-Mishri 10 perowi 10 perowi yang  semua sepuluh perowi tersebut dikatakan maqbul, lalu beliau memberikan hasilnya kepadaku bahwa at-Taqriib butuh kepada penelitian.

Kami tidak menjadikan at-Taqriib sebagai rujukan, kecuali jika kami mendapatkan perbedaan pendapat ulama mutaqodimiin dan kami tidak sanggup melakukan kompromi terhadap perbedaan tersebut, maka ketika itu kami merujuk kesana dan menggunakan pendapat penulisnya. (lihat link dibawah ini, pada hal 25)
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=188417%C2%A0

7. Syaikh Ahmad Syakir dan Al Hatsami menyatakan Abdullah bin Sabu tsiqat (musnad Ahmad hadits no. 1078).

8. Kesimpulannya Abdullah bin Sabu' seorang yang majhul hal, dapat digunakan sebagai penguat riwayat Amr bin Sufyan, sehingga derajat riwayatnya menjadi hasan lighairihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar