Jumat, 15 Mei 2015

16. SECONDPRINCE MENUDUH MUAWWIYYAH RA MINUM KHAMR

Karena kebenciannya kepada Muawwiyyah ra yang memuncak, secondprince berani mengkafirkan dan menuduh shahabat mulia itu dengan berbagai tuduhan (insya Alloh akan kami bantah satu-persatu). Padahal tidak membahayakan dia apa yang telah dilakukan Muawwiyyah ra. Baginya (Muawwiyyah) apa yang ia amalkan, dan baginya (Secondprince) apa yang ia tuduhkan, dan kelak keduanya akan diselesaikan perkara yang mereka perselisihkan di sisi Alloh.

Karena kebenciannya yang memuncak, analisis kebenarannya menjadi subyektif, kabur dan lemah. Bandingkan dengan Imam Ahmad dan Imam Ibnu Abi Syaibah serta Imam Ibnu Asakir (periwayat langsung) dan juga Syaikh Syu'aib Al Arnauth (pentahqiq), mereka semua membaca dan meriwayatkannya, tapi mulut mereka bersih dari prasangka buruk kepada Muawwiyyah ra.


Adapun riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Riwayat pertama

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني


Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

Riwayat yang kedua

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadh sebagai berikut 



حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:"ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ .

Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].

Riwayat yang ketiga

Selain itu hadits ini juga diriwayatkan Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya (2/677), dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (27/126-127) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Syabbuuyah : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata :


دخلت مع أبي على معاوية


“Aku bersama ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah” [selesai]. 

Ketiga riwayat tadi menceritakan kejadian yang satu, sebagian dikisahkan sepenggal, sebagian yang lain dikisahkan sepenggal lagi, dan tidak ada lagi penggalan kisah yang lain selain yang tersebut tadi. Sehingga kalau kita kisahkan riwayat tadi secara utuh maka akan didapati suatu kisah sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik”

Dari sini kita bisa melihat, bahwa yang disajikan Muawwiyyah adalah minuman susu, akan tetapi bukan susu murni, hal ini diketahui dari peng-kisahan Muawwiyyah pada masa dulu. Susu olahan inilah yang menjadikan keraguan pada diri Buraidah akan keharamannya. Akhirnya Muawwiyyah menerangkan bahwa susu olahan yang disajikan tersebut adalah halal, dan beliau menasehati Buraidah untuk menyampaikan ketidaksukaannya dengan kata-kata yang baik.

Hal ini lah yang telah diterangkan oleh Imam Ibnu Asakir tentang siapa yang mengatakan pengharaman minuman yang disajikan.  

Imam Ibnu ‘Asakir menjawab,

 “(yang mengatakan) Yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan  dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417).
 
Semoga  secondprince lebih takut lagi kepada Alloh untuk menuduh aib seorang muslim, sungguh dosa Muawwiyyah tidak membahayakan dia.  

Untuk melengkapi kelengkapan bantahan kami ada baiknya kami cantumkan secara lengkap tulisan dia beserta bantahannya :

SP berkata

Salafy nashibi memang tidak akan pernah berhenti membela sahabat pujaan dan pemberi petunjuk bagi mereka yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Pembelaan senaif apapun akan tetap ada bahkan dicari-cari berbagai dalih agar setiap hadis yang menyudutkan Muawiyah didhaifkan atau ditakwilkan secara ajaib menjadi keutamaan Muawiyah. Tidak jarang pembelaan itu dibungkus dengan dalih-dalih sok ilmiah untuk menipu kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang kalang kabut kalau membaca hadis shahih tentang aib Muawiyah. Pada tulisan kali ini kami akan membahas syubhat salafy nashibi seputar hadis dimana Muawiyah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

JAWAB 

Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membela Muawiyyah ra, yang merupakan pengamalan perintah Nabi saw

وَعَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوماً فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْل اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مََظَلُوماً أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ ظَالِماً كَيْفَ أَنْصُرُهُ ؟ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذلِكَ نَصْرُهْ 



Dari Anas ra. juga berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tolonglah saudaramu, baik ia sebagai orang yang zalim atau yang dizalimi. Ada seorang laki-laki bertanya: Ya Rasulullah, aku dapat menolongnya jika ia dizalimi. Tapi untuk orang yang berbuat zalim, bagaimana aku menolongnya? Beliau saw. menjawab: Kau mencegahnya dari perbuatan zalim, itulah cara menolongnya. (Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 2263, 2264 dan 6438; al-Tirmizi, hadis no. 2181; dan Ahmad, hadis no. 11511 dan 12606).

Tulisan ini bermaksud untuk membela Muawiyah yang telah dizalimi SP, sekaligus sebagai usaha kami menyadarkan dia sehingga berhenti dari mencela aib saudaranya sesama muslim.

SP berkata
 

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني


Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]


Syubhat Dalam Sanad

Syubhat salafy dalam mencari-cari kelemahan hadis ini adalah menyatakan kalau Zaid bin Hubab termasuk perawi yang sering salah. Disebutkan kalau Zaid bin Hubab sering salah dalam riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawri. Salafy itu menyatakan kalau Ahmad dan Ibnu Hibban memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats Tsawri.

Zaid bin Hubab Ar Rayyan Abu Husain At Taimiy Al ‘Ukliy termasuk perawi Muslim dalam Shahihnya, Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat begitu pula Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [dalam riwayat Ad Darimi]. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata “Zaid bin Hubab seorang yang shaduq dia mengahafal lafaz-lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya”. Ibnu Hibban berkata “sering salah, hadisnya diikuti jika ia meriwayatkan dari masyahir [orang-orang yang dikenal] sedangkan riwayatnya dari majahil [orang-orang yang tidak dikenal] maka padanya terdapat hal-hal mungkar. Ibnu Khalfun berkata ia ditsiqatkan Abu Ja’far dan Ahmad bin Shalih. Daruquthni dan Ibnu Makula menyatakan tsiqat. Ibnu Syahin berkata “ia ditsiqatkan Utsman bin Abi Syaibah”. Ibnu Yunus berkata “hadisnya hasan”. Ibnu Ady berkata “ia memiliki banyak hadis dan ia termasuk diantara syaikh-syaikh kufah yang tsabit yang tidak diragukan kejujurannya dan Ibnu Ma’in membicarakan hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yaitu hanya hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yang mengandung keghariban pada sanadnya dan yang dimana ia menyendiri dalam merafa’kan sedangkan hadis Ats Tsawriy lainnya dan hadisnya dari selain Ats Tsawriy semuanya lurus [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 738]. Ibnu Hajar berkata “shaduq sering keliru dalam hadisnya dari Ats Tsawriy” [At Taqrib 1/327 no 2130]

Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan “seorang ahli ibadah yang tsiqat” [Al Mizan no 2997]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia seorang hafizh khurasan dan kufah tidak ada masalah padanya dan terkadang ragu [Al Kasyf no 1729]. Adz Dzahabi dalam As Siyar berkata “Al Imam Al Hafizh Tsiqat” [As Siyaar 9/393 no 126]

Tampak dengan jelas kalau Zaid bin Hubab seorang yang tsiqat bahkan Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan kalau ia seorang yang tsiqat dan tidak ada masalah padanya [Al Ilal no 1702]. Bersamaan dengan ketsiqatannya dikatakan pula kalau ia sering salah tetapi ini tidak bersifat mutlak, kesalahan yang dimaksud adalah sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in sedangkan riwayatnya selain itu tidak ada masalah.

JAWABAN

Zaid bin Hubab adalah seorang yang shaduq, akan tetapi banyak salahnya. 

Membatasi khatha' Zaid bin Hubab hanya kepada periwayatan Ats Tsawriy saja, sedangkan riwayat Zaid bin Hubab dari selain Ats Tsawriy dihukumi lurus sebagaimana perkataan Ibnu Ma'in dan Ibnu Hajar, perlu dikoreksi.

Karena periwayatan Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih pun terdapat banyak khatha'-nya sebagaimana atsar di bawah ini : 

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].

SP berkata
 
Perkataan Imam Ahmad

Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata Zaid bin Hubab seorang yang shaduq, ia dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya [Su’alat Ahmad no 432].

Salah satu kesalahan yang dimaksud disebutkan sendiri oleh Ahmad bin Hanbal. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].

Tampak bahwa yang dipermasalahkan oleh Ahmad bin Hanbal adalah riwayat Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih tetapi itu tidak bersifat mutlak untuk semua riwayat dari Muawiyah bin Shalih karena kendati Ahmad mengakui ada kesalahan Zaid dalam riwayat Muawiyah bin Shalih, ia tetap mengatakan kalau Zaid dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih.

Bukti lain bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah dia sendiri banyak mengambil hadis dari Zaid bin Hubab. Zaid bin Hubab termasuk syaikh [guru] Ahmad bin Hanbal dan tentu saja sebagai seorang murid ia lebih mengetahui kesalahan yang ada dalam riwayat gurunya. Oleh karena itu hadis-hadis Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal. Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu ke dalam Musnad-nya .

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA 

Pernyataan Imam Ahmad bahwa riwayat Zaid itu banyak salahnya itu adalah fakta. Dan dari mana ia membatasi kekeliruan yang dibuat Zaid itu hanya berasal dari riwayat Mu'aawiyyah bin Shaalih ? Ini mah ngarang-ngarang. Mungkin orang syiah ini nggak paham akan perkataan Abu Daawud :

“Aku mendengar Ahmad berkata : ‘Zaid bin Hubaab seorang yang shaduuq. Ia menguasai lafadh-lafadh hadits dari Mu’aawiyah bin Shaalih. Akan tetapi ia banyak salahnya” [Taariikh Baghdaad 9/449 dan Suaalaat Abi Daawud hal. 319 no. 432].

Coba dipahami dengan bahasa Arabnya. Perkataan akan tetapi ia banyak salahnya itu bukan dihukumi dengan pembatasan oleh kalimat sebelumnya (yaitu riwayat Mu'aawiyyah bin Shaalih), tapi mengkonsekuensikan umum.  
 .
SP berkata

Perkataan Ibnu Hibban

Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “termasuk yang sering salah, hadisnya diikuti jika meriwayatkan dari masyaahir sedangkan riwayatnya dari orang-orang majhul maka di dalamnya terdapat pengingkaran” [Ats Tsiqat juz 8 no 13277].

Tidak ada dalam pernyataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut bersifat mutlak, pernyataan Ibnu Hibban jelas memerlukan perincian dan ulama lain telah memberikan perincian diantaranya Ibnu Ma’in soal sebagian riwayat Zaid dari Ats Tsawriy atau Ahmad bin Hanbal soal  sebagian riwayat Zaid dari Muawiyah bin Shalih. Apalagi tampak dalam zahir perkataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut termasuk juga riwayat Zaid bin Hubab dari perawi majhul.

Hal ini disebutkan pula oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan, selain membawakan riwayat gharib Zaid bin Hubab dari Ats Tsawriy, ia juga membawakan riwayat Zaid bin Hubab dari Dawud bin Mudrik seorang yang tidak dikenal [Al Mizan no 297]. Tentu saja riwayat Zaid bin Hubab dari perawi yang majhul tidaklah menjadi cacat bagi Zaid melainkan cacat bagi perawi majhul tersebut.

Bukti lain kalau Ibnu Hibban tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah ia banyak memasukkan hadis Zaid bin Hubab [termasuk riwayatnya dari Husain bin Waqid] dalam kitab Shahih-nya diantaranya Shahih Ibnu Hibban 2/474 no 700 dan Shahih Ibnu Hibban 6/281 no 2540. Kedua hadis ini telah dijadikan hujjah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban yaitu dengan jalan sanad dari Zaid bin Hubab dari Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya secara marfu’.

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Tentang perkataan Ibnu Hibbaan, maka ini gak beda jauh dengan yang di atas. Kalau ia sadar bahwa Ibnu Hibbaan tidak membawa tafshil penisbatan kesalahan dari Zaid bin Al-Hubaab, maka pahamilah ia berdasarkan perkataan Ibnu Hibbaan sendiri. Jangan sok menafsirkan bahwa maksud perkataan Ibnu Hibbaan adalah demikian dan demikian. Selama Ibnu Hibbaan tidak memberikan pembatasan, maka jarh nya itu bersifat mutlak. Boleh-boleh saja kita mengkritisi akurasi perkataan Ibnu Hibbaan tersebut. Namun sekali lagi, jika kita ingin mengerti maksud perkataan Ibnu Hibbaan, maka itu harus dikembalikan pada perkataan Ibnu Hibbaan sendiri. Dan di sini, perkataannya berkesesuaian dengan perkataan Ahmad.
 
SP berkata

Kesimpulan kedudukan Zaid bin Hubab adalah seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama tetapi ia memiliki kesalahan diantaranya riwayatnya dari Ats Tsawriy tetapi hal ini tidak memudharatkan riwayatnya yang lain. Kedudukan perawi seperti ini adalah periwayatannya diterima sampai ada bukti kalau ia keliru. Para ulama telah banyak menerima riwayat Zaid bin Hubab [termasuk riwayat dari Husain bin Waqid] diantaranya Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban [sebagaimana disebutkan di atas] dan Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal [Tahdzib Al Kamal no 2095].

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Jika kita menelaah lebih jauh, justru di sini semakin tampak bahwa kekeliruan riwayat Zaid bin Al-Hubaab itu bersifat umum. Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy menisbatkan pada riwayat Ats-Tsauriy. Ahmad mengatakan bahwa kekeliruannya itu mutlak. Di lain tempat ia mencontohkan kekeliruan pada riwayat Mu’aawiyyah bin Shaalih. Ibnu Hibbaan mengatakan secara mutlak.

Dan saya ingin menekankan sekali lagi bahwa : Saya dalam pemaparan di sini tidak bermaksud menjatuhkan riwayat Zaid secara mutlak, karena disamping jarh yang dialamatkan kepadanya, telah mantap tautsiq dari para imam. Oleh karenanya saya masih berpegang pada perkataan : “Shaduuq, banyak salahnya. (Dan itu tidak terbatas pada riwayat Ats-Tsauriy, Mu’aawiyyah bin Shaalih, atau yang lainnya).

SP berkata

Klaim Tafarrud Zaid bin Hubab

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh-nya 2/677 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 27/126-127 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Syabbuuyah dari Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya dari Abdullah bin Buraidah yang berkata “aku bersama ayahku masuk menemui Muawiyah”. 

Riwayat ini jelas tidak lengkap sedangkan riwayat yang lengkap telah disebutkan dalam riwayat Zaid bin Hubab sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal.

Ali bin Husain bin Waqid disebutkan oleh Abu Hatim bahwa ia dhaif hadisnya. Nasa’i berkata tidak ada masalah padanya. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 7 no 523]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa menyebutkan salah satu hadisnya dan berkata “tidak memiliki mutaba’ah” [Adh Dhu’afa 3/226 no 1226]. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang ragu” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 4717].

Tampak jelas dalam riwayat Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya kalau riwayat tersebut tidak lengkap hanya menyebutkan awal kisah dimana Abdullah bin Buraidah dan ayahnya menemui Muawiyah sedangkan riwayat Zaid bin Hubab menyebutkan kisah tersebut dengan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Husain bin Waqid tidaklah dhabit sehingga ia tidak menghafal seluruh riwayat tersebut sehingga riwayatnya disini mesti dipalingkan kepada riwayat Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat.

Dengan dasar ini tidak ada alasan untuk menjadikan riwayat ini sebagai tafarrudnya Zaid bin Hubab karena Ali bin Husain bin Waqid bukan seorang yang dikenal tsiqat dan dhabit bahkan kedudukannya jauh dibawah Zaid bin Hubab. Riwayat ini justru menjadi bukti kalau Ali bin Husain bin Waqid tidak dhabit dalam menghafal riwayat tersebut. Berbeda halnya jika Ali bin Husain bin Waqid ini seorang yang tsiqat tsabit maka benarlah kalau Zaid bin Hubab tafarrud dengan tambahan lafaz tersebut dari Husain bin Waqid. Singkat kata syubhat salafy dalam melemahkan hadis ini hanyalah dalih yang dicari-cari atau mengada-ada demi membela aib Muawiyah.

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Mengenai anggapannya bahwa ia telah menjawab cacat tafarrud, apa sih sebenarnya yang ia jawab ? Bukanlah ia berputar-putar pada klaim ‘ketsiqahan’ pada Zaid bin Al-Hubaab ?. Dia ngaku nggak kalau Zaid bin Al-Hubaab itu bertafarrud pada tambahan perkataan selain yang ia riwayatkan bersama dengan ‘Ali bin Al-Husain ? Kalau nggak ngaku ya kebangetan, karena itu fakta. Seandainya ngaku, lantas hal apa yang menguatkan hadits itu ? Karena ‘ketsiqahan’ Zaid bin Al-Hubbaab ?. Klaim ini saja sudah bermasalah. Saya tidak akan mengulangi apa yang telah saya tuliskan di atas. Yang pokok, apa hujjah dia menguatkan riwayat tafarrud Zaid bin Al-Hubbaab yang merupakan tingkatan shigharu atbaa’it-taabi’iin ?. Akhirnya, lagi-lagi, kembali pada klaim ‘ketsiqahan’. Sejak kapan tafarrud itu tidak bernilai cacat.

Saya ajak para Pembaca memahami. Secara akal adalah sulit diterima ada satu riwayat marfu’ yang diriwayatkan oleh seseorang yang jauh masanya dari Nabi (mungkin ratusan tahun), yang tidak diriwayatkan oleh yang lain. Betapapun tsiqahnya orang tersebut (semisal Ad-Daaruquthniy, Al-Haakim, Al-Baihaqiy, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya dari kalangan ulama hadits masyhur), namun tafarrudnya tetap tidak diterima jika jaraknya terlalu jauh dari masa kenabian. Jika tidak demikian, lantas dimana ratusan bahkan ribuan orang ulama dan pencari hadits sebelum dia ?. Inilah yang menjadi fokus dalam bahasan tafarrud riwayat dilihat dari thabqah perawi hadits.

Jika katakan harus ada pembatasan, maka pada thabaqah apa tafarrud itu diterima atau ditolak ? Para ulama telah menjelaskan bahwa tafarrud riwayat marfu’ untuk thabaqah shigharu atbaa’it-taabi’iin adalah sulit diterima. Terlalu jauh masanya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lha wong untuk tabi’y awal atau pertengahan saja banyak ulama yang mempermasalahkan. Apalagi setelahnya. Seandainya kita terima – dan ini sulit – itu pun bagi mereka (yaitu perawi) yang memiliki maqam tinggi dalam ketsiqahan. Kredibilitas Zaid bin Al-Hubbab ini jelas di bawah ‘Abdurrazzaaq (sebelum berubah hapalannya). ‘Abdurrazzaaq adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh. Kebersendirian/tafarrud ‘Aburrazzaaq saja banyak yang tidak diterima ulama. Lantas, bagaimana dengan Zaid bin Al-Hubbaab ?.

Dan khususnya dalam tafarrud riwayat ini, terdapat perbedaan lafadh yang cukup ‘kentara’ antara Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah. Ini menandakan ia mengalami keraguan dalam tafarrudnya tersebut. Dalam riwayat Ahmad mengandung lafadh marfu’, sedangkan dalam riwayat Inu Abi Syaibah tidak.
 

SP berkata

Penukilan Al Haitsami

Mengenai penukilan Al Haitsami dimana ia menuduh kami menyembunyikan perkataan Al Haitsami di bagian akhir jelas perlu diluruskan. Ketika kami menuliskan riwayat ini kami hanya mengutip pendapat Al Haitsami terhadap kedudukan hadis tersebut yaitu diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya perawi shahih. Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak bernilai hujjah.

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Dari mana ia menyimpulkan perkataan Al-Haitsamiy seperti itu ? Wangsit dari langit ? Ya, ia mengatakan itu karena memang kecenderungannya untuk mengarah ke situ. Memang, analisis Syi’ah itu kebanyakan berputar dalam area tebak-tebakan seperti ini. Dan seandainya perkataan Al-Haitsaimiy itu sedari awal adalah sebagaimana yang dimaui orang Syi’ah itu, kok tumben-tumben amat ia meninggalkan perkataan yang begitu berharga untuk menjatuhkan Mu’aawiyyah ?. Aneh bukan rekan-rekan ?. Tidak lebih, perkataan tidak lebih sekedar alibi saja….

Al-Haitsaimiy adalah ahli hadits, dan Majma’uz-Zawaaid adalah kitab hadits. Makanya, lafadh-lafadh yang ada dalam kitab tersebut harus dipahami dengan bahasa ilmu hadits, kecuali ada keterangan lain. Perkataannya : Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih. Dan dalam perkataan Mu’aawiyyah ada sesuatu yang aku tinggalkan ini juga harus dipahami dengan bahasa hadits. Sebelumnya Al-Haitsaimiy telah mengatakan rijalnya adalah rijal Ash-Shahih. Otomatis ia mengakui keabsahan perawinya. Dan tidaklah perawi maqbul itu bisa ditinggalkan riwayatnya kecuali beberapa faktor di antaranya : adanya gharabah/tafarrud atau ada syudzuudz. Di sini tidak ada syudzuudz, karena tidak ada pertentangan dengan riwayat lain. Namun, di sini nampak adanya gharabah/tafarrud, karena riwayat dengan tambahan uraian itu hanya berasal dari riwayat Zaid bin Al-Hubbaab.

SP berkata 

Sedangkan andai-andai salafy kalau yang dimaksud Al Haitsami adalah ia tinggalkan karena tafarrud riwayat tersebut jelas mengada-ada dengan dua alasan
  • Telah dibahas di atas kalau tafarrud yang dimaksud hanyalah klaim semata yang tidak terbukti kebenarannya karena dasar pernyataan tafarrud adalah hadis dari Ali bin Husain bin Waqid yang kedudukannya jelas lebih rendah dari Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat. Kedudukan sebenarnya riwayat Zaid bin Hubab adalah riwayat lengkap sedangkan riwayat Ali bin Husain bin Waqid tidak lengkap.
  • Tafarrud yang ditunjukkan salafy itu tidak terbatas pada perkataan Muawiyah tetapi juga perkataan Abdullah bin Buraidah yaitu “ia mempersilakan kami duduk di hamparan. Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Seandainya tafarrud ini menjadi alasan bagi Al Haitsami maka tidak mungkin ia mengkhususkannya dengan perkataan Muawiyah semata. Lihat kembali perkataan Al Haitsami di bagian akhir “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”.
Jadi sebenarnya disini yang bersangkutan itu sok merasa yang paling paham terhadap perkataan Al Haitsami padahal sebenarnya itu hanyalah dalih-dalih dirinya yang mengatasnamakan Al Haitsami.

JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Dan khususnya dalam tafarrud riwayat ini, terdapat perbedaan lafadh yang cukup ‘kentara’ antara Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah. Ini menandakan ia mengalami keraguan dalam tafarrudnya tersebut. Dalam riwayat Ahmad mengandung lafadh marfu’, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak.

SP berkata

Syubhat Dalam Matan

Setelah puas membuat syubhat pada sanad riwayat tersebut, salafy itu bertingkah membuat syubhat pula pada matan riwayatnya. Syubhat itu memang agak ajaib karena hasil akhirnya riwayat yang menjadi aib bagi Muawiyah disulap menjadi keutamaan bagi Muawiyah. Riwayat bahwa Muawiyah meminum minuman yang diharamkan disulap menjadi riwayat bahwa Muawiyah tidak lagi meminum minuman yang diharamkan dan lebih menyukai susu serta adab tinggi Muawiyah dalam menjamu tamu. Betapa lucunya logika orang yang tergila-gila dengan Muawiyah. Kami akan membahas syubhat tersebut. Salafy itu mengatakan kalau lafaz

ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم


"Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam", adalah perkataan Muawiyah bukan perkataan Buraidah. 

Jelas ini kekeliruan yang nyata dan buktinya terletak pada riwayat itu sendiri. Jika dianalisis dengan baik maka sangat jelas kalau lafaz tersebut adalah perkataan Buraidah. Awalnya Abdullah bin Buraidah berkata

عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي


Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.

Perhatikan lafaz “maka Muawiyah meminumnya”. Ini menunjukkan kalau Muawiyah telah meminum minuman tersebut. Kemudian setelah Muawiyah menawarkan kepada Buraidah riwayat tersebut dilanjutkan dengan lafaz yang berkata

ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم


Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Perhatikan kata

ما شربته


yang artinya “tidak meminumnya”. Kata “nya” disitu merujuk pada minuman yang didatangkan atau ditawarkan kepada Buraidah. Sehingga perkataan “tidak meminumnya” artinya orang yang dimaksud tidak meminum minuman tersebut dengan alasan “sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka bagaimana mungkin lafaz ini menjadi perkataan Muawiyah padahal dengan jelas dalam riwayat tersebut sebelumnya terdapat lafaz

فشرب معاوية


“maka Muawiyah meminumnya” Muawiyah terlebih dahulu minum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah dan Buraidah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”

Inilah yang benar, seandainya kita mengikuti kekonyolan salafy tersebut maka riwayat tersebut berbunyi begini

Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Muawiyah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Apa jadinya kisah ini, Muawiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah seraya Muawiyah berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Jadi maksudnya Muawiyah sudah tahu kalau minuman itu haram dan ia tetap meminumnya dihadapan Buraidah kemudian menawarkan kepada Buraidah minuman haram tersebut seraya berdusta aku tidak pernah meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Lha jelas saja dusta karena barusan dihadapan Buraidah Muawiyah meminum minuman tersebut. Dan kalau mengikuti perandaian salafy bahwa minuman itu susu maka disini Muawiyah mengakui kalau susu itu diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Inilah kekacauan yang timbul dalam makna riwayat tersebut jika lafaz Buraidah itu dikatakan sebagai lafaz Muawiyah. 

Salafy itu mungkin mengetahui kerancuan ini oleh karena itu ia membuat teks atau lafaz riwayat sendiri yaitu dengan kata-kata :
Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa “ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu”. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.
Perkataan ini jelas tidak bernilai hujjah karena lafaz yang dimaksud bukanlah “aku tidak lagi minum minuman yang haram sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” tetapi lafaznya adalah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Dan telah jelas dalam riwayat tersebut kalau “nya” dalam kata “meminumnya” adalah minuman yang disajikan atau ditawarkan kepada Buraidah.

Salafy itu menolak perkataan Buraidah hanya dengan asumsi kalau memang perkataan itu perkataan Buraidah maka mengapa hanya sekedar mengabarkan tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak ada pengingkaran yang nyata dari Buraidah. Jawabannya ya mudah saja : justru pengkhabaran kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaharamkannya adalah pengingkaran yang paling nyata. Tidak ada hujjah yang paling utama kecuali hujjah atas nama Allah dan Rasul-Nya.
 
Salafy itu juga menolak kalau Muawiyah meminum khamar dengan alasan ia sendiri meriwayatkan hadis soal hukuman bagi yang meminum khamar. Kami katakan: tidak usah jauh-jauh, khamar itu telah diharamkan di dalam Al Qur’an jadi sangat jelas semua orang dan semua sahabat tahu tetapi diriwayatkan ternyata ada juga sahabat yang pernah meminum khamar selepas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat tidak hanya Muawiyah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak Muawiyah meminum khamar walaupun ia sendiri meriwayatkan hadis hukuman bagi peminum khamar.

Salafy mengatakan bahwa yang disajikan Muawiyah kepada Buraidah dan anaknya adalah susu bukannya khamar. Ia berhujjah dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut

حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:”ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ


Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia [Mu’aawiyyah] mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].

Riwayat ini adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Hubab sedangkan riwayat yang kami kutip sebelumnya adalah riwayat Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Hubab. Kedua riwayat ini menyebutkan kisah yang sama hanya saja riwayat Ahmad lebih lengkap dari riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak terdapat perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ahmad. 

Ini adalah ziyadah tsiqat dari Ahmad dan tidak ada keraguan untuk diterima.

Salafy itu menafsirkan riwayat tersebut dengan prasangka kalau yang disajikan kepada Buraidah dan anaknya adalah susu. Zhan ini tertolak dengan dasar riwayat Ahmad yang menyebutkan perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Sejak kapan susu diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Kalau memang itu adalah susu tidak mungkin Buraidah menolak seraya berkata itu telah diharamkan. Tampak dalam zahir riwayat kalau Buraidah dan anaknya tidak meminum minuman tersebut melainkan Muawiyahlah yang meminumnya. 

Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Abi Syaibah

ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية


Kemudian didatangkan kepada kami makanan maka kami memakannya kemudian didatangkan kepada kami minuman maka Muawiyah meminumnya. [riwayat Ahmad]

وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ


Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya [riwayat Ibnu Abi Syaibah]

Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu

Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan atau ada hadis yang menyudutkannya, sebagaimana yang tergambar dalam salah satu riwayat

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا


Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Perkataan Muawiyah kalau yang membunuh Ammar adalah Imam Ali jelas sebuah kekonyolan dan hinaan yang nyata kepada Imam Ali. Perkataan Muawiyah ini hanyalah dalih yang dicari-cari ketika ia merasa tersudut. Bagaimana mungkin Ammar radiallahu ‘anhu yang berperang disisi Imam Ali dan telah syahid dikatakan kalau Imam Ali yang membunuhnya?. Apakah sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang syahid di badar dan uhud itu mati karena dibunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawanya?, nauzubillah, kami berlindung kepada Allah SWT dari cara berpikir yang demikian dan ternyata begitulah dalam pandangan Muawiyah.

Kembali ke riwayat yang kita bahas. Perkataan Muawiyah disini hanya sekedar dalih ketika ia tersudut oleh perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram dan ia nyata-nyata meminumnya. Sehingga ia berdalih kalau minuman tersebut susu sambil menyindir Buraidah dengan pujian. Perhatikan perkataan Muawiyah

غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني


Kecuali susu atau orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku [riwayat Ahmad]

Kalau salafy mengatakan susu yang ada disana dengan hujjah perkataan Muawiyah maka kita katakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” adalah Buraidah. Karena pada hari itu atau saat itu Buraidahlah yang berbicara kepada Muawiyah dengan perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Bukankah keduanya itu yaitu “susu” dan “perkataan baik” yang dikatakan Muawiyah ia ambil pada hari itu. Kalau memang susu yang disajikan kok bisa-bisanya Muawiyah mengatakan perkataan Buraidah itu baik, apa mengatakan susu diharamkan adalah perkataan yang baik?. Singkat kata tidak ada gunanya menjadikan perkataan Muawiyah ini sebagai hujjah karena sangat terlihat itu hanyalah dalih-dalih yang biasa ia lakukan.

Tentu bagi salafy mereka lebih memilih menjadikan perkataan Muawiyah itu sebagai hujjah. Ya jelas karena Muawiyah adalah pemberi petunjuk bagi mereka. Apapun aib yang ada pada Muawiyah harus disucikan dengan dalih membantah syiah seraya menuduh keji kepada mereka yang berani membongkar aib Muawiyah walaupun pada kenyataannya hanya menukil dari hadis shahih. Jadi dapat dimaklumi kalau gaya bersilat lidah Muawiyah ini diwarisi oleh para pengikut salafy yang memang gemar membela Muawiyah.  

Salam Damai

Sedikit Tambahan

Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya. Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah. Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan perkataan Muawiyah.

Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy. Buktinya dapat anda lihat disitus ini
sekarang perhatikan kembali hadis di atas.

ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني


Yang kami cetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad tersebut maka
  • Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah
  • Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy
  • Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah
Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.

Diantara perkataan salafy lainnya yang menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.

Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.

Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja tambahan singkat dari kami.


JAWABAN USTADZ ABUL JAUZA

Tentang masalah penisbatan perkataan Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW; bahwa menurut orang Syi’ah itu hadits dalam bahasan ini diletakkan Imam Ahmad pada bagian Hadiits Buraidah Al-Aslamiy, maka sudah barang tentu menurut Imam Ahmad pemiliknya adalah Burairah. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari nukilan Anda di atas.

Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. Namun tidak semua seperti itu.

Seandainya saya terima perkataan Anda bahwa kalimat itu memang diucapkan Buraidah sedangkan Mu’aawiyyah menyangkalnya, perkataan siapakah yang wajib diterima dalam timbangan ilmu hadits dan fiqh ?. Saya ajak Anda berbicara melalui kaidah, jangan seperti orang Syi’ah yang pingin seenaknya saja bicara tanpa kaedah.

Anda menghukumi Mu’aawiyyah minum minuman yang diharamkan (khamr) berdasarkan mafhum kalam dari perkataan (yang Anda asumsikan sebagai perkataan) Buraidah. Dalam teori ushul, berhujjah dengan yang seperti ini adalah sangat lemah. Betapa tidak ? Anda berhujjah, bahwa seandainya Buraidah berkata : Saya tidak meminumnya semenjak diharamkankan Nabi, maka lazimnya (menurut Anda), Mu’aawiyyah sebagai orang yang menawarkan telah minum khamr !!

Mafhum kalam seperti ini bisa saja diterima jika ada keterangan yang menguatkannya dan tidak keterangan yang mengingkarinya, karena mafhum kalam pada asalnya bukan dzat hujjah itu sendiri. Atau jika dikaitkan dengan kaedah yang semisal : Konsekuensi dari satu perkataan bukanlah merupakan perkataan itu sendiri. Di sini, Mu’aawiyyah telah memberikan keterangan bahwa apa yang ditawarkan kepada Buraidah pada saat itu adalah susu, karena Mu’aawiyyah semenjak muda memang suka susu. Nah, dari sini, dimana sisi yang bisa diambil dari mafhum kalaam dari Buraidah, seandainya perkataan itu memang milik Buraidah ?

Logika Anda juga bertentangan dengan kaedah persaksian yang dikenal dalam syari’at. Seandainya perkataan yang Anda asumsikan sebagai milik Buraidah itu memang berkonsekuensi tuduhan kepada Mu’aawiyyah telah minum khamr, dan pada saat bersamaan Mu’aawiyyah memberikan keterangan yang berbeda (bahwa apa yang ditawarkan dan diminumnya adalah susu), maka hukum asal dari hal tersebut adalah menerima perkataan Mu’aawiyyah. Ini bukan semata-mata karena Mu’aawiyyah. Ingat, tuduhan itu bisa batal jika ada pengingkaran. 

Anda bisa baca sedikit pembahasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/10/kaidah-dalam-tuduhan.html.

Lagi pula, tuduhan yang Anda ambil di sini hanya berdasarkan mafhum kalam saja. Dimana letak kekuatan dari alasan Anda ? Kekuatan alasan Anda sebenarnya hanyalah karena persepsi Anda yang terlampau negatif terhadap Mu’aawiyyah. Dari segi istinbath hukumnya, lemah, dilihat dari sisi kaedah manapun.

Adapun kemungkinan saya berasal dari kesimpulan bahwa : Telah ada kepastian dari riwayat bahwa minuman yang ditawarkan Mu’aawiyyah tersebut adalah susu. Juga, telah ada keterangan bahwa perkataan aku tidak meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu milik Mu’aawiyyah. Maka kemungkinan yang saya sebutkan tadi adalah kemungkinan yang paling dekat dengan dhahir riwayat sebagaimana dipahami dalam lisan orang ‘Arab.

Seandainya kemungkinan itu sama kuat (apakah Mu’aawiyyah minum khamr atau tidak), maka sudah sepantasnya hal itu dibawa kepada kemungkinan yang paling baik sebagai satu hak seorang muslim terhadap muslim lainnya. Yaitu, berhusnudhdhan. Apa alasannya ? Alasannya : Kehormatan seorang muslim itu haram untuk dijatuhkan kecuali dengan bukti yang nyata (valid). 


Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar