Kedudukan Hadis “Apa Yang Aku Dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya”
Hadis Iftiraqul Ummah adalah hadis masyhur di kalangan umat Islam. Hadis tersebut mengatakan bahwa Umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Sebagian orang yang berasal dari mahzab salafy mengklaim bahwa Salafy adalah golongan yang selamat dari ke-73 golongan tersebut. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa golongan
yang selamat adalah golongan yang mengikuti jejak Para Sahabat Nabi
atau memahami Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat. Sayangnya hadis yang mereka jadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang sangat dhaif.
.
.
Hadis Iftiraqul Ummah yang akan dibahas diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641.
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الحفري عن سفيان الثوري عن عبد الرحمن بن زياد الأفريقي عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي
Telah menceritakan kepada kami Mahmud
bin Ghaylan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al
Hafari dari Sufyan Ats Tsawri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dari
Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amr yang berkata “Rasulullah SAW
bersabda “Sungguh akan datang pada UmatKu sesuatu yang datang pada bani
Israil seperti sandal yang berjajar dengan sandal yang lain hingga ada
diantara mereka yang menyetubuhi istrinya terang-terangan dan pada
umatku akan ada yang demikian. Sesungguhnya bani Israil akan terpecah
belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan terpecah belah menjadi
73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Para
sahabat bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau
SAW menjawab “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.
Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2641 seraya berkata bahwa hadis ini hasan. Pernyataan
Beliau sudah jelas keliru dan mengandung kerancuan. Hadis ini sendiri
sanadnya dhaif dan jika Syaikh menghasankan hadis Tirmidzi ini
berdasarkan penguat dari hadis-hadis Iftiraq Al Ummah yang lain maka
Beliau sudah salah alamat. Hadis Iftiraq Al Ummah lain yang bersanad
shahih memang mengandung kata-kata “akan terpecah belah menjadi 73 golongan” tetapi tidak satupun dari hadis-hadis penguat tersebut yang menyebutkan bahwa golongan yang selamat itu adalah “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.
Tambahan ini sangat jelas dhaif baik dari segi sanad maupun matannya.
Oleh karena itu jelas sekali hadis Iftiraq Al Ummah yang lain tidak bisa
dijadikan penguat bagi riwayat Tirmidzi di atas.
Penyebab dhaifnya hadis Tirmidzi di atas adalah Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia adalah seorang perawi yang dhaif. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib
juz 6 no 358 telah menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi
dimana ia telah dilemahkan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, An
Nasa’i, Yahya bin Sa’id, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Kharrasy, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Di antaranya Ibnu Hajar mengutip
وقال بن أبي خيثمة عن بن معين ضعيف
Ibnu Abi Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in “dhaif”.
وقال النسائي ضعيف وقال بن خزيمة لا يحتج به وقال بن خراش متروك
An Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Khuzaimah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah” dan Ibnu Kharrasy berkata “matruk”.
An Nasa’i telah memasukkan Abdurrahman bin Ziyad ke dalam Kitabnya Ad Dhu’afa no 361 dan berkata
عبد الرحمن بن زياد بن أنعم الإفريقي ضعيف
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi dhaif
Daruquthni juga memasukkan Abdurrahman bin Ziyad dalam kitabnya Ad Dhu’afa no 338 dan berkata
عبدالرحمن بن زياد بن أنعم الأفريقي، ليس بالقوي
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi tidak kuat.
Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi memang dikenal dhaif sehingga banyak kitab Ad Dhu’afa menyebutkan namanya. Selain Nasa’i dan Daruquthni, Ibnu Hibban juga menyebutkannya sebagai perawi dhaif dalam Al Majruhin no 586 seraya berkata bahwa Abdurrahman bin Ziyad sering meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi tsiqat. Al Uqaili juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/332 no 927 dan Adz Dzahabi juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam Mughni Ad Dhu’afa no 3566 dan mengatakan bahwa ia seorang yang dikenal dhaif dan dinyatakan dhaif oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Daruquthni dan Ahmad.
Selain dalam Sunan Tirmidzi ternyata hadis dengan matan “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya” juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 dan Mu’jam Al Ausath 5/137 no 4886
حدثنا عيسى بن محمد السمسار الواسطي حدثنا وهب بن بقية حدثنا عبد الله بن سفيان المدني عن يحيى بن سعيد الأنصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي
Telah menceritakan kepada kami Isa
bin Muhammad Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami
Wahab bin Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Sufyan Al Madani dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik
yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah
menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”.
Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan para SahabatKu ada di atasnya pada hari ini”.
At Thabrani berkata dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini
At Thabrani berkata dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini
لم يروه عن يحيى إلا عبد الله بن سفيان
Tidak diriwayatkan dari Yahya kecuali oleh Abdullah bin Sufyan
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata
عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه
Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i Al Wasithi meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak diikuti hadisnya.
Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187. Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187. Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Selesai perkataan secondprince ......
TANGGAPAN KAMI :
Ada yang kurang dalam jarh dan ta'dil terhadap Abdurrahman bin Ziyad, yaitu :
Imam Tirmidzi berkata : "Aku melihat Muhammad memuji Al Ifriqi dengan kebaikan dan menguatkan perkaranya.
Oleh karena itu Al-Haafidh Ibnu Hajar menyimpulkan perkataan para ahli hadits terhadap ‘Abdurrahman bin Ziyaad Al-Ifriqiy rahimahullah dengan :“Lemah dalam jurusan hapalannya” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 578 no. 3887].
Adapun jarh yang terkesan bahwa Abdurahman sebagai seorang pendusta sehingga tercacat 'adalahnya adalah jarh yang berlebih-lebihan, dikarenakan hal ini disandarkan kepada Ibnu Hibban.
Pertanyaan sederhananya : Apakah ada riwayat orang tsiqah yang dipalsukan oleh Al Ifriqi ? Apakah ada ulama selain Ibnu Hibban yang menjarh 'adalah Al Ifriqi secara jelas ? Jawabannya : tidak ada !
Jadi, Abdurrahman bin Ziyad adalah seorang yang lemah dalam hafalannya.
Mengenai Abdullah bin Sufyan, jarh "tidak ada mutaba'ah", "kesendirian" merupakan jarh yang digunakan yang berkaitan dengan kelemahan hafalannya, bukan berkaitan dengan sifat 'adalah.
Dan juga dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Al Ifriqi dan Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.
Sehingga dapat kita fahami bahwa kelemahan dalam hafalan mereka dan ke-tidak majhulan mereka, mengindikasikan bahwa mereka berdua tidak bermasalah dalam hal ke-'adalah-an.
Seorang yang yang bermasalah tentang 'adalah, maka tidak berguna baginya jarh "infirad" atau "tidak ada mutaba'ah", jarh tersebut hanya diperuntukkan bagi perawi yang tidak bermasalah dalam ke-'adalah-an.
Kesimpulannya, bahwa dua riwayat diatas diriwayatkan oleh dua orang yang tidak majhul, dan tsiqat, hanya lemah dari segi hafalannya, sehingga keduanya dapat saling menguatkan, menjadi riwayat yang hasan lighairihi, SAH DAN DITERIMA KEBERADAANNYA.
Telah datang bantahan dari secondprince ....
SP menulis :
Telah datang bantahan dari secondprince ....
SP menulis :
Orang ini (yang dimaksud adalah saya) seolah-olah ingin mengesankan
bahwa kami tidak mengetahui ada beberapa ulama yang menta’dil
Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Orang ini juga ingin mengesankan
bahwa kami hanya bertaklid buta pada jarh Ibnu Hibbaan.
Hal ini jelas tidak benar, kami
mengetahui bahwa ada beberapa ulama yang menta’dilkan Abdurrahman bin
Ziyaad Al Ifriqiy. Oleh karena itulah kami dalam tulisan sebelumnya
menetapkan Ia sebagai perawi dhaif yang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan i’tibar oleh perawi semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Adanya sebagian ulama yang menta’dilkan hanya mengangkat derajatnya menjadi perawi dhaif yang bisa dijadikan i’tibar.
TANGGAPAN SAYA :
Awal bantahan second ini adalah awal yang baik, karena saya sependapat dengannya bahwa Al Ifriqi adalah PERAWI DHAIF YANG TIDAK BISA DIJADIKAN HUJJAH TETAPI DAPAT DIJADIKAN I'TIBAR.
Akan tetapi sayang, tulisan selanjutnya merupakan inkonsistensi dia terhadap pernyataannya sendiri diatas, darimana ilmu dia bahwa perawi yang dapat dijadikan i'tibar bermasalah terhadap 'adalah-nya.
SP menulis :
Dan tidaklah benar kalau kami melemahkan
Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy hanya berdasarkan jarh Ibnu Hibban.
Diantara sebagian ulama yang menyatakan jarh terhadap Abdurrahman bin
Ziyaad terdapat mereka yang memang menyatakan cacat pada ‘adalah-nya.
- Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya dan terkadang mengatakan tentangnya “tidak ada apa-apanya” terkadang mengatakan “mungkar al hadiits” bahkan melarang untuk menulis hadis darinya [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 1529]. Larangan menulis hadis atau meriwayatkan darinya menunjukkan Ahmad bin Hanbal menyatakan cacat pada ‘adalah-nya
- Ibnu Khiraasy mengatakan “matruk” dan Nasa’iy mengatakan “dhaif” [Tahdzib At Tahdzib 4/44 no 4508]. Jarh dengan lafaz “dhaif” dan lafaz “matruk” adalah jarh dari segi ‘adalah
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang
secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam
hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
TANGGAPAN SAYA :
Lihat dia, jarh "mungkarul hadits", "larangan menulis hadits darinya", "matruk", "dhaif", tidak mutlak bermasalah dalam segi 'adalahnya. Memang dapat berarti bermasalah dalam 'adalahnya, akan tetapi dapat pula berkenaan dengan masalah dari segi ke-dhabitan-nya, tergantung qarinahnya.
Dan dia sendiri telah menulis qarinah pembantahnya, yaitu : perkataan Shalih bin Muhammad berkata tentangnya Mungkarul Hadits, tetapi ia seorang yang SHALEH.
Sejak kapan orang yang SHALEH diperermasalahkan tentang ke-'adalah-annya ?
Sejak kapan orang yang SHALEH diperermasalahkan tentang ke-'adalah-annya ?
SP menulis :
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang
secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam
hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
Jika dilihat lebih teliti ucapan para
ulama mutaqaddimin tentangnya tidak ada keterangan sharih atau lafaz
yang sharih [jelas] bahwa Abdurrahman bin Ziyaad adalah orang yang lemah
hafalannya. Hal ini adalah ijtihad sebagian ulama muta’akhirin seperti
Ibnu Hajar yang melihat sebagian qaul ulama yang menta’dil Abdurrahman
bin Ziyaad tetapi melemahkan hadisnya.
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah ternyata saya masih berdiri diatas kaedah ilmu, sehingga seorang ulama hadits-pun telah sesuai dengan pendapat saya.
SP menulis :
Padahal sebenarnya ternukil jarh mufassar dari sebagian ulama yang
menunjukkan bahwa kelemahan dalam hadis Abdurrahman bin Ziyaad adalah
karena ia banyak meriwayatkan hadis mungkar. Diantaranya ada Shalih bin
Muhammad yang berkata tentangnya “mungkar al hadiits tetapi ia seorang
yang shalih”. Sufyaan Ats Tsawriy yang mengatakan Abdurrahman bin Ziyaad
merafa’kan hadis-hadis kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dimana tidak seorangpun dari ahli ilmu yang merafa’kan hadis tersebut.
Abu Hasan bin Qaththan yang mengatakan bahwa yang benar ia dhaif karena
banyak meriwayatkan hal-hal mungkar [Tahdzib At Tahdzib 4/44-45 no
4508].
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah, ternyata tidak hanya Imam Ibnu Hajar saja yang berpendapat seperti saya, ternyata Shalih bin Muhammad, Sufyan Ats Tsauri, dan Abu Hasan bin Qaththan, berpendapat bahwa kelemahan Al Ifriqi hanyalah karena meriwayatkan riwayat yang mungkar, dan ini maklum merupakan jarh dari segi ke-dhabitan.
Hal ini pernah kita bahas dalam periwayatan Bakr bin Bakaar, bahwa berbeda antara jarh fulan perawi mungkar dengan fulan mungkarul hadits.
SP menulis :
Jadi ketika Ibnu Hibban mengatakan “ia meriwayatkan hadis maudhu’ dari
para perawi tsiqat dan mendatangkan dari para perawi tsabit apa yang
bukan dari hadis mereka” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581] hal itu
bukanlah perkara yang mengherankan karena sebagian ulama telah
menetapkan bahwa Abdurrahman bin Ziyaad banyak meriwayatkan hadis
mungkar dan diantaranya hadis-hadis yang ia sandarkan kepada Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal tidak ada satupun ahli ilmu yang
menyandarkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
TANGGAPAN SAYA :
Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan Al Ifriqi.
SP menulis :
Satu hal lagi yang menambah kedhaifan
Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy adalah ia seorang mudallis. Ibnu Hajar
memasukkan namanya dalam mudallis thabaqat kelima
عبد الرحمن بن زياد بن أنعم ذكر بن حبان في الضعفاء أنه كان مدلسا وكذا وصفه به الدارقطني
‘Abdurrahman bin Ziyaad bin An’um,
Ibnu Hibban menyebutkan dalam Adh Dhu’afa bahwa ia seorang mudallis dan
demikian juga disifatkan oleh Daruquthniy [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu
Hajar no 143]
Dan sudah maklum diketahui [sebagaimana
disebutkan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya tersebut] bahwa mudallis
thabaqat kelima adalah orang-orang yang memang dhaif karena hal lain
selain tadlis maka hadis-hadis mereka ditolak walaupun mereka menyebutkan lafal sharih penyimakan hadisnya.
Ketika menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad
Al Ifriqiy seorang mudallis, Ibnu Hibban menyebutkan dengan lafaz “ia
melakukan tadlis dari Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais Al Mashlub” [Al
Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581]. Sedangkan Muhammad bin Sa’iid bin
Abi Qais dikenal sebagai seorang yang zindiq dan pemalsu hadis. Ahmad
bin Hanbal mengatakan ia pemalsu hadis. An Nasa’iy menggolongkannya
kedalam pendusta dan dikenal pemalsu hadis. Ibnu Numair menyatakan ia
pendusta pemalsu hadis. Daruquthniy berkata “matruk al hadiits”. Ibnu
Hibban dan Abu Ahmad Al Hakim menyatakan ia pemalsu hadis [Tahdziib At
Tahdziib 5/600-601 no 6982].
Hadis Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy
di atas diriwayatkan olehnya dengan lafaz ‘an anah maka hal ini tidaklah
selamat dari cacat tadlis. Bahkan dengan cacat ini juga riwayat itu
tidak bisa dijadikan i’tibar karena bisa jadi lafaz ‘an anah itu adalah
tadlisnya dari perawi dhaif, pendusta atau pemalsu hadis.
TANGGAPAN SAYA :
Sejak kapan riwayat mudalis tidak bisa dijadikan i'tibar ?
SP menulis :
Ucapan ini sangat jelas mengada-ada. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau jarh “tidak ada mutaba’ah dalam hadisnya” tidak mesti hanya berlaku bagi orang yang tidak bermasalah ‘adalah-nya.
Seorang yang majhul atau dhaif pun bisa saja dikatakan dengan jarh
“tidak ada mutaba’ah atasnya” atau “tidak ada mutaba’ah atas hadisnya”
Sebaik-baik bukti disini adalah sebagaimana tertera dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy : Asad bin ‘Atha’ seorang yang majhul, meriwayatkan dari Ikrimah hadis
yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 6]
Hasan bin ‘Aliy Al Hamdaaniy majhuul juga tidak memiliki mutaba’ah
atas hadisnya dan tidak dikenal kecuali dengannya [Adh Dhu’afa Al
Uqailiy no 282]
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya
hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak
bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan “majhul”.
TANGGAPAN SAYA :
Kacau betul bantahan orang ini, jelas harus dibedakan antara jarh "majhul, tidak ada mutaba'ahnya" dengan jarh "tidak ada mutaba'ahnya".
Jarh "majhul tidak ada mutaba'ahnya", lafal "majhul" menunjukkan identitas perawi, dan lafal "tidak ada mutaba'ahnya" menunjukkan status haditsnya.
Sedangkan jarh "tidak ada mutaba'ahnya", menunjukkan diketahuinya identitas perawi tersebut sebagai perawi yang lemah hafalannya sehingga haditsnya membutuhkan mutaba'ah.
SP menulis :
Bisyr bin Ibrahim Al Anshaariy
meriwayatkan dari Al Auza’iy dengan hadis-hadis maudhu’, tidak memiliki
mutaba’ah atas hadis-hadisnya tersebut [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 174]
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya
hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak
bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan ia
meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ [palsu]
TANGGAPAN SAYA :
Sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.
Meriwayatkan hadits-hadits palsu berbeda dengan membuat hadits palsu.
Yang pertama bisa karena dia pendusta atau bisa juga karena dia seorang yang buruk hafalannya sehingga menyampaikan sanadnya keliru.
Sedangkan yang kedua tidak syak lagi kalau perawi tersebut adalah pendusta.
Dalam kasus diatas bisa jadi Al Uqailiy tidak menjarh 'adalah Bisyr, hanya menjarh hadits-hadits Bisyr adalah lemah bila tidak ada mutaba'ahnya, dan bisa jadi menjadi kuat bila ada mutaba'ahnya. Dan setelah beliau teliti ternyata hadits-hadits tersebut tidak ada mutaba'ahnya.
Akan tetapi bila jarh-nya tidak murni (ada qarinah jarh lain) "tidak ada mutaba'ahnya", maka qarinah tersebutlah yang dipakai.
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868]
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain. Tetapi bila ada jarh qarinah lain, maka jarh qarinah itulah yang dianggap.
Dan lagi sejak kapan "dhaif tidak tsiqat" merupakan mutlak jarh atas 'adalah ?
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari perawi tersebut
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi jarh "mungkarul hadits tidak ada mutaba'ahnya" berbeda dengan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya"
Untuk yang kesekian kalinya saya tegaskan, bahwa jarh murni "laa yuttaba'u biha" bermakna selain 'adalah kecuali kalau ada jarh yang lain.
Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh 'tidak ada mutaba'ahnya" menjadi jarh "dhaif tidak ada mutaba'ahnya", sehingga diketahui bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.
SP menulis :
Sehingga kalau SP hendak melemahkan Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang 'adalah beliau, jangan berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.
Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada mutaba'ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.
Akan tetapi bila jarh-nya tidak murni (ada qarinah jarh lain) "tidak ada mutaba'ahnya", maka qarinah tersebutlah yang dipakai.
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868]
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain. Tetapi bila ada jarh qarinah lain, maka jarh qarinah itulah yang dianggap.
Dan lagi sejak kapan "dhaif tidak tsiqat" merupakan mutlak jarh atas 'adalah ?
SP menulis :
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari perawi tersebut
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi jarh "mungkarul hadits tidak ada mutaba'ahnya" berbeda dengan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya"
Untuk yang kesekian kalinya saya tegaskan, bahwa jarh murni "laa yuttaba'u biha" bermakna selain 'adalah kecuali kalau ada jarh yang lain.
Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh 'tidak ada mutaba'ahnya" menjadi jarh "dhaif tidak ada mutaba'ahnya", sehingga diketahui bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.
SP menulis :
Sungguh perkataan Abu Fulan (yang dimaksud adalah saya) ini tidak ada
nilainya. Siapapun yang membaca kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy pada
biografi Abdullah bin Sufyaan maka tidak akan mungkin menjadikan
riwayatnya sebagai penguat. Mengapa? Karena Al Uqailiy sendiri telah
menegaskan bahwa riwayat Abdullah bin Sufyaan itu tidak ada asalnya.
عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه حدثناسلم بن سهل الواسطي قال حدثني جدي وهب بن بقية الواسطي قال حدثنا عبد الله بسفيان عن يحيى بن سعيد الانصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا فرقة واحدة قيل يا رسول الله ما هذه الفرقة قال من كان على ما أنا عليه اليوم وأصحابي ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من حديث الافريقى
‘Abdullah bin Sufyaan Al Khuzaa’iy Al
Waasithiy meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak memiliki mutaba’ah
atas hadisnya. Telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl Al
Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku Wahb bin
Baqiyah Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik
yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Umat
ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka
kecuali satu golongan”. Dikatakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] “siapakah golongan itu”. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berkata “Apa yang Aku dan para Sahabat-Ku ada di atasnya pada
hari ini”. Hadis ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, dan sesungguhnya hanya dikenal hadis ini dari hadis Al Ifriqiy [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 817].
Dengan kata lain Al Uqailiy selaku
periwayat hadis ini dan yang menuliskan biografi Abdullah bin Sufyaan
menolak hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut sebagai penguat bagi hadis
Al Ifriqiy. Bahkan Al Uqailiy menegaskan kalau hadis Abdullah bin
Sufyaan tersebut tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid.
TANGGAPAN SAYA :
Pada intinya jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an, bisa karena buruk hafalannya, bisa karena majhul, bisa karena dhaif, bisa karena ikhtilath, bisa karena terputus, dll.
Sedangkan inti jarh Imam Al Uqailiy adalah "hadits ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Said" akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan.
Hal ini tidak berarti bahwa Al Uqailiy berpendapat bahwa riwayat Abdullah bin Sufyan tidak dapat dijadikan penguat riwayat Al Ifriqi, beliau hanya berpendapat tidak tsabit riwayat Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Said akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan dan yang tsabit adalah riwayat Al Ifriqi akan tetapi lemah.
Hal ini perlu dicermati, bahkan riwayat Abdullah bin Sufyan mempunyai mutaba'ah (syahid), yaitu riwayat Al Ifriqi.
SP menulis :
Kesimpulan : Hadis Al
Ifriqiy dan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak bisa saling
menguatkan maka kedudukannya adalah dhaif. Sungguh keliru orang yang
mengatakan hadis tersebut saling menguatkan dan menjadi hasan
lighairihi.
TANGGAPAN SAYA :
Telah berlalu kesepakatan kita, bahwa Al Ifriqi dapat dijadikan i'tibar.
Telah berlalu pembahasan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan mutlak merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an atau ke-ittisal-an sanad bukan jarh tentang 'adalah seorang perawi.
Sehingga kalau SP hendak melemahkan Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang 'adalah beliau, jangan berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.
Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada mutaba'ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.
Jadi kesimpulannya :
Al Ifriqi adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, demikian pula Abdullah bin Sufyan adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, sehingga saling menguatkan, menaikkan statusnya menjadi HASAN LIGHAIRIHI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar