Rabu, 13 Mei 2015

14. KESIMPULAN TERAKHIR ATAS BANTAHAN TERHADAP SECONDPRINCE AKAN SHAHIHNYA ATSAR TIDAK ADA WASIAT KEPEMIMPINAN KEPADA ALI RA

Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya

Tidak merasanya Ali ra ditunjuk sebagai kepemimpinan umat sepeninggal Nabi saw telah ditetapkan dalam hadis-hadis shahih, dibenarkan oleh mereka yang mengetahuinya dan diingkari oleh para pengingkar. 

Di antara pengingkaran mereka adalah melakukan syubhat ditengah-tengah umat dengan melemahkan atsar-atsar tentang Ali ra tidak merasa ditunjuk oleh Nabi saw, dan men-shahih-kan atsar-atsar tentang wasiat kepemimpinan Nabi saw kepada Ali.

Adapun riwayat wasiat kepemimpinan Nabi saw masih bermakna mujmal, masih diperselisihkan, apakah yang dimaksud adalah kepemimpinan ataukah yang dimaksud adalah kecintaan.

Sedangkan riwayat Rasulullah saw tidak pernah berwasiat tentang kepemimpinan kepada Ali ra, mempunyai makna yang satu dan jelas, yaitu tentang imamah (kepemimpinan).

Tulisan ini bermaksud untuk menyibak kabut syubhat mereka, menjelaskan secara tuntas akan keberadaan riwayat Ali ra tidak merasa ditunjuk sebagai pengganti kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw, sekaligus sebagai pembantah bagi mereka yang melemahkannya.

Bismillahirrahmanirrahim, dengan memohon taufik dari Allah, inilah pembahasannya.

Riwayat Abdullah bin Sabu’ 


حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى؟ ! قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ، قَالَ: إِذًا تَالَلَّهِ تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ؟ وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً: إِذَا لَقِيتَهُ؟ قَالَ: أَقُولُ: ” اللَّهُمَّ تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ، ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ فِيهِمْ، فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu] mengatakan Sungguh akan diwarnai dari sini hingga sini, dan tidak menungguku selain kesengsaraan.” Para shahabat bertanya “Wahai Amirul-Mukminiin beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya”. Ali berkata “Kalau begitu demi Allah, kalian akan membunuh orang selain pembunuhku.” Mereka berkata “Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami”. ‘Aliy menjawab “Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] tinggalkan untuk kalian”. Mereka bertanya “Apa yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadap-Nya?”. Dalam kesempatan lain Wakii’ berkata “Jika kamu bertemu dengan-Nya?” ‘Aliy berkata “Aku akan berkata Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka hancurkanlah mereka [Musnad Ahmad 1/30]

Hadis dengan jalan ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 3/20, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 14/596 & 15/118, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no 341, Al Khallaal dalam As Sunnah no 332, Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 594 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538. Semuanya dengan jalan sanad dari Waki’ dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu, riwayat ini shahih bersambung hingga Ali ra.

Waki’ mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan Al Laalikaa’iy dalam Syarh Ushul Al I’tiqaad 1/664-665 no 1209 dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538-539 dengan jalan Ishaaq bin Ibrahim dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Ishaq bin Ibrahim berkata :

سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَيَّاشٍ، يَقُولُ: عِنْدِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ أَخْبَرَنِي الأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، أَنَّ عَلِيًّا خَطَبَهُمْ بِهَذِهِ الْخُطْبَةِ

Aku mendengar Abu Bakar bin ‘Ayyasy mengatakan “disisiku hadis ini sanadnya jayyid, telah mengabarkan kepadaku Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ bahwa Aliy berkhutbah kepada mereka dengan khutbah ini

Tashshih Abu Bakar bin ‘Ayyasy terhadap sanad ini menunjukkan tautsiq terhadap para perawinya termasuk Abdullah bin Sabu’. Sehingga terangkatlah jahatul ‘ainnya Abdullah bin Sabu’.

Adapun para pengingkar yang menolak tashshih Abu Bakar bin Ayyasy ini dengan alasan jauhnya jarak usia Abu Bakar bin Ayyas dengan usia Ishaq bin Ibrahim (Ishaq bin Ibrahim masih hidup 63 tahun setelah meninggalnya Abu Bakar bin Ayyasy) menunjukkan bahwa Ishaq bin Ibrahim menerima riwayat ini ketika Abu Bakar sudah mengalami ikhtilath karena sudah tua.

Penolakan diatas hanya berdasarkan kepada akal-akalan saja, perbedaan 63 tahun masih memungkinkan Ishaq bin Ibrahim bertemu dengan Abu Bakar bin Ayyasy. Dengan asumsi Ishaq bin Ibrahim menimba ilmu pada usia 15 tahun, maka usia Abu Bakar bin Ayyasy adalah 78 tahun, suatu usia yang masih memungkinkan tidak terjadinya ikhtilath.

Para pengingkar itu masih menolak tashshih Abu Bakar bin Ayyasy dengan alasan : Abu Bakar bin ‘Ayyasy adalah perawi yang diperbincangkan keadaannya sebagian menta’dilkannya dan sebagian menjarh-nya karena terdapat kelemahan pada hafalannya bahkan Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkan hadisnya dari Al A’masy dan selainnya. Abu Bakar buruk hafalannya ketika beranjak tua. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, buruk hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366].

Para pengingkar tersebut tidak adil dalam menilai Abu Bakar bin Ayyasy, jarh terhadap beliau dibesar-besarkan akan tetapi yang menta'dil disamarkan. Sebenarnya para pengingkar tersebut sudah menjawab sendiri atas alasan mereka dengan menyebutkan kesimpulan penilaian terhadap Abu Bakar bin Ayyasy yang dilakukan oleh Imam Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/366, bahwa jarh terhadap Abu Bakar bin Ayyasy terjadi di masa tuanya, sehingga wajar kalau Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkan haditsnya dari A'masy dan selainnya. Akan tetapi pendhaifan Muhammad bin Abdullah bin Numair ini keliru, Abu Bakar bin Ayyasy dimungkinkan bertemu dengan A'masy pada usia kurang lebih 47 tahun (A'masy wafat tahun 147 H dan Abu Bakar bin Ayyasy wafat tahun 194 H).

Yang menguatkan bahwa Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan hadits tersebut kepada Ishaq bin Ibrahim adalah diwaktu beliau tidak mengalami ikhtilath, adalah kesesuaian riwayat beliau dengan jalur hadits yang diriwayatkan oleh Wakie', baik dalam matannya maupun dalam sanadnya.

Tidak puas dengan syubhat-syubhat diatas, para pengingkar masih melancarkan syubhat yang lain lagi, yaitu : selain itu yang menguatkan bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy ini berasal dari hafalannya yang buruk adalah tadlis Al A’masy merupakan perkara ma’ruf di sisi Abu Bakar maka bagaimana mungkin ia mengatakan hadis tersebut sanadnya jayyid padahal di dalamnya ada ‘an anah dari Al A’masy.

Setelah kita ketahui bahwa tashshih Abu Bakar bin Ayyasy terjadi ketika beliau belum mengalami ikhtilath, maka justru pen-jayyid-an beliau atas salah satu sanad menunjukkan perajihan beliau terhadap sanad tersebut dengan sebab-sebab yang diketahui beliau akan tetapi tidak sampai kepada kita.

Para pengingkar terus melancarkan syubhat mereka dengan menggunakan contoh-contoh buruknya hafalan Abu Bakar bin Ayyasy sebagaimana riwayat di bawah ini.

وقال عبد الله بن أحمد عن أبيه في أحاديث الأعمش عن مجاهد قال أبو بكر بن عياش عنه حدثنيه ليث عن مجاهد

Abdullah bin Ahmad berkata dari ayahnya tentang hadis-hadis Al A’masy dari Mujahid, Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan darinya [A’masy] berkata “telah menceritakan kepadanya dari Laits dari Mujahid” [At Tahdzib juz 4 no 386]

Imam Ahmad mengatakan bahwa Abu Bakar buruk hafalannya sehingga lupa antara A'masy dengan Mujahid ada Laits.

Tidak kami ingkari bahwa Abu Bakar bin Ayyasy buruk hafalannya, tapi persoalannya disini adalah mengenai penilaian pribadi beliau sendiri atas jalur yang di-jayyidkan (tentang para perawinya), tidak ada hubungannya dengan penyampaian riwayat maupun sanad (bukan status hadits). Kalau toh hadits beliau dilemahkan akibat buruknya hafalan, maka tuduhan buruknya hafalan beliau pada hadits ini hilang dengan adanya mutaba'ah sanad dari waki'. Harap dibedakan antara menyampaikan riwayat atau sanad dengan penilaian terhadap jalur sanad. 

Para pengingkar masih berusaha menolak tashshih dengan argumen dibawah ini :

Apalagi hadis ini juga diriwayatkan oleh Aswad bin ‘Amir dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dengan sanad yang berbeda yaitu dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dan tanpa penyebutan tashih sanad yaitu sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 1/156 dan Fadha’il Ash Shahabah no 1211

نا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ  عَبْدِ  اللَّهِ  بْنِ  سَبُعٍ ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيٌّ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar dan ia adalah Ibnu ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Ali berkhutbah kepada kami”

Aswad bin ‘Aamir wafat tahun 208 H yang berdekatan dengan wafatnya Abu Bakar bin ‘Ayyasy tahun 194 H. Walaupun tidak diketahui apakah Aswad bin ‘Aamir meriwayatkan sebelum atau sesudah Abu Bakar berubah hafalannya tetapi dilihat dari tahun wafat mereka maka Aswad bin ‘Aamir memiliki kemungkinan yang lebih besar meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum hafalannya buruk. Maka riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy yang lebih rajih adalah riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir darinya yaitu riwayat  Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’

Ini hanyalah pendapat para pengingkar tersebut, dimana mereka menyalahi si pemilik riwayat itu sendiri yang jelas-jelas lebih menjayyid-kan jalur riwayat A'masy dari Salim daripada jalur riwayat A'masy dari Salamah.

Inti kesalahan para pengingkar tersebut adalah mencampuradukkan buruknya hafalan Abu Bakar bin Ayyasy ketika meriwayatkan sanad atau hadits dengan penilaian Abu Bakar bin Ayyasy terhadap sanad. Kalau mereka mau berfikir lebih dalam, maka perkara ini akan jelas seterang matahari. Semoga !!!. 

Sekali lagi kami tekankan bahwa pen-jayyid-an Abu Bakar bin Ayyasy ini bukan berarti bahwa sanad yang ia riwayatkan berstatus shahih, ini hanya berkaitan dengan pentautsiqan beliau atas perawi-perawi yang ada dalam sanad tersebut, merupakan perawi-perawi yang tsiqah menurut beliau. Mereka (A'masy, Salim dan Abdullah bin Sabu') merupakan orang-orang yang tsiqah menurut Abu Bakar bin Ayyasy. Akan tetapi riwayat tersebut belum tentu shahih.

Adapun riwayat yang para pengingkar sebutkan diatas, yaitu yang melalui jalur Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ tidak shahih bersambung sampai kepada A'masy akibat ikhtilathnya Abu Bakar bin Ayyasy.

Khutbah Imam Ali riwayat Abdullah bin Sabu’ ini juga diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdul Hamiid dari Al A’masy yaitu sebagaimana disebutkan Abu Ya’la

حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Saalim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami [Musnad Abu Ya’la no 590]

Riwayat Jarir ini juga disebutkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 595, Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 198 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/540. 

Jarir memiliki mutaba’ah dari Abdullah bin Dawuud Al Khuraibiy sebagai mana disebutkan Ajjuriy dalam Asy Syari’ah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَعْمَشَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Hamiid Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dawud yang berkata aku mendengar Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Ali [radiallahu ‘anhu] di atas mimbar [Asy Syari’ah 3/267-268]

Riwayat Abdullah bin Dawud juga disebutkan Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 150 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/541

Riwayat Jarir bin Abdul Hamid diatas tidak shahih bersambung sampai kepada A'masy akibat ikhtilathnya Jarir bin Abdul Hamid, sedangkan riwayat Abdullah bin Dawud sanadnya shahih bersambung sampai kepada A'masy.

Yahya bin Yaman meriwayatkan dari Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d tanpa menyebutkan ‘Abdullah bin Sabu’

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yamaan dari Sufyaan Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d yang berkata dikatakan kepada Ali [radiallahu ‘anhu] [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1249 & 1317]. Riwayat diatas tidak shahih bersambung kepada A'masy akibat ikhtilathnya Yahya bin Yaman.

Khotbah Ali ra yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sabu diatas juga disaksikan oleh Tsa’labah bin Yazid Al Himmany. Riwayat ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 871, Kasyf Al Astaar no 2572, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/542 semuanya dengan jalan sanad dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yaziid. Berikut riwayat Al Bazzar

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْجُنَيْدِ، قَالا: ثنا أَبُو الْجَوَابِ، قَالَ: ثنا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ يَزِيدَ الْحِمَّانِيِّ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: ” وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذِهِ لِلِحْيَتِهِ مِنْ رَأْسِهِ فَمَا يُحْبَسُ أَشْقَاهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُبَيْعٍ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَوْ أَنَّ رَجُلا فَعَلَ ذَلِكَ أَبَرْنَا عِتْرَتَهُ، قَالَ: قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، أَنْ تَقْتُلَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنِّي أَتْرُكُكُمْ كَمَا تَرَكَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَمَاذَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ وَقَدْ تَرَكْتَنَا هَمَلا، قَالَ: أَقُولُ لَهُمُ اسْتَخْلَفْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ قَبَضْتَنِي وَتَرَكْتُكَ فِيهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’iid Al Jawhariy dan Muhammad bin Ahmad bin Al Junaid yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abul Jawaab yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar bin Ruzaiq dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yazid Al Himmaniy yang berkata Aliy berkata “Demi Dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan semua jiwa. Sungguh akan diwarnai darah dari sini hingga sini, yaitu dari kepala hingga jenggot. dan tidak menungguku selain kesengsaraan”. Lalu ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Demi Allah wahai Amiirul-mukminiin, seandainya ada seorang laki-laki yang melakukan hal itu, sungguh akan kami  binasakan keluarganya”. Aliy berkata “Aku bersumpah kepada Allah bahwasannya engkau membunuh orang yang tidak membunuhku”. Mereka berkata “Wahai Amiirul-mukminiin, tidakkah engkau mengangkat khalifah pengganti untuk kami?”. ‘Aliy menjawab “Tidak. Akan tetapi aku akan meninggalkan kalian sebagaimana Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] telah meninggalkan kalian”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Lalu, apakah yang akan engkau katakan kepada Rabbmu apabila engkau menemui-Nya dimana engkau meninggalkan kami mengurus keadaan kami sendiri?”. Aliy menjawab “Aku berkata Engkau telah mengangkat aku sebagai khalifah di tengah-tengah mereka sesuai kehendak-Mu, kemudian engkau mematikanku dan aku tinggalkan Engkau di tengah-tengah mereka [Musnad Al Bazzaar no 871]

Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘an anah Al A’masy dan Habib bin Abi Tsabit, keduanya dikenal sebagai mudallis. Ad Daruquthni memasukkan riwayat ini sebagai bagian dari idhthirab Al A’masy dan mengatakan tidak dhabit sanadnya [Al Ilal no 396]. Disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam 3/647 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 3/1125 yang mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid yaitu sampai lafaz “tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan” tanpa menyebutkan lafaz Abdullah bin Sabu’ berkata

Para pengingkar itu tidak bosan-bosannya menyuntikkan syubhatnya dengan mengatakan : disini terdapat qarinah yang menunjukkan illat [cacat] bahwa Al A’masy menampuradukkan antara hadis Tsa’labah bin Yazid dan hadis Abdullah bin Sabu’. Maka riwayat Tsa’labah bin Yazid tidak bisa dijadikan syahid riwayat Abdullah bin Sabu’ karena keduanya berasal dari idhthirab Al A’masy.

Perhatikan matan hadits diatas, terdapat kalimat lalu 'Abdullah bin Subai berkata, dimana ini merupakan kelanjutan peristiwa sebelumnya yang diceritakan oleh Tsa'labah. Sehingga tidak benar bahwa riwayat tersebut merupakan penggabungan antara riwayat Abdullah bin sabu  dengan riwayat Imam Dzahabi maupun Imam Ibnu Abdil Barr. Tentang penjelasan kesalahan penghukuman idhthirab sanad atas jalur riwayat Tsa'labah ini akan dikemukakan setelah penjelasan tarjih riwayat Abdullah bin Sabu.

Dari paparan riwayat khotbah Ali ra diatas, dapat dilihat bahwa semua riwayat berporos kepada A'masy yang mana hal ini berakibat penghukuman idhthirab atas jalur sanad-sanad tersebut.

Akan tetapi melalui metode tarjih, dapat kita pilih mana jalur yang shahih sampai A'masy, dan mana jalur yang tidak bersambung sampai kepada A'masy.

Ternyata hanya ada dua jalur yang shahih bersambung sampai kepada A'masy, yaitu :

a. A'masy -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra.
b. A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra.

Dari dua jalur tersebut terlihat bahwa A'masy menggugurkan Salamah dalam jalur pertama akibat dari tadlis beliau. Sehingga tersingkaplah bahwa jalur yang asli adalah jalur kedua, dan hilanglah tuduhan idhthirab untuk sanad ini. Akan tetapi masih ada cacat yang lain, yaitu masih terjadi idhthirab dengan jalur sanad Tsa'labah.

Sekarang dipersilahkan para pembaca melihat dua jalur yang tersisa :

- A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali ra.
- A'masy -> Habib -> Tsa'labah -> Ali ra.

Apakah jalur ini idhthirab hanya dikarenakan A'masy meriwayatkan dari Salamah dan dari Habib ? Kalau pemahaman seperti terjadi niscaya tidak akan diterima jalur sanad seorang perawi yang mempunyai banyak syaikh/guru.
Justru disinilah kita bisa mengetahui idhthirab itu terjadi manakala ada kegoncangan/ke-tidak pasti-an dalam sanad maupun matannya yang tidak dapat didudukkan posisinya. Kalau kita lihat riwayat Abdullah bin Sabu, terlihat kegoncangan sanadnya, yaitu :

- A'masy meriwayatkan dari siapa ? dari Salamah atau Salim ? terjadi perselisihan, dalam sanad wakie' disebutkan dari Salim, dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy dari Salamah.

- Siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu ? Salim atau Salamah ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' yang meriwayatkan adalah Salim, dalam riwayat Abu Bakar bin Ayyasy yang menerima adalah Salamah.

- Siapakah yang meriwayatkan dari Ali ra ? Salim atau Abdullah bin Sabu ? terjadi perselisihan, dalam riwayat Wakie' adalah Abdullah bin sabu dan dalam riwayat Yahya bin Yaman adalah Salim.

Tiga kegoncangan tersebut terdapat pada satu jalur sanad Abdullah bin Sabu yang kesemuanya berpangkal pada A'masy, sehingga riwayat dihukumi idhthirab.

Akan tetapi bila tidak terdapat perselisihan, apalagi jalurnya adalah jalur yang berbeda, dan tidak ada qarinah bahwa telah terjadi kegoncangan pada sanad maupun matannya, maka menghukumi idhthirab semata-mata ada perawi yang meriwayatkan dari syaikh yang berbeda merupakan suatu kekeliruan.

- Apakah pertanyaan A'masy meriwayatkan dari siapa ? Salamah atau Habib ? merupakan hal yang diperselisihan ? jawabannya tidak.

- Apakah pertanyaan Habib meriwayatkan dari siapa ? Salim atau Tsa'labah ? merupakan hal yang diperselisihkan ? jawabannya tidak.

- Apakah diperselisihkan siapakah yang diambil riwayatnya oleh Tsa'labah ? Ali ra ataukah Abdullah bin Sabu ? jawabannya tidak.

A'masy dalam jalur Tsa'labah menerima riwayat dari Habib tanpa perselisihan, demikian pula Habib menerima riwayat dari Tsa'labah tanpa perselisihan, demikian pula Tsa'labah menerima riwayat dari Ali jaga tanpa perselisihan, sehingga sangatlah keliru apabila para pengingkar itu menghukuminya dengan idhthirab/goncang sanadnya. Akan tetapi bila riwayat ini dihukumi dhaif karena mudallisnya A'masy dan Habib, diterima. 

Kesimpulan dari riwayat Tsa'labah ini, adalah : tidak mengalami idhthirab, dapat menjadi syahid atas Abdullah bin sabu'.

Riwayat di bawah ini dapat digunakan qarinah menghilangkan tadlis atas riwayat Al A’masy, karena jalur ini tidak melalui A'masy tetapi sama-sama melalui Salim.
 
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَكِيمٍ، قال: ثنا أَبِي، قال: ثنا بَكْرُ بْنُ بَكَّارٍ، قال: ثنا حَمْزَةُ الزَّيَّاتُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَلِيٌّ،

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muhammad bin Ibrahiim bin Hakiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Bakr bin Bakkaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamzah Az Zayyaat dari Hakiim bin Jubair dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy  [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/29]

Riwayat ini lemah akan tetapi ringan kelemahannya karena hanya bermasalah dalam hal ke-dhabit-an perawinya saja. Berikut penilaian para ulama atas perawi lemah tersebut, yaitu karena lemahnya Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair

Mengenai Bakr bin Bakkaar, Abu Ashim An Nabiil dan Asyhal serta Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata “dhaif al hadits, buruk hafalannya dan mengalami ikhtilath”. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Nasa’i terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Al Uqailiy, Ibnu Jaruud dan As Saajiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 1 no 882]. Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan no. 1566 memberikan contoh bahwa Bakr bin Bakkaar pernah mencuri sanad.

Pembaca bisa lihat, bahwa Bakr bin Bakkaar seorang yang tsiqat, akan tetapi mempunyai kelemahan dalam hafalannya sehingga mengalami ikhthilat dan salah memasukkan sanad (diistilahkan Ibnu Hajar dengan mencuri hadits). Keadaan perawi semacam ini dapat menguatkan dan dikuatkan dengan sanad lain yang sebanding.

Mengenai Hakim bin Jubair, Ahmad berkata “dhaif al hadits mudhtharib”, Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, Yaqub bin Syaibah berkata “dhaif al hadits”. Abu Zur’ah berkata “shaduq insya Allah”. Abu Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni berkata “matruk”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya” [At Tahdzib juz 2 no 773]

Pembaca bisa lihat, pada dasarnya beliau adalah shaduq tapi kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar, sehingga kebanyakan para ulama meninggalkan periwayatan beliau (matruk). 

Sudah maklum dalam ilmu mushthalah hadits, bahwa riwayat yang lemah dari segi ke-dhabit-an dengan riwayat mudallas dapat menjadi saling menguatkan. Riwayat Bakr bin Bakkaar dan riwayat A'masy ini dari segi status haditsnya dapat saling kuat menguatkan dan dari segi jalur sanadnya dapat memastikan bahwa Salim benar-benar meriwayatkan peristiwa tersebut.

Hal ini yang dilakukan Imam Asakir, ketika meriwayatkan hadits Bakr bin Bakkaar ini beliau mengatakan :

Saalim tidak mendengarnya [hadis itu] dari ‘Aliy, sesungguhnya ia hanyalah meriwayatkannya [hadis itu] dari ‘Abdullah bin Sabu’.

Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan bin Muzhaffar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim bin Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy. Keduanya [Abu Muhammad dan Abu ‘Aliy] berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Wakii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Aliy…[Tarikh Ibnu Asakir 42/538]

Jadi Imam Ibnu Asaakir menjadikan riwayat A'masy ini  sebagai penambal riwayat Bakr bin Bakkaar. 

Sebagai tambahan, terdapat riwayat lain yang diluar jalur A'masy yang walaupun lemah akibat adanya beberapa perawi majhul, akan tetapi dapat menjadi pertimbangan bahwa Salamah benar meriwayatkan peristiwa tersebut. Riwayatnya sebagai berikut : Dari Aban bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/541

أَنْبَأناهُ أَبُو بَكْرٍ الشِّيرُوِيُّ، وَحَدَّثَنَا أَبُو الْمَحَاسِنِ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْهُ.ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْوَاسِطِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ، قَالا: أنا الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْحِيرِيُّ، نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ، نا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبِيبَةَ الْقُرَشِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ الْفُرَاتِ الْعِرَارُ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy Syiiruwiy dan telah menceritakan kepada kami Abu Mahaasin Abdurrazaq bin Muhammad darinya. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Khatib. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Al Qaadhiy Abu Bakar Al Hirriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Abbaas Muhammad bin Ya’qub Al Ashaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al Qurasyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hasan bin Furaat Al ‘Iraar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umar dari Abaan bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkata [Tarikh Ibnu Asakir 42/541].

Riwayat ini dhaif sanadnya sampai Aban bin Taghlib karena diriwayatkan oleh para perawi majhul (Abu Hasan Ali bin Muhammad, Yahya bin Hasan, Muhammad bin Umar). Riwayat ini melalui Salamah, sehingga besar kemungkinannya Salamah benar-telah meriwayatkan peritiwa tersebut.

Dari paparan-paparan diatas dapat diketahui bahwa riwayat :

A'masy -> Salamah -> Salim -> Abdullah bin Sabu -> Ali

Berkedudukan tidak idhthirab, akan tetapi masih dhaif dikarenakan terjadi perselisihan antara para ulama mengenai status Abdullah bin Sabu.

Para pengingkar tersebut berkata bahwa Abdullah bin Sabu adalah majhul 'ain, sehingga dhaif haditsnya tidak dapat naik menjadi hasan.

Mari kita lihat : 

- Abdullah bin Sabu disebutkan oleh Ibnu Hajar sebagai seorang yang maqbul, artinya riwayatnya dhaif, sampai diketahui ada mutaba'ahnya, riwayat Tsa'labah dan Amr bin Sufyan (yang akan dibahas kemudian) menjadi mutaba'ah bagi Abdullah bin Sabu, sehingga riwayat Abdullah bin Sabu dapat diterima menurut syarat Ibnu Hajar.

- Abdullah bin Sabu diambil riwayatnya oleh Salim, dan di-jayyid-kan oleh Abu Bakar bin Ayyasy, yang berkonsekwensi hilanglah majhul 'ain beliau.

- Syaikh Ahmad Syakir menilai tsiqat Abdullah bin Sabu (lihat Musnad Ahmad no. 1078), dimana beliau memandang bahwa perawi yang disebut dalam Ats Tsiqatnya Ibnu Hibban dan disebut biografinya oleh Bukhari dan Abu Hatim tanpa menyebutkan jarh dan ta'dilnya, maka menurut beliau perawi tersebut tsiqat. Dan ternyata disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat juz 5 no 3646. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 283 dan Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 5/68 no 322, keduanya tidak menyebutkan jarh dan ta’dil pada Abdullah bin Sabu’.

Kesimpulannya bahwa Abdullah bin Sabu seorang yang terkenal, beliau termasuk pengikut dalam pasukan Ali ra, dikenal oleh Tsa’labah bin Yazid dan dimbil riwayatnya oleh Salim bin Abi Ja’d, di-jayyid-kan oleh Abu Bakar bin Ayyasy dan ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban, Al Haitsami dan Syaikh Ahmad Syakir.

Terakhir, riwayat Abdullah bin Sabu ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan menurut Syaikh Syua’ib Al Arnauth berderajat hasan lighairihi.

Riwayat ‘Amru bin Sufyan

Diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/114, Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 477, As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1333, Al Ilal Daruquthni no 442 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaaq dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy. Berikut riwayat Ahmad dalam Musnad-nya

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang memberitakan kepada kami Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy [radiallahu ‘anhu] bahwa ia berkata pada saat perang Jamal “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak pernah berwasiat kepada kami satu wasiatpun yang mesti kami ambil dalam masalah kepemimpinan. Akan tetapi hal itu adalah sesuatu yang kami pandang menurut pendapat kami, kemudian diangkatlah Abu Bakar menjadi Khalifah, semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Ia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya, kemudian diangkatlah Umar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Umar maka dia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya [Musnad Ahmad 1/114]

Abdurrazzaq dalam periwayatannya dari Sufyan memiliki mutaba’ah yaitu Zaid bin Hubaab sebagaimana yang disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no 1327 dan Abul Yahya Al Himmaniy sebagaimana disebutkan dalam Al Ilal Daruquthniy no 442. Riwayat ini shahih bersambung sampai kepada Ali ra, berstatus lemah sampai diketahui siapakah laki-laki tersebut.
Kemudian diriwayatkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334, Al Ilal Daruquthniy no 442, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 502-503 dan Tarikh Al Khatib 4/276-277 dengan jalan sanad dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal

حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ عِصَامِ بْنِ النُّعْمَانِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، قَالَ: ” خَطَبَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan yang berkata “Ali berkhutbah pada saat perang Jamal [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334]

Dalam riwayat Baihaqiy yaitu dalam Ad Dalaa’il dan Al I’tiqaad disebutkan bahwa Syu’aib bin Ayuub meriwayatkan dari Abu Dawud Al Hafariy dari Sufyan tanpa menyebutkan ‘Ishaam bin Nu’man. Hal ini keliru, karena dalam riwayat Daruquthni disebutkan dari Syu’aib bin Ayuub dari Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyan. Kemudian dalam riwayat Al Khatib disebutkan dari Al Hafariy dari ‘Aashim bin Nu’maan dari Sufyan.

Riwayat ini sanadnya dhaif atau tidak tsabit sampai Aswad bin Qais karena ‘Ishaam bin Nu’man atau ‘Aashim bin Nu’man adalah seorang yang majhul tidak diketahui kredibilitasnya bahkan namanya pun tidak jelas apakah ‘Ishaam ataukah ‘Aashim dan yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Abu Dawud Al Hafariy.

‘Ishaam bin Nu’maan dalam periwayatannya dari Sufyaan memiliki mutaba’ah yaitu dari Husain bin Walid sebagaimana disebutkan dalam Amaliy Al Jurjaniy no 13 yaitu dengan jalan sanad berikut

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ السُّلَمِيُّ، ثنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ الْعَبْدِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ الثَّقَفِيِّ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Husain bin Al Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yazid As Sulamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan Ats Tsawriy dari Aswad bin Qais Al ‘Abdiy dari ‘Amru bin Sufyan Ats Tsaqafiy [Amaliy Al Jurjaniy no 13]

Sanad ini dhaif jiddan atau tidak tsabit sanadnya sampai Aswad bin Qais karena Muhammad bin Yazid As Sulamiy, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15677]. Daruquthni berkata “dhaif” [Ma’usuah Qaul Daruquthni no 3424]. Daruquthni juga berkata “ia memalsukan hadis dari para perawi tsiqat” [Ta’liqat Daruquthni ‘Ala Al Majruuhiin Ibnu Hibban 1/277]. Al Khatib berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 2/289].

Kemudian disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336, Al Ilal Daruquthni no 442, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 503-504, Adh Dhu’afa Al Uqailiy 1/165, Al Mukhtaran Al Maqdisiy no 470 & 471, dengan jalan sanad dari Abu Ashim An Nabiil dari Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari Ayahnya dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad

حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ ثِقَةٌ، وَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِيهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim tsiqat menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336]

Riwayat ini sanadnya walaupun dhahirnya shahih sampai Al Aswad bin Qais dan Abu Ashim An Nabiil adalah Dhahhak bin Makhlaad Asy Syaibaniy termasuk perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ijliy dan Ibnu Sa’ad. Umar bin Syabbah berkata “demi Allah aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya”. Al Khaliliy berkata disepakati atasnya zuhud, alim, agamanya dan keteguhannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 4 no 793]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat lagi tsabit” [At Taqrib 1/444], akan tetapi perkataan Ibnu Abi Hatim dibawah menjadi qarinah penta’lilan sanad ini apabila terjadi perselisihan dan tidak ditemukan sanad lain yang menjadi mutaba’ahnya. Ibnu Abi Hatim dalam biografi Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan berkata

سعيد بن عمرو بن سفيان روى عن ابيه عمرو بن سفيان روى عنه الاسود بن قيس في حديث تفرد أبو عاصم النبيل في ادخاله سعيدا في الاسناد فيما رواه عن الثوري عن الاسود ولا يتابع عليه

Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari ayahnya ‘Amru bin Sufyan, telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais dalam hadis dimana Abu ‘Aashim An Nabiil bersendirian dalam memasukkan Sa’id dalam sanad yang ia riwayatkan dari Sufyan dari Al Aswad, ia tidak memiliki mutaba’ah [Al Jarh Wat Ta’dil 4/53 no 230]

Selanjut riwayat ini juga diriwayatkan dari Qutaibah dari Jariri sebagaimana riwayat dibawah ini.

قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في الإمرة شيئا

Qutaibah berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]

Sanad riwayat ini lemah karena tidak diketahui apakah Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum atau sesudah masa ikhtilathnya, walaupun jalur Qutaibah dari Jarir terdapat dalam shahih bukhari yang mana disepakati bahwa Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum ikhtilath, akan tetapi bila jalur ini terdapat pada selain Bukhari dan Muslim disepakati dhaif bila tidak diketahui mendengarnya Qutaibah sebelum atau sesudah ikhtilathnya Jarir.

Yang perlu diperhatikan adalah Bukhari tidak memasukkan hadis ini dalam biografi Qais Al Abdiy ayah Aswad bin Qais sebagaimana bisa dilihat dalam biografi Qais [Tarikh Al Kabir juz 7 no 663]. Bukhari malah memasukkan hadis di atas dalam biografi ‘Amru bin Sufyan [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]. Hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas adalah bagian dari idhthirab riwayat ‘Amru bin Sufyan.

Hal ini telah disinyalir oleh Ibnu Hajar. Dalam biografi Qais Al Abdiy ia mengutip riwayatnya dalam Musnad Ali yang dikeluarkan Nasa’i dari Ali tentang kepemimpinan kemudian mengutip berbagai riwayat ‘Amru bin Sufyan [At Tahdzib juz 8 no 733]. Setelah itu dalam At Taqrib ia berkata

قيس العبدي والد الأسود مقبول من الثانية وفي الحديث الذي أخرجه له النسائي اضطراب

Qais Al Abdiy ayahnya Al Aswad maqbul termasuk thabaqat kedua dan hadisnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i idhthirab [At Taqrib 2/36]

Dengan kata lain tidak tsabit periwayatannya dari Ali tentang hadis ini karena hadis ini sendiri idhthirab pada sanadnya. Benarkah demikian? Tentu jika mengumpulkan semua  tersebut akan terlihat idhthirabnya.
1. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy
2. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari Amr bin Sufyan dari Aliy 
3. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya dari Aliy 
4. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari ayahnya dari Aliy

Jalur diatas terjadi kegoncangan Al Aswad menerima riwayat dari Amr bin Sufyan atau dari Said, atau dari ayahnya ? Sedangkan yang meriwayatkan dari Ali juga diperselisihkan apakah Amr bin Sufyan ataukah Qais (ayah Al Aswad) ? Daruquthni dan Al Khatib menyatakan bahwa hadis ‘Amru bin Sufyan tersebut idhthirab dan menisbatkan hal itu pada Ats Tsawriy, ada juga yang menisbahkan poros idhthirabnya adalah Al Aswad. Menurut kami diantara Sufyan Ats Tsawriy dan Al Aswad bin Qais, yang lebih mungkin mengalami idhthirab adalah Sufyan Ats Tsauriy karena Ats Tsauriy mengalami ikhtilath diakhir usianya dan idhthirab terjadi pada dua thabaqah diatasnya, sedangkan pada Al Aswad kemungkinan idhthirab pada beliau kecil sekali karena yang terjadi idhthirab hanya satu thabaqah diatas beliau, sehingga benarlah apa yang dinyatakan oleh Imam Daraquthni dan Al Khatib.

Setelah kita mengetahui kedudukan sanad-sanad Amr bin Sufyan diatas mengalami idhthirab yang berporos kepada Sufyan Ats Tsauriy, maka adakah qarinah yang dapat mendudukkan ke-idhthirab-an sehingga dapat dihilangkan ?

Jawabannya adalah ada, yaitu dengan qarinah tarjih, mari kita lihat :
a. Jalur no.1 sanadnya bersambung sampai kepada Ali ra.
b. Jalur no.2 sanadnya tidak shahih bersambung kepada Ats Tsauriy akibat Muhammad bin Yazid.
c. Jalur no.3 tidak shahih bersambung sampai kepada Ats Tsauriy akibat kesendirian Abu Ashim dalam memasukkan Said dalam sanad dan tidak mempunyai mutaba’ah, serta terjadi perselisihan dalam sanad-sanad Amr bin Sufyan tersebut.
d. Jalur no.4 juga tidak shahih bersambung kepada Ats Tsauriy akibat tidak diketahuinya Qutaibah menerima riwayat dari Jarir setelah atau sebelum ikhtilathnya.

Dari uraian diatas terlihat bahwa jalur yang rajih adalah jalur no.1, sudah hilang ke-idhthirab-annya, akan tetapi berstatus lemah sampai diketahui siapakah laki-laki tersebut.

Ada riwayat ‘Amru bin Sufyan yang lain tentang hadis ini yang sanadnya tidak melalui jalur Ats Tsauriy yaitu riwayat dengan sanad berikut

وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُسَاوِرٌ الْوَرَّاقُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Marwan yang berkata telah menceritakan kepada kami Musawwir Al Warraaq dari ‘Amru bin Sufyaan [Asy Syari’ah Al Ajjuriy 2/441]

Riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu Marwan bin Mu’awiyah Al Fazaariy ia seorang tsiqat hafizh tetapi sering melakukan tadlis dalam penyebutan nama-nama gurunya [At Taqrib 2/172]. Penyifatan Ibnu Hajar terhadap Marwan ini berdasarkan pernyataan ulama mutaqaddimin seperti Ibnu Ma’in yang menyatakan bahwa ia sering mengubah nama gurunya sebagai bentuk tadlisnya dan pernyataan Abu Dawud bahwa ia sering membolak balik nama, dan Marwan dikenal sering meriwayatkan dari syaikhnya para perawi majhul [At Tahdzib juz 10 no 178], kesimpulannya Marwan seorang yang mudallas, baik tadlis isnad, taswiyah maupun tadlis syuyukh.

Akan tetapi menghukumi bahwa Musawwir Al Waraq sebagai guru majhulnya Marwan akibat tadlis syuyukh beliau perlu diteliti lagi. Imam Ibnu Hajar dan Al Mizzi serta Adz Dzahabi menyebutkan bahwa guru majhul Marwan adalah Al Musawwir (At Taqrib 2/174 dan Al Mizan no.8448 serta Al Mughni no. 6183) dan ini lain dengan Musawwir Al Waraq. Pembaca perhatikan dengan seksama apakah Al Musawwir = Musawwir Al Waraq ? Dalam kebiasaan orang Arab bahwa kunyah, laqab, dan nasab amat sangat diperhatikan sebagai pembeda antara satu orang dengan orang lain yang kesamaan nama mereka. Apalagi disebutkan oleh Al Qaasim bin Tsabit dalam Ad Dalaa’il fii Gharibil Hadits 2/586 no. 307 dan Al Hakim dalam Mustadrak 3/104 bahwa guru Marwan bernama Sawwaar bukan Al Musawwir.

Adapun Musawwir Al Waraq beliau seorang yang shaduq (taqriibut-tahdzib hal 933 no. 6632)

Terdapat Illat [cacat] lain dalam riwayat Marwan bin Mu’awiyah di atas, Al Mu’allimiy menyebutkan bahwa Marwan bin Mu’awiyah pernah melakukan tadlis taswiyah selain tadlis suyukh [At Tankiil 1/431]. Hal ini juga diisyaratkan Abu Dawud dalam Su’alat Al Ajjury bahwa Marwan pernah meriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayasy dari Abu Shalih dan menghilangkan nama seorang perawi di antara keduanya [Su’alat Abu Dawud Al Ajjuriy no 204]. Pentahqiq kitab Su’alat Abu Dawud tersebut berkomentar bahwa Marwan bin Muawiyah melakukan tadlis taswiyah dan tadlis syuyukh. Ibnu Ma’in menyebutkan bahwa perawi yang dihilangkan namanya itu adalah Al Kalbiy [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2241].

Perawi yang melakukan tadlis taswiyah maka hadisnya diterima jika ia menyebutkan sima’ hadisnya dari Syaikh [gurunya] dan gurunya tersebut juga menyebutkan sima’-nya dari gurunya. Intinya terdapat lafaz tahdits atau sima’ hadis pada dua thabaqat dari perawi yang tertuduh tadlis taswiyah. Bahkan beberapa ulama mensyaratkan bahwa lafaz tahdits atau sima’ itu harus ada pada setiap thabaqat sanad sampai ke sahabat. Dalam riwayat di atas Marwan bin Mu’awiyah memang menyebutkan lafaz sima’ dari syaikh-nya Musawwir tetapi ia tidak menyebutkan lafaz sima’ Musawwir dari ‘Amru bin Sufyan, maka hadisnya tidak bisa diterima. Bisa saja diantara Musawwir dan ‘Amru bin Sufyan terdapat perawi dhaif atau majhul yang dihilangkan namanya oleh Marwan bin Mu’awiyah.

Akan tetapi menurut Syaikh Nashir bin Hamad Al Fahd dalam kitab Manhaj al Mutaqaddimin fi al Tadlis bahwa suatu riwayat dari mudallas yang tidak berqarinah ada tadlisnya di dalamnya dapat diterima walaupun diriwayatkan secara mu’an’an, apalagi dalam riwayat Marwan ini beliau menggunakan kalimat sima’ dalam periwayatannya.

Kesimpulannya, kalau menurut metodenya Syaikh Nashir bin Hammad Al Fahd, maka hadits ini berderajat shahih, akan tetapi kalau menurut metode Ibnu Hajar maka hadits ini merupakan hadits mudallas. Walau bagaimana-pun juga riwayat ini sudah dapat dijadikan indikasi bahwa Amr bin Sufyan-lah laki-laki yang terdapat tersebut.

Hal ini dikuat lagi dengan riwayat lain diluar jalur Ats Tsauriy, yaitu dari Abu Nua’im dari Syarik dari Al aswad dari Amr bin Sufyan

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ  عَمْرِو  بْنِ  سُفْيَانَ ، قَالَ: خَطَبَ رَجُلٌ يَوْمَ الْبَصْرَةِ حِينَ ظَهَرَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: هَذَا الْخَطِيبُ الشَّحْشَحُ، " سَبَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ، وَثَلَّثَ عُمَرُ، ثُمَّ خَبَطَتْنَا فِتْنَةٌ بَعْدَهُمْ، يَصْنَعُ اللَّهُ فِيهَا مَا شَاءَ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Al Aswad bin Qais, dari Amr bin Sufyan, ia berkata : Seorang laki-laki berkhotbah pada peristiwa Bashrah (perang Jamal) ketika Ali ra memenangkan peperangan, lalu Ali ra berkata : Khatib ini pandai bicara. Rasulullah saw telah mendahului. Dan Abu Bakar pun menyusul, dan yang ketiga Umar pun telah menyusul juga. Kemudian kami ditimpa fitnah setelah mereka. Allah berbuat padanya menurut kehendak-Nya. (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/147). Riwayat ini lemah akibat ikhtilathnya Syariik, akan tetapi riwayat ini sudah lebih dari cukup sebagai saksi bahwa Amr bin Sufyan -lah laki-laki yang dimaksud.

Secara keseluruhan hadis ‘Amru bin Sufyan yang melalui jalan Sufyan Ats Tsauriy adalah shahih dengan diketahuinya laki-laki tersebut adalah Amr bin Sufyan dan riwayat Marwan bin Muawiyyah pun berderajat shahih.
Tinggal satu permasalahan yang tertinggal, siapakah Amr bin Sufyan tersebut ?

Amr bin Sufyan disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikh Kabir juz 6 no. 2565 tanpa jarh dan ta’dil, disebutkan Imam Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 5 no. 4480, dan telah meriwayatkan darinya Said bin Amr bin Sufyan, Al Aswad, dan Musawwir Al Waraq. Dari keterangan ini terlihat bahwa Amr bin Sufyan minimal berstatus majhul hal.

Kesimpulan akhir, riwayat Amr bin Sufyan dengan riwayat Abdullah bin Sabu dapat saling menguatkan sehingga berderajat hasan lighairihi.

Hal ini dikuatkan pula dengan riwayat dari Umar ra bahwa Rasulullah saw tidak menunjuk siapa-pun sebagai pengganti beliau :


حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَضَرْتُ أَبِي حِينَ أُصِيبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوا جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوا اسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ فَقَدْ تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari Ayahnya, dari Ibnu Umar, ia berkata : Aku turut hadir ketika ayahku terkena musibah (ditikam Abu Lu'lu'ah). Para shahabat yang hadir ketika itu turut menghiburnya. Mereka berkata : Semoga Alloh membalas anda dengan kebaikan. Umar menjawab : Aku penuh harap dan juga merasa cemas. Mereka berkata : Tunjukkanlah pengganti anda (sebagai khalifah). Umar menjawab : Apakah aku juga harus memikul urusan pemerintahanmu waktu hidup dan matiku ? Aku ingin tugasku sudah selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aku menunjuk penggantiku, maka itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada aku, yaitu Abu Bakar ash shidiq, dan jika pengangkatan itu aku serahkan kepada kalian, maka itupun pernah dilakukan oleh orng yang lebih baik dari aku, yaitu Rasulullah saw. Abdullah bin Umar berkata : Dari perkataannya itu, tahulah aku bahwa dia tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi khalifah. (Diriwayatkan Muslim no. 1823, Bukhari no. 7218, Ahmad 1/43, Abd bin Humaid no. 32, Abu Ya'la no. 206, Ibnu Hibban no. 4478, dll)

Dari pembahasan ini dapat diambil kepastian bahwa Imam Ali ra tidak merasa ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi pemimpin menggantikan beliau, sehingga makna riwayat-riwayat dari kalimat “wali” adalah bermakna kecintaan dan tidak dapat diartikan dengan kepemimpinan.

Wallahu a’lam.

Alhamdulillahirabbil’alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar