Mengenai pembai’atan Ali
kepada Abu Bakar adalah dilakukan langsung pada hari itu juga yaitu setelah
berlangsungnya pembaia’atan di Saqifah.
Dalam hal ini terdapat 3
jenis riwayat :
1.
Riwayat yang
menceritakan peristiwa Saqifah lalu dilanjutkan pembaiatan Ali. (riwayat ini
kami tulis dengan tinta merah)
2.
Riwayat yang
menceritakan pembaiatan di Saqifah saja. (riwayat ini kami tulis dengan tinta
hijau)
3.
Riwayat yang
menceritakan pembaiatan Ali saja. (riwayat ini kami tulis dengan tinta biru)
Riwayat pertama :
Telah
menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan
kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi
Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al
Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian
datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh
jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara
kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan
bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan
salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin
Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal
dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah
penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah
membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian
itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami
tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu
Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika Abu Bakar
berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat
Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar
memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah
engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai
khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya.
Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya
kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”.
Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia
membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457]
Riwayat kedua :
Telah mengabarkan
kepada kami Abul Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan
Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ibrahim bin Abi Thalib,
keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar bin Basyaar yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada
kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah
dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
wafat dan orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka
ada Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata “tahukah
kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari golongan muhajirin
dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita adalah penolong Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita adalah penolong penggantinya
sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata “sesungguhnya pembicara kalian
benar, seandainya kalian mengatakan selain itu maka kami tidak akan membaiat
kalian” dan Umar memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka
baiatlah ia”. Umar mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan
Anshar.
Abu Bakar naik ke atas
mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Zubair maka ia
memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata “wahai anak bibi Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin
memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah
Rasulullah” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang
dan ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar
berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah
belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Inilah riwayatnya atau
dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir
30/276-277]
Riwayat ketiga :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan
yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah
menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang
berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib
khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka
yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah
seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah
dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka
khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata
“Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka
Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita
adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu
ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian
wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “ demi
Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat
dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih
sesuai dengan syarat Muslim”]
Riwayat keempat :
Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy
yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang
berkata telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah
yang berkata Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu, ia berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah
beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya Lalu Abu
Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah
shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau?”. ‘Ali
radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai khalifah Rasulullah.
Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat
kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat
Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian
kembali bersamanya. Abu Bakr berkata “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak
bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”.
Az-Zubair berkata “Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah.
Bentangkanlah tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat
kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].
Ja’far bin Muhammad --- ‘Affan
--- Wuhaib --- Dawud bin Abi Hind --- Abu Nadhrah --- Abu Sa’id
Abu
Hisyaam Al Makhzuumiy --- Wuhaib --- Dawud
--- Abu Nadhrah --- Abu Said
Ahmad bin Hanbal --- ‘Affan --- Wuhaib --- Dawud --- Abi Nadhrah ---
Abi Sa’id Al Khudriy
‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa --- Daawud bin Abi Hind --- Abu Nadhrah
Hudbah bin Khalid --- Hammad bin Salamah
--- Al Jurairy --- Abu Nadhrah
Ibnu Ulayyah --- Al Jurairy --- Abu Nadhrah
Ali bin ‘Aashim --- Al Jurairy --- Abu Nadhrah --- Abu Sa’id (lemah)
Orang syiah ini menyangka bahwa riwayat yang bertinta merah merupakan
penggabungan antara riwayat yang berwarna hijau dengan riwayat yang berwarna
biru.
Menurut dia bahwa riwayat yang hijau adalah shahih yang disampaikan oleh Abu Said Al Khudriy, sedangkan riwayat yang berwarna biru yang shahih hanyalah merupakan perkataan Abu Nadhrah. Hal ini dikarenakan ke-4 sanad riwayat biru hanya satu saja yang sampai kepada Abu Said dan itu-pun lemah (dikarenakan Ali bin Ashim).
Benarkah demikian ?...
Apakah gara-gara tidak ditemukan riwayat biru yang melalui Abu Said,
maka kita boleh mengatakan bahwa Abu Said tidak meriwayatkannya ?.... Lalu kita
katakan bahwa riwayat merah adalah riwayat penggabungan antara Abu Said dengan
Abu Nadhrah sehingga riwayat merah tersebut berstatus ma’lul ?.....
Untuk menentukan pokok sanad dari keseluruhan sanad diatas dapat ditentukan dari kekuatan kredebilitas masing-masing perawinya.
Mari kita lihat kekuatan masing-masing perawinya …..
Perawi sanad biru adalah ‘Abdul-A’laa bin
‘Abdil-A’laa. Ia dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib sebagai
seorang yang tsiqah. Jumhur ahli hadits juga mengatakannya tsiqah. Hanya saja
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata :
“Shaalihul-hadiits”. Ibnu Sa’d berkata : “Laisa bil-qawiy”. Perkataan Ibnu Sa’d
ini dibantah Ibnu Hajar karena menyelisihi jumhur ulama yang mentautsiqnya, dan
kemudian ia menjelaskan bahwa kemungkinan jarh ini karena faktor pemikiran
qadariy-nya. Ahmad dalam Suaalat Abi Daawud (no. 530) mengatakan bahwa dalam
hapalannya ada percampuran. Dan Abu Daawud dalam Suaalat Al-Aajurriy (no. 264)
mengatakan bahwa ‘Abdul-A’laa ini berubah hapalannya saat peristiwa haziimah.
Dari sini nampak bahwa jarh Ibnu Sa’d kepada ‘Abdul-A’laa itu kemungkinan besar
bukan disebabkan karena faktor qadariy-nya Namun apapun itu, kritik sebagian
ulama dalam faktor hapalannya tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Ia tetaplah
seorang yang tsiqah, bersamaan sedikit kritikan dari hapalannya.
Lalu perawi sanad merah, ia adalah Wuhaib bin Khaalid, ia adalah
seorang tsiqah lagi tsabat. Bahkan, para ulama memujinya dengan pujian
yang tinggi. Di antaranya Abu Haatim yang mengatakan bahwa tidak ada orang
setelah Syu’bah yang mengetahui tentang ilmu rijaal (dan hadits) dibanding ia.
Senada dengan yang dikatakan Ibnu Mahdiy. Ibnu Hibbaan mengatakan : mutqin.
Ahmad, selain mentsiqahkannya, jika Ismaa’iil bin Ibraahiim bin ‘Ulayyah dan
Wuhaib berselisihan, ia mendahulukan Wuhaib dalam segala hal (baik dari faktor
hapalannya, ketsabatannya, dan yang lainnya). Padahal, Ibnu ‘Ulayyah adalah
seorang yang tsiqah lagi haafidh (At-taqriib). Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah lagi
tsabt”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, katsiirul-hadiits, hujjah”. Di lain tempat
ia berkata bahwa ia lebih haafidh dari Abu ‘Awaanah. Ibnu Ma’iin ketika ditanya
siapakah syuyuukh orang-orang Bashrah yang paling tsabt ?. Ia menjawab pada
kali pertama : “Wuhaib” kemudian menyebutkan nama-nama lain. Abu Haatim berkata
bahwa ia adalah orang keempat di antara huffadh Bashrah”.
Sepengetahuan saya, tidak ternukil adanya jarh padanya kecuali Abu Daawud : “berubah hapalannya, tsiqah”. Perkataan inilah yang kemudian diadopsi Ibnu Hajar dengan mengatakan : “Tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir hayatnya”.
Sepengetahuan saya, tidak ternukil adanya jarh padanya kecuali Abu Daawud : “berubah hapalannya, tsiqah”. Perkataan inilah yang kemudian diadopsi Ibnu Hajar dengan mengatakan : “Tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir hayatnya”.
Dari pembahasan diatas diketahui bahwa Wuhaib kedudukan lebih tinggi (‘aaliy) daripada Abdul A’laa, dimana mereka berdua sama-sama meriwayatkan dari Dawud bin Abi Hind.
Lalu kita lihat perawi yang meriwayatkan dari Abu Nadhrah, yaitu Dawud bin Abi Hind dengan Al Jurairiy.
Daawud bin Abi Hind adalah
seorang yang tsiqah lagi mutqin. Di antara ulama yang memberikan pujian tinggi
kepadanya : Ahmad bin hanbal berkata : “Tsiqatun tsiqah”. Al-‘Ijliy : “Tsiqah,
jayyidul-isnaad, rafii’”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, katsiirul-hadiits”.
Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Hibbaan : “Termasuk
mutqiniin dalam riwayat”. Adapun kritik Abu Daawud, maka itu tidak
memudlaratkannya [lihat komentar dalam Tahriirut-Taqriib, 1/378 – dan ditaqrir
tanpa mendapat kritikan oleh Dr. Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Iihaam]. Dan
kritik Ahmad bahwa ia Daawud bin Abi Hind banyak idthiraab dan khilaaf
(Tahdziibut-Tahdziib), maka riwayat ini syaadz menyelisihi jumhur riwayat Ahmad
yang lainnya. Di atas telah disebutkan bahwa Ahmad berkata : Tsiqatun tsiqah”.
Di lain tempat ia berkata : “Orang seperti Daawud masih ditanya ? (maksudnya,
ia tsiqah, tidak perlu ditanya lagi)”. Di lain tempat ia berkata : “Daawud dan
Zakariyya bin Zaaidah adalah sama”. Sedangkan Zakariyyaa menurut Ahmad adalah tsiqah.
Sedangkan Al-Jurairiy hanyalah seorang
tsiqah saja sebagaimana disebutkan jumhur ulama. Adapun sebagian yang
mendla’ifkannya, maka itu karena ikhtilaath-nya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa Daawud bin Abi
Hind lebih ‘aaliy daripada Al-Jurairiy.
Sehingga dapat kita pastikan
bahwa sanad riwayat merah lebih ‘aaliy daripada sanad riwayat biru, dan
sanad merah – lah yang dijadikan pokok sanadnya.
Sehingga kita dapat nyatakan bahwa peristiwa berbaiatnya Ali kepada Abu Bakar adalah merupakan riwayat yang melalui Abu Said Al Khudriy, bukan perkataan Abu Nadhrah.
Dan riwayat yang berwarna merah merupakan satu kesatuan cerita yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudriy, bukan merupakan penggabungan antara riwayat hijau dengan biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar