Syiah berkata :
Peninggalan
Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Sebelum Junjungan kita yang mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat dan salam kepada Beliau SAW dan Keluarga suciNya as) berpulang ke rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan kepada umatnya agar tidak sesat dengan berpegang teguh kepada dua peninggalannya atau Ats Tsaqalain yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya Beliau SAW juga mengingatkan kepada umatnya bahwa Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
1.Hadis
riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”
Lalu
Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah
istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul
Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak
diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa
mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far
dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah
(zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya
“Kami
berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab
”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa
tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan
kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima
sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata
“Rasulullah
SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan
memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau
SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera
pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats
Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari
yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan
berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab
Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian
Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan
aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi
Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka
dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah
siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya“
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu
- Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
- Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
- Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua
hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan
Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran
dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak
mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan
hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu
mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan
menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis
Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi
kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis
tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa
Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk
kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat
,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat
Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al
Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
Ahlussunnah menjawab (ustadz
Abul Jauza) :
Hadits ats-tsaqalain adalah salah satu hadits yang menjadi pokok perbedaan manhaj beragama antara Ahlus-Sunnah dan Syi’ah. Dan dari hadits inilah kemudian muncul teologi ‘beragama menurut Ahlul-Bait’ yang dikembangkan oleh Syi’ah. Mereka beranggapan agama ini hanya akan betul dan sah jika dibawakan menurut jalur Ahlul-Bait, bukan selain mereka. Ahlul-Bait yang dimaksudkan di sini bukanlah sesuai dengan apa yang dipahami Ahlus-Sunnah. Penjelasan lebih lengkapnya, silakan baca artikel sebelumnya yang berjudul : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba mendiskusikan hadits ats-tsaqalain ini dari beberapa jalur periwayatan, sekaligus bagaimana memahami makna yang ada di dalamnya. Sebagai pengantar, akan disebutkan beberapa (= tidak semua) riwayat hadits ats-tsaqalain sebagaimana di bawah :
1.
Shahih
Muslim
Pertama
:
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ
قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو
حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ
بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا
جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا
كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ
حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ
خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ
سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا
فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ
وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ
قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ
أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ
أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ
اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ
ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ
بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ
نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ
أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ
آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ
حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari
Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil
bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan
kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama
Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata
kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang
banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur
menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau
telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah
kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid
bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan
ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang
tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk
menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang
terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan
nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah
manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut
nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian
Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah
ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’.
Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan
: ‘ (Kedua),
dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga
kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah
ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin
Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah
orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata
: ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali,
keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata :
‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’.
Kedua
:
و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي
ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ
زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ
الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ بِمَعْنَى حَدِيثِ زُهَيْرٍ
Dan
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar-Rayyan : Telah
menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid bin
Masruuq, dari Yazid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam dari Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam, (lalu dia menyebutkan haditsnya yang semakna dengan
hadits Zuhair).
Ketiga
:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي
حَيَّانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ إِسْمَعِيلَ وَزَادَ فِي حَدِيثِ
جَرِيرٍ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ
كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Fudlail. Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir; keduanya (Muhammad bin
Fudlail dan Jariir) dari Abu Hayyan melalui jalur ini sebagaimana hadits
Ismaa’iil, dan di dalam hadits Jariir ada tambahan : “Yaitu Kitabullah
yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh
dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas
petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Keempat
:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ
إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ
رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي
حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ
أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ
كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا
مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ
تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ
إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ
حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah
menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid - yaitu
Ibnu Masruuq - , dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia (Yaziid)
berkata : “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya : 'Sungguh
kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah,
shalat di belakang beliau…dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya
saja dia berkata: Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda : 'Ketahuilah sesungguhnya aku telah
meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya
adalah Al Qur'an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan
mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.'
Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya : “Siapakah ahlu
baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab : “Bukan, demi Allah.
Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi
kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan
kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga
beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2408].
2.
Musnad
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ حَدَّثَنِي
يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ
سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا
إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا
رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ
وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ مَعَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا
كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبُرَتْ سِنِّي
وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوهُ وَمَا لَا
فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطِيبًا فِينَا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ
وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ
ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَأُجِيبُ وَإِنِّي
تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ
الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ
فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي
أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ
بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ
أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ إِنَّ
نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ
الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ
وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ
نَعَمْ
Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Abu Hayyaan At-Taimiy :
Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan At-Taimiy, ia berkata : “Aku,
Hushain bin Sabrah, dan ‘Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam.
Ketika kami duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya : "Sesungguhnya
Anda telah menuai kebaikan yang banyak wahai Zaid. Anda telah melihat
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mendengar haditsnya.
Kemudian Anda juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Sungguh,
Anda telah melihat kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami
apa yang telah Anda dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam."
Zaid berkata : "Wahai anak saudaraku, demi Allah, usiaku telah lanjut, dan
masaku pun telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku hafal dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apa yang aku ceritakan
pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian
membebankannya padaku". Zaid melanjutkan berkata : “Pada suatu hari
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada
kami di sebuah mata air yang biasa disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka'bah
dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengungkapkan puji-pujian
atas-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau
bersabda : ‘Amma ba'du, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang
manusia, yang hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun
memenuhinya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara yang sangat berat
di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah 'azza wajalla. Di
dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan
berpegang-teguhlah kalian dengannya". Beliau memberikan motivasi
terkait dengan kitabullah dan mendorongnya. Kemudian beliau bersabda lagi : "Dan
(yang kedua adalah) ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahli
baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku, aku ingatkan kalian
karena Allah terhadap akan ahlul-baitku." Kemudian Hushain
bertanya kepada Zaid : "Dan siapakah ahlul-baitnya wahai Zaid?. Bukankah
isteri-isteri beliau adalah termasuk ahlul-baitnya?". Zaid menjawab :
"Isteri-isteri beliau termasuk bagian dari ahlul-baitnya. Akan tetapi,
ahlul-bait beliau adalah siapa saja yang telah diharamkan baginya untuk
menerima sedekah setelah beliau". Hushain bertanya lagi : "Siapakah
mereka itu?". Zaid menjawab : "Mereka adalah keluarga ‘Aliy, keluarga
‘Aqil, keluarga Ja'far, dan keluarga ‘Abbaas". Zaid bertanya lagi : "Apakah
mereka semua diharamkan untuk menerima sedekah?". Ia menjawab :
"Ya" [4/366-367].[1][1]
حَدَّثَنَا
ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ
عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ
أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَبْلٌ
مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي أَلَا
إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritkan kepada kami
‘Abdul-Malik – yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid
Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah
satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan
dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahlul-baitku, keduanya tidak akan
berpisah hingga mereka tiba di telagaku” [3/26].[2][2]
3.
Sunan
At-Tirmidziy
حَدَّثَنَا
نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ
هُوَ الْأَنْمَاطِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ
يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ
تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Telah
menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy : Telah menceritakan
kepada kami Zaid bin Al-Hasan – ia adalah Al-Anmaathiy - , dari Ja’far bin
Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku melihat
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya ketika di
'Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya - Al Qahwa`- dan aku
mendengar beliau bersabda : ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku
telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang
dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan
‘itrahku ahlul-baitku" [no.
3786].[3][3]
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ
حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ
فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ
تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ
مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ
يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي
فِيهِمَا قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy,
dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid. Dan
Al-A’masy dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu
‘anhumaa, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian
sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak
akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar
dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari
langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah
hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh
kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku" [no.
3788].[4][4]
4.
Al-Ma’rifah
wat-Taarikh
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد
الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل
وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah
menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam,
ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan
untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku
ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di
Al-Haudl” [1/536; shahih].
5.
Mustadrak
Al-Haakim.
حدثناه أبو بكر بن إسحاق ودعلج بن أحمد السجزي قالا أنبأ
محمد بن أيوب ثنا الأزرق بن علي ثنا حسان بن إبراهيم الكرماني ثنا محمد بن سلمة بن
كهيل عن أبيه عن أبي الطفيل عن بن واثلة أنه سمع زيد بن أرقم رضى الله تعالى عنه
يقول نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بين مكة والمدينة عند شجرات خمس دوحات عظام
فكنس الناس ما تحت الشجرات ثم راح رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية فصلى ثم قام
خطيبا فحمد الله وأثنى عليه وذكر ووعظ فقال ما شاء الله أن يقول ثم قال أيها الناس
إني تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي ثم
قال أتعلمون إني أولى بالمؤمنين من أنفسهم ثلاث مرات قالوا نعم فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم من كنت مولاه فعلي مولاه
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq dan Da’laj bin Ahmad Al-Sajziy,
keduanya berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ayub : Telah menceritakan
kepada kami Al-Azraq bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin
Ibraahiim Al-Kirmaaniy, : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah
bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abuth-Thufail bin Waatsilah : Bahwasannya ia
mendengar Zaid bin Arqam radliyallaahu ta’ala ‘anhu berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat
antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang
membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Setelah itu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan
menyanjung Allah ta’ala, mengingatkan dan memberikan nasehat (kepada
manusia). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai
sekalian manusia, aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila
kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan
ahlul-baitku ‘itrahku”. Kemudian beliau melanjutkan : “Bukankah aku ini
lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”.
Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya,
maka Ali adalah juga maulanya”. [no. 4577].[5][5]
6.
Musykiilul-Aatsaar.
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو
عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ
بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ
هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ
إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ
تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Telah
menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Katsiir bin Zaid, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari ‘Aliy :
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berteduh di Khum
kemudian beliau keluar sambil memegang tangan ‘Aliy. Beliau berkata : “Wahai
manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb
kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah
kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari
diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi
kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai
maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya” atau [Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda] : “Maka ‘Aliy sebagai maulanya” [keraguan
ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian yang jika
kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu
Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan Ahlul-Bait-ku” [3/56].[6][6]
Saya kira lafadh-lafadh di atas sudah
cukup mewakili.
Kita akan melihat secara keseluruhan
makna yang paling tepat akan hadits tsaqalain
ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa hadits di
atas diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pada waktu yang sama dan disaksikan lebih dari seorang shahabat.
Yaitu saat haji wada’, tepatnya di
satu tempat yang bernama Khumm. Jika kita ketahui bahwa hadits ini keluar pada
orang yang satu (yaitu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam), waktu yang satu (yaitu saat haji wada’), dan tempat yang satu (Khumm), maka lafadh hadits ini pun
sebenarnya satu. Hukum dan maknanya pun juga satu.
Oleh karena itulah, kita perlu melihat
keseluruhan lafadh hadits dari riwayat yang berbeda-beda sehingga kita bisa
melihat lafadh hadits tersebut secara utuh. Karena telah ma’lum bahwa kadang satu hadits sengaja dibawakan oleh seorang
perawi dengan meringkas, dan di lain riwayat ia bawakan secara lengkap. Juga,
kadang seorang perawi menerima hadits dengan lafadh ringkas, namun perawi
selain dirinya membawakan secara lengkap. Juga, adanya faktor kekurangan dalam
sifat hifdh dari seorang perawi
sehingga ia membawakan hadits yang semula panjang (lengkap), namun kemudian ia
bawakan secara ringkas. Dan beberapa kemungkinan yang lainnya.
Kita juga harus memperhatikan bahwa
hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya
daripada yang tidak.
Ini semua mewajibkan kita untuk
menelaah keseluruhan lafadh hadits yang ada.
Telah
tsabt riwayat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad (mohon untuk dibaca kembali dengan
seksama hadits di atas) bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat
kepada umatnya tentang dua perkara yang berat (ats-tsaqalain), beliau berkata :
أَوَّلُهُمَا
كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا
بِهِ
“Pertama, Kitabullah
yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu
melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya”.
Kemudian
beliau menyambung perkara yang kedua :
وَأَهْلُ
بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي
أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“(Kedua), dan
ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.
Dari
riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh
ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan
umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Jika
Syi’ah mengatakan bahwa Kitabullah dan Ahluk-Bait adalah dua hal yang sama dan
setara, maka itu tidak dapat diterima. Sebab, dalam riwayat lain (ex : Sunan
At-Tirmidziy no. 3788) menjelaskan bahwa salah satu dari keduanya lebih
besar dari yang lain :
إِنِّي
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ
لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ
“Aku
tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih
besar dari yang lain”.
Hadits
ini jelas menolak klaim kesetaraan.
Jika
Syi’ah mengatakan bahwa kata Ahlul-Bait setelah huruf wawu merupakan ‘athaf kepada
Kitabullah – sebagaimana termaktub dalam Sunan At-Tirmidziy no. 3786 dan Al-Ma’rifah wat-Taariikh
(sehingga
mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan Al-Qur’an dalam perintah berpegang
teguh dan jaminan tidak akan sesat ), ini pun tidak
dapat diterima dengan alasan :
1.
Telah
lalu perkataan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah membedakan kedudukan keduanya.
2.
Dalam
salah satu riwayat Muslim telah disebutkan lafadh :
كِتَابُ
اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ
وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ
أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Yaitu
Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang
berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan
berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan
tersesat”.
Penunjukkan
perintah itu secara tegas hanya tertuju pada Al-Qur’an (Kitabullah), tanpa ada
tambahan keterangan ‘itrah ahlul-bait.
Lafadh ini berkesesuaian dengan riwayat Muslim sebelumnya (dalam lafadh yang
panjang) dan Ahmad (dalam lafadh yang panjang).
Sesuai
pula dengan lafadh yang dibawakan Jaabir :
وقد
تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh
telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya,
niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no.
1218].[7][7]
3.
Lafadh
hadits :
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به
لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي
Aku tinggalkan untuk
kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya
maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku
ahlul-baitku”.
Perhatikan
kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai
kata : bihi (به – “dengannya”),
dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai
dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal
(Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما
- “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat :
تركت
فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب
الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan
pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan
keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Hadits
‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini
saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah
berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami
merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa
(بهما - “dengan keduanya”).[9][9] Ini adalah konsekeunsi logis dari
kalimat itu sendiri.
Oleh
karena itu, kalimat : ‘dan ‘itrahku
ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada
kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang
dibawakan Muslim dan Ahmad.
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى
والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل
بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku
akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah
yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh
padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di
atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia
berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap
ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali
[Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih].
4.
Ahlul-Bait
bukanlah pribadi-pribadi yang ma’shum. Berbeda dengan Al-Qur’an yang ma’shum
dan pasti benar setiap huruf, kata, dan kalimatnya. ‘Aliy bin Abi Thaalib
terbukti pernah keliru dengan meminang putri Abu Jahl sehingga mendapat teguran
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فإني
أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره
أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد
أبدا
“Sesungguhnya aku
telah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan
membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku,
karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh
tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak
perempuan musuh Allah oleh seorang suami” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2449].
‘Aliy
juga pernah salah ketika memberi hukuman terhadap para mulhidin dengan membakarnya :
عن
عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم
أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما
قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari
‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas,
lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan
membakar mereka, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah
menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang
menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no.
3017].
Dalam
riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ
ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka
sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh
Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543,
Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 &
282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud
no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
‘Aliy
juga pernah keliru saat menegur Faathimah karena ia bercelak setelah tahallul
:
وقدم
علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن
حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان
علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت
مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها
فقال صدقت صدقت
“…….Sementara
itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia
mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat
demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat
begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut.
Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun
bersabda : "Fathimah benar……." [Diriwayatkan Muslim no. 1218].
dan
yang lainnya.
Bagaimana
bisa kemudian Ahlul-Bait hendak disamakan dengan Al-Qur’an dalam perintah untuk
selalu berpegang-teguh kepadanya dan jaminan aman dari kesesatan ? Kesesuaian
mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolok ukur dan jaminan
petunjuk bagi manusia. Adapun kekeliruan mereka, maka sudah selayaknya tidak
kita ikuti. Barangsiapa yang mengikuti kekeliruan mereka, maka ia telah
menyimpang. Ahlul-Bait tetap dibebani kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menetapinya keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
akan selamat, dan barangsiapa menyelisihinya akan tersesat.
Oleh
karena itu, petunjuk yang dapat mereka berikan (kepada umat) tetap di-taqyid dengan kesesuaian terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama seperti para shahabat, tabi’iin, dan tabi’ut-tabi’iin
lainnya.
Jika
ada yang mengatakan :
Telah
ditunjukkan bahwa lafaz “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” shahih dari
Rasulullah SAW. Diantaranya kami menunjukkan bahwa riwayat Abu Dhuha dari Zaid
bin Arqam menyebutkan lafaz “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”.
Walaupun terdapat hadis lain yaitu riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam
yang hanya menyebutkan lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah” saja,
tidaklah berarti riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menjadi tertolak. Justru
kalau kita menggabungkan keduanya maka hadis Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam
melengkapi hadis Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam. Menjamak keduanya jelas
lebih tepat dan hasil penggabungan keduanya adalah Rasulullah SAW menetapkan
“berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Hal yang sangat ma’ruf bahwa
penetapan yang satu bukan berarti menafikan yang satunya. Apalagi jika terdapat
dalil shahih penetapan keduanya maka dalil penetapan yang satu harus
dikembalikan kepada penetapan keduanya.
Saya
tidak tahu apakah perkataan ini lahir dari pengetahuan penjamakan lafadh-lafadh
hadits yang dikenal ulama. Dan siapa pula yang menolak hadits Abudl-Dluhaa ?
Bisa dicermati hadits-hadits di atas. Hadits Abu Dluhaa dari Zaid bin Arqam
merupakan lafadh yang lebih ringkas daripada lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan
dari Zaid bin Arqam. Juga, lafadh hadits Abudl-Dluhaa bukan merupakan jenis
lafadh ziyaadatuts-tsiqah karena
tidak ada lafadh yang bisa ditambahkan pada lafadh Yaziid bin Hayyaan. Tidak
lebih, ia hanya merupakan ikhtishar
saja. Jenis-jenis semacam ini banyak dalam kutubus-sunnah.
Justru lafadh yang lengkap ada pada hadits Yaziid bin Hayyaan. Jika demikian,
bagaimana bisa dipahami bahwa hadits Abu Dluhaa adalah pelengkap lafadh Yaziid
bin Hayyaan ?. Di bagian mana lafadh hadits Abudl-Dluhaa melengkapi lafadh
hadits Yaziid bin Hayyaan ?
Jangan
kita terpengaruh oleh syubhat : Apalagi dalam riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid terdapat
lafal dimana Zaid berkata “aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat.
Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam”. Bukankah ini menunjukkan kalau hadis yang mengandung lafal
seperti ini membutuhkan penjelasan dari hadis lain.
Kalimat
di atas sepertinya punya kecenderungan untuk diarahkan bahwa saat Zaid bin
Arqam menceritakan kepada Yaziid bin Hayyaan dalam keadaan telah tua dan
sebagian hal ada yang telah terlupakan dari ingatannya, termasuk hadits ini.
Mari
kita cermati apa sebenanya yang dikatakan Zaid bin Arqam :
“Wahai keponakanku,
demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan
ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan
kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu
janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya”.
Dapat
kita pahami bahwa hadits yang disampaikan Zaid bin Arqam kepada Yaziid bin
Hayyaan adalah hadits yang masih ia ingat betul. Saya sepakat, mungkin saja ada
beberapa lafadh yang kurang dalam hadits Yaziid bin Hayyaan, dan itu bisa
ditambahi dari riwayat-riwayat lain yang termasuk dalam katagori : ziyaadatuts-tsiqah. Memperhatikan
riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, beberapa lafadh yang dapat ditambahkan ke dalam lafadh hadits Yaziid
bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam sebagai berikut (yang asal sanadnya hasan atau
shahih) :
أما
بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم
ثقلين، [أحدهما أعظم من الآخرِ] : أولهما كتاب
الله [حبل ممدود من السَّماء إلى الأرض] فيه
الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به [ومن
تركه كان على ضلالة]" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل
بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي
[فانظروا كيف تخلفوني فيهما]. [ألستم تشهدون أن اللَّه عزّ وجلّ ربّكم ؟ قالوا بلى قال
ألستم تشهدون أنّ اللَّه ورسوله أولى بكم من أنفسكم وأنّ اللَّه عزّ وجلّ ورسوله
مولياكم ؟ قالوا بلى قال فمن كنت مولاه فإنّ هذا مولاه أو قال فإنّ عليّا مولاه]
“Amma ba’d.
Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti
kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan
datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian
Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), [salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain].
Pertama, Kitabullah [yaitu tali yang Allah bentangkan dari langit ke
bumi] yang padanya berisi petunjuk dan cahaya,
karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah
kalian kepadanya, [dan barangsiapa
yang menyalahinya, maka dia akan tersesat]”.
(Perawi berkata) : Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian
beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan
ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku. [karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa
yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku]. [Bukankah kalian
bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang
berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa
Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri;
serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”.
Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali
bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia
ini juga sebagai maulanya”].
Adakah
ruang bagi riwayat Abudl-Dluhaa untuk menambah lafadh Yaziid bin Hayyaan ?
(Jawabnya : Tidak).[10][10]
Ringkasnya,
riwayat Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam merupakan penjelas dari riwayat
Abudl-Dluhaa dari Zaid bin Arqam, terutama di bagian kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’. Bukan
sebaliknya.
Tidak
ada penunjukan dalam hadits ats-tsaqalain
untuk selalu berpegang tegus pada ahlul-bait dan jaminan pasti aman dari
kesesatan. Hadits ats-tsaqalain
memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati,
memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah
yang dipahami oleh para shahabat radliyallaahu
‘anhum.
حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ
Telah
menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata :
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid
bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan
dengan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa
sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3751].
Semoga
yang dituliskan ini ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam
bishs-shawwaab.
[2][2] Sanad hadits ini lemah dengan
kelemahan terletak pada ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy.
Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadiits. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits.
Telah sampai kepadaku bahwasannya ‘Athiyyah mendatangi Al-Kalbiy dan mengambil
darinya tafsir, dan ‘Athiyyah memberikan kunyah kepadanya (Al-Kalbiy)
Abu Sa’iid. Kemudian (saat meriwayatkan) ia berkata : ‘Telah berkata Abu
Sa’iid’. Husyaim telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no.
1306 dan Al-Kaamil 7/84 no. 1530]. Ahmad juga berkata : “Sufyan – yaitu
Ats-Tsauriy – telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 4502].
Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Shaalih” [Al-Jarh
wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Namun dalam riwayat lain, seperti Abul-Waliid
bin Jaarud, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir,
hal. 1064 no. 1395]. Juga riwayat
Ibnu Abi Maryam, bahwasannya Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, kecuali
jika ia menuliskan haditsnya” [Al-Kaamil, 7/84 no. 1530]. Abu Haatim
berkata : “Dla’iiful-hadiits, ditulis haditsnya. Abu Nadlrah lebih aku
sukai daripadanya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Abu Zur’ah
berkata : “Layyin (lemah)” [idem]. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”
[Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 481]. Al-Bukhaariy berkata :
“Telah berkata Ahmad terhadap hadits ‘Abdul-Malik dari ‘Athiyyah, dari Abu
Sa’iid : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Telah
aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain…’ : “Hadits-Hadits orang-orang
Kuffah ini munkar” [Taariikh Ash-Shaghiir, 1/267]. Abu Dawud
berkata : “Ia bukan termasuk orang yang dipercaya (dapat dijadikan sandaran)” [Suaalaat
Abi ‘Ubaid Al-Aajuriiy, hal. 105 no. 24]. Ad-Daaruqthniy berkata : “Mudltharibul-hadiits”
[Al-‘Ilal, 4/291]. Di tempat lain ia juga berkata : “Dla’iif” [As-Sunan,
4/39 – dari Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 453]. Ibnu
‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kedla’ifannya, ia ditulis haditsnya” [Al-Kaamil,
7/85]. Ibnu Sa’d berkata : “Ia tsiqah, insya Allah. Memiliki
hadits-hadits yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah”
[Thabaqaat Ibni Sa’ad, 6/304]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah,
namun tidak kuat (haditsnya)” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/140 no. 1255]. Ibnu
Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin”
[Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 247 no. 970]. Adz-Dzahabiy berkata :
“Para ulama telah mendla’ifkannya” [Al-Kaasyif 2/27 no. 3820]. Ibnu
Hajar berkata : “Shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah mudallis”
[Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].
[lihat juga : Tahdziibul-Kamaal, 20/145-149 no. 3956 dan Al-Jaami’
fil-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 2937.
Di sini ‘Athiyyah juga membawakan riwayat dengan ‘an’anah sedangkan
ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar
[lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122]. Jenis tadliis yang
ia lakukan adalah jenis tadliis yang buruk, sebagaimana ditunjukkan dari
perkataan Ahmad di atas.
Janganlah Anda terpedaya oleh ucapan : “Sebagian ulama menta’dilkan Athiyah dan sebagian yang
lain mendhaifkannya. Mereka yang mendhaifkan Athiyyah tidak memiliki alasan
yang kuat kecuali kalau Athiyyah dinyatakan melakukan tadlis syuyukh”.
Bagaimana bisa dikatakan tidak kuat ? Mereka men-jarh tidak
semata-mata karena tadlis syuyukh yang qabiih (jelek) dari
‘Athiyyah. Silakan perhatikan benar-benar daftar perkataan para ulama terhadap
diri ‘Athiyyah di atas. Jarh yang mereka alamatkan adalah dari sisi
hapalannya. Bukankah Ibnu Ma’iin berkata bahwa ia seorang yang lemah kecuali
jika ia menuliskan haditsnya ? Bukankah Ad-Daaruquthniy mengatakan ia seorang
yang mudltharib (goncang) ? Juga jarh layyin dari Abu
Zur’ah, ini menunjukkan jeleknya hapalan (suu’ul-hifdhiy).
Ad-Daaruquthniy telah menjelaskan bahwa jika seseorang di-jarh dengan
perkataan layyin, maka ia di-jarh bukan dari sisi ‘adalah-nya
(maksudnya di sini, ia di-jarh dari sisi dlabth-nya) [lihat : Al-Khulaashah
fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 312]. Ini semua menunjukkan cacat di sisi
ke-dlabith-annya. Ini bukan jenis jarh yang mubham. Selain
itu, darimana dapat disimpulkan tajrih Husyaim, Ats-Tsauriy, Abu Haatim,
An-Nasaa’iy, Abu Dawud, dan Ibnu ‘Adiy keluar semata-mata dengan sebab tadlis
syuyuukh dari ‘Athiyyah ?
Pen-tsiqah-an Ibnu Syaahin bersandar pada perkataan Ibnu
Ma’iin, padahal ia (Ibnu Ma’iin) telah mempunyai perkataan yang lebih rinci
sebagaimana ternukil dari riwayat Ibnu Abi Maryam. Adapun pen-tautsiq-an
Al-‘Ijliy – bersamaan dengan tasahul-nya dalam pen-tautsiq-an
perawi – ada hujjah yang menunjukkan jarh yang saya tunjukkan, yaitu
tambahan keterangan : “Wa laisa bil-qawiy (dan ia bukan orang yang
kuat)”. Maksudnya di sini, ‘Athiyyah tidak kuat dari sisi hapalannya (dlabth),
namun terpercaya dari sisi ‘adalah-nya. Adapun bersandar pada tahsin At-Tirmidziy
- kalaupun kita menganggap bahwa tahsin terhadap hadits itu dimutlakkan
pada tahsin perawinya - , ia termasuk ulama yang tasaahul dalam
pen-tautsiq-an perawi. Dan yang tersisa tinggallah tautsiq dari
Ibnu Sa’d.
Pen-tautsiq-an ini sangatlah tidak memadai untuk mengalahkan ta’yin
jarh ulama pada diri ‘Athiyyah, karena jarh yang mereka pakai adalah
mufassar – selain juga merupakan pendapat mayoritas dalam pendla’ifan.
Jika ada yang mengatakan : “Imam
Bukhari berkata “Ahmad berkata tentang hadis Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari
Athiyyah dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW bersabda “aku tinggalkan untuk kalian
Ats Tsaqalain” hadis orang-orang kufah yang mungkar [Tarikh As Saghir juz 1 no
1300]. Perkataan Ahmad bin Hanbal ini sangat jelas kebathilannya. Hadis
Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu
Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat
jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya”.
Justru perkataan di atas lah yang lebih jelas kebathilannya karena
minimnya pengetahuan atas istilah-istilah ilmu hadits. Perkataan hadits munkar
itu menunjukkan adanya kelemahan dari perawinya. Bukankah definisi dari
hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’iif yang
menyelisihi perawi tsiqah. Dalam definisi lain mengatakan : Hadits yang
dalam sanadnya terdapat perawi yang
banyak kelirunya, banyak lupanya, atau menampakkan kefasikannya [lihat dua
definisi ini dalam Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud
Ath-Thahhaan, hal. 74]. Jika memang tidak ada cacat dari para perawinya, apakah
mungkin satu hadits dikatakan munkar ? (menurut ilmu mushthalah yang
sudah ma’ruuf). Di sini Al-Imam Ahmad sedang membicarakan hadits
‘Athiyyah yang ia sendiri telah men-jarh-nya dengan : “Dla’iif”.
Ia pun menukil pen-dla’if-an itu juga dari Husyaim dan Ats-Tsauriy.
Apakah menjadi ‘sangat tidak mungkin’ jarh tersebut adalah jarh yang
dilamatkan karena ke-dla’ifan-an diri ‘Athiyyah ? Jadi sangat tidak ‘nyambung’
menolak pendlaifan ‘Athiyyah dari Al-Imam Ahmad ini dan menyanggahnya dengan
alasan : ‘Hadis Tsaqalain tidak hanya
diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah
diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih
seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya’. Memang benar hadits ats-tsaqalain ini bukan hanya
diriwayatkan dari jalur tersebut. Namun sekali lagi tidak ‘nyambung’ jika
alasan ini digunakan untuk menolak pen-dla’if-an ‘Athiyyah.
[3][3] Sanad hadits ini lemah, dengan
kelemahan yang terletak pada Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Ia seorang perawi
yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Matruukul-hadiits”.
Sedangkan Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ia telah
didla’ifkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib – dan ini disepakati oleh
Basyar ‘Awaad dalam Tahriir Taqriibit-Tahdziib (1/433 no. 2127) dan tahqiq-nya
terhadap Sunan At-Tirmidziy (6/124). Begitu pula Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif
(1/416 no. 1731).
Dalam ilmu hadits, Abu Haatim adalah ulama yang tasyaddud,
dan sebaliknya Ibnu Hibbaan adalah ulama yang tasaahul. Kesepakatan dua
orang haafidh (yaitu Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy) dalam pendla’ifan
mempunyai nilai tersendiri. Hal itu bisa dibuktikan dari pengambilan perkataan
mereka dalam pendla’ifan Al-Anmathiy oleh para ulama setelahnya. Apalagi,
Adz-Dzahabiy yang menjadi salah satu sumber
penilaian tasyaddud-nya Abu Haatim (dalam kitab As-Siyaar,
13/260), maka di sini ia telah memberikan penilaian dengan mengambil
pendla’ifan Abu Haatim.
Qarinah yang lebih menunjukkan kelemahan
diri Al-Anmathiy adalah bahwasannya ia telah diselisihi oleh Haatim bin
Ismaa’iil Al-Madiniy dan Hafsh bin Ghiyaats, dimana mereka berdua meriwayatkan
Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang khutbah wada’, dimana beliau bersabda :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian
berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].
yaitu tanpa tambahan lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي).
Maka dari itu, yang raajih – sebagaimana ini diambil oleh
para muhaqqiq – adalah ta’yin atas kelemahan diri Zaid bin
Al-Hasan Al-Anmathiy. Dan untuk tambahan (ziyadah) lafadh : ‘dan
‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي
أَهْلَ بَيْتِي)
adalah tambahan yang munkar, karena dibawakan oleh perawi dla’if
– sebagaimana kaidah ini dijelaskan Ibnu Shalah dalam ‘Uluumul-Hadiits.
NB : Jika ada yang mengatakan bahwa At-Tirmidziy memberikan tautsiq
kepada Zaid bin Al-Hasan, maka perkataannya perlu ditinjau ulang. Jika ia
mengatakan hal itu dengan melihat penghukumannya atas hadits : hasan ghariib;
maka para ulama telah bersilang pendapat mengenai makna perkataan ini. Beda
peristilahan antara ghariib, hasan, hasan ghariib, hasan
shahih, dan hasan shahih ghariib. Ini berawal dari persyaratan
hadits hasan yang diberikan sendiri oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya,
yaitu : (1) Ketiadaan perawi yang dituduh berdusta (muttaham bil-kidzb),
(2) sanadnya tidak syadz, dan (3) mempunyai jalan periwayatan lain
selain dari sanad hadits itu. Dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak layak
berpegang pada perkataan At-Tirmidziy : ‘hasan ghariib’ sebagai tanda
pen-tautsiq-an terhadap seluruh rawinya.
a.
Hadits Abu Sa’iid; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami
Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu
Sa’iid.
Sanad ini lemah karena ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah
Al-‘Aufiy. Telah lalu penjelasannya di atas.
Di sini ia juga membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia
seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar
[lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122].
b.
Hadits Zaid bin Al-Arqam; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan
kepada kami Al-A’masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam.
Sanad hadits ini lemah, karena Habiib bin Abi Tsaabit. Ia adalah
perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Akan tetapi ia adalah seorang yang banyak melakukan tadliis
dan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya mudallis tingkat tiga [Thabaqaatul-Mudallisiin,
no. 69]. Riwayatnya tidak diterima kecuali jika ia membawakan dengan tashriih
penyimakannya [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh
Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283]. Dan dalam sanad riwayat ini, ia membawakan
dengan ‘an’anah.
Ada sebagian orang yang menolak pensifatan tadlis dan irsal
terhadap Habiib sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar (- yang kemungkinan orang
tersebut bertaqlid pada Dr. Basyar ‘Awwaad dalam At-Tahriir).
Penolakan sifat banyak tadliis dan irsaal ini
sangatlah aneh. Penisbatan sifat ini telah dikatakan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu
Khuzaimah, dan Ad-Daaruquthniy. Apa yang mereka katakan punya sandaran, yaitu
apa yang dikatakan oleh Ibnu Ja’far An-Nuhaas dimana Habiib pernah berkata
kepadanya : “Apabila seseorang menceritakan hadits kepadaku yang berasal
darimu, kemudian aku menceritakannya langsung darimu maka itu benar bagiku”
[dari ta’liq Dr. ‘Abdul-Ghafaar bin Sulaimaan dan Prof. Muhammad bin
Ahmad terhadap Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 87]. Semisal dengan ini telah
dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Ta’rif dari Al-A’masy saat
menyebutkan keterangan Habiib bin Abi Tsaabit. Ad-Daaruquthniy juga telah
mengisyaratkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar ini dengan perkataannya : “Habiib
tidak mendengar hadits ini dari Abul-Hayyaaj. Ia hanyalah mendengar dari Abu
Waail Syaqiiq bin Salamah, dari Abul-Hayyaaj, sebagaimana dikatakan oleh
Ats-Tsauriy” [Al-‘Ilal, 4/183 – melalui perantaraan Mausu’ah Aqwaal
Ad-Daaruquthniy hal. 185 no. 861]. Semua ini adalah indikasi yang
menguatkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar.
Pensifatan tadlis ini juga dikatakan oleh Al-‘Alaaiy,
Al-‘Iraaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Maqdisiy, As-Sabth bin ‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy,
Al-Halabiy, dan As-Suyuuthiy [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih
Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283, Al-Mudallisiin
oleh Al-‘Iraaqiy hal. 39-40 no. 7, Asmaaul-Mudalisiin oleh As-Suyuthiy
hal. 36 no. 7, dan At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin oleh As-Sabth bin
Al-‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy hal. 19-20 no. 10].
Sangat keliru jika menghilangkan sifat tadlis dengan
pernyataan bahwa : Habib bin Abi Tsabit lahir
pada tahun 46 H sedangkan Zaid bin Arqam wafat pada tahun 68 H. jadi ketika
Zaid wafat Habib berumur 22 tahun dan keduanya tinggal di kufah sehingga sangat
memungkinkan bagi Habib bin Abi Tsabit bertemu dengan Zaid bin Arqam dan
mendengar hadis darinya. Karena yang dimaksud dengan tadlis – sebagaimana ma’ruf
dalam ilmu mushthalah – adalah :
“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari
orang yang pernah ia dengan haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut
mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa
hadits yang ia dengar dari seorang syaikh
(guru), namun hadits yang ia tadlis-kan
tidak pernah ia dengan dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui
(perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang
tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan
kemudian ia (si mudallis)
meriwayatkan darinya (syaikh yang
pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti
lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ
(dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar
orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia
tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan
tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru
Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis
bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq :
Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
Oleh karena itu, kemungkinan bertemu atau bahkan bertemu sekalipun
tidak dapat menghilangkan sifat tadlis bagi orang-orang berada pada
martabat ketiga mudallisiin, jika ia tidak menjelaskan tashriih sima’-nya.
Sebenarnya ini sudah sangat ma’ruf.
Jika ada yang mengatakan : “Disebutkan dalam Al Mustadrak no 4576 kalau Habib bin
Abi Tsabit meriwayatkan hadis Tsaqalain dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam.
Kami katakan keduanya shahih, Habib meriwayatkan dari Zaid bin Arqam dan Habib
meriwayatkan dari Abu Thufail dari Zaid. Zaid bin Arqam dan Abu Thufail
keduanya adalah sahabat Nabi. Bisa saja dikatakan bahwa riwayat Habib dari Abu
Thufail dari Zaid menunjukkan bahwa Habib melakukan tadlis sehingga ia
menghilangkan nama Abu Thufail dan meriwayatkan langsung dari Zaid. Kami
katakan perkataan ini hanya bersifat dugaan semata dan jika benar maka tadlis yang dilakukannya tidak
bersifat cacat karena nama yang Habib hilangkan adalah nama sahabat Nabi yaitu
Abu Thufail sehingga kalau mau dikatakan tadlis maka kedudukan Habib adalah
mudallis martabat pertama yaitu yang sedikit melakukan tadlis atau ia melakukan
tadlis dari perawi yang tsiqat atau adil. Tadlis yang seperti ini jelas bisa dijadikan
hujjah”.
Pernyataan ini justru hanya duga-duga semata. Bagaimana bisa
dipastikan bahwa tadlis yang dilakukan Habiib terhadap Zaid bin Arqam
adalah pengguguran Abu Thufail ? Justru riwayat sebelumnya (no. 4576) juga kita
pertanyakan karena ia membawakan secara ‘an’anah dari periwayatan Abu
Thufail, dari Zaid bin Arqam. Sependek pengetahuan saya, yang dapat
menggugurkan tadlis dari mudallis level seperti Habiib ini adalah
tashrih bis-sima’. Seandainya saja riwayat Habiib dari Abu Thufail ini
menggunakan tashrih simaa’, maka saya sepakat bahwa yang digugurkan pada
hadits no. 4577 adalah Abu Thufail. Tapi kenyataan kan tidak ? [lihat At-Tatabbu’
oleh Muqbil Al-Wadi’iy, 3/126 no. 4640].
Mari kita baca kembali mushthalah hadits.
Lagi pula, kepastian bertemu tidaknya antara Habiib dengan
Abuth-Thufail dan Zaid bin Arqam ini juga dipermasalahkan sebagian ulama.
Al-‘Alaa’iy berkata : “’Aliy bin Al-Madiniy berkata : ‘Habiib bin Abi Tsaabit
bertemu dengan Ibnu ‘Abbaas, mendengar (riwayat) dari ‘Aaisyah, dan tidak
mendengar dari selain keduanya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum’.
Telah berkata Abu Zur’ah : ‘Ia tidak mendengar dari Ummu Salamah’. At-Tirmidziy
berkata dalam haditsnya yang berasal dari Hakiim bin Hizaam mengenai pembelian
hewan kurban : ‘Menurut (pengetahuan)ku, Habiib bin Abi Tsaabit tidak mendengar
dari Hakiim bin Hizaam. Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal,
Yahyaa bin Ma’iin, Al-Bukhaariy. Dan yang lainnya bahwasannya Habiib bin Abi
Tsaabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah bin Zubair sama sekali” [Jaami’ut-Tahshiil
fii Ahkaamil-Maraasil, hal. 158-159 no. 117].
Dari perkataan didapat satu pengetahuan bahwa hukum umum riwayat
Habiib bin Abi Tsaabit dari para shahabat adalah mursal, kecuali jika ditunjukkan
padanya bayyinah akan sima’-nya. Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh
Al-Kabiir (2/313 no. 2592) telah menetapkan bahwa Habiib mendengar riwayat
dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum.
Sangat dimaklumi jika Syu’aib Al-Arna’uth (Takhrij Musnad Al-Imam
Ahmad, 17/171) menghukumi riwayat Habiib dari Abi Thufail maupun
Zaid bin Arqam sebagai riwayat yang munqathi’.
Sebenarnya di sini bahasan di point ini bukan untuk men-dla’if-kan
riwayat At-Tirmidziy (no. 3788), karena saya sepakat bahwa riwayat ini adalah hasan
lighairihi karena ada penguat dari jalur lain. Hanya saja, saya tidak
sepakat dengan metode ‘aneh’ sebagian orang dalam penilaian hadits.
[5][5] Sanad riwayat ini lemah
dikarenakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail. Al-Juzjaaniy berkata : “Dzaahibul-hadiits”
[Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/310 no. 5577]. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa
bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Lisaanul-Miizaan, 7/168]. Ia juga
dinisbatkan pada tasyayyu’ dan mempunyai hadits-hadits munkar [Al-Kaamil,
7/444]. As-Sa’diy berkata : “Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)” [Adl-Dlu’afaa
wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 3/67 no. 3017]. Ibnu Syaahiin berkata : “Dla’iif”
[Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 166 no. 566]. Ibnu
Hibbaan dengan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad berkata : “Muqaaribul-hadiits”
[Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/267 no. 2335]. Ad-Daaruquthniy
mengatakan : “Bisa dijadikan i’tibar” [Suaalaat Al-Barqaaniy, no.
539].
Ada yang mengatakan : Muhammad
bin Salamah bin Kuhail diikuti oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail sebagaimana
disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan sanad dari Qasim bin Zakaria bin Yahya
dari Yusuf bin Musa dari Ubaidillah bin Musa dari Yahya bin Salamah bin Kuhail
dari ayahnya dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 143]. Para
perawinya tsiqah kecuali Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang matruk
sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar [At Taqrib 2/304].
Perkataan tersebut adalah benar bahwa Ibnu Hajar telah mengatakannya
dalam At-Taqriib. Perawi matruk tidak bisa dijadikan sebagai
penguat.
Ada
yang mengatakan :
“Muhammad bin Salamah juga memiliki mutaba’ah dari Syu’aib bin
Khalid yang juga disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan jalan sanad dari Abu
Bakar Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Muhammad bin Humaid dari Harun bin
Mughirah dari Amr bin Abi Qais dari Syu’aib bin Khalid dari Salamah bin Kuhail
dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 142]. Hadis ini para
perawinya tsiqat kecuali Muhammad bin Humaid, ia seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in,
Muhammad bin Yahya Adz Dzahiliy, Ahmad, dan Ja’far bin Abi Utsman Ath Thayalisi
telah menta’dilkannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat”. Ia didustakan oleh Shalih
bin Muhammad, Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy. Yaqub bin Syaibah berkata “banyak
meriwayatkan hadis munkar” [At Tahdzib juz 9 no 181]. Ibnu Hajar berkata
“seorang hafizh yang dhaif” [At Taqrib 2/69]”.
Saya berkata :
Tentang Muhammad bin Humaid ini; Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy
berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari
(katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy
berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh
Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di
hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan
‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy
Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak
dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin
Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad,
2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh
Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang
menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia
meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin,
2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang
yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah”
[Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. ‘Abdurrahmaan bin Yuusuf bin Khiraasy dan
jama’ah ahli-hadits negeri Ray saat disebut Muhammad bin Humaid, maka mereka
sepakat bahwa ia sangat lemah dalam haditsnya [Taariikh Baghdaad,
2/261]. Ibnu Khiraasy sendiri mendustakannya [idem, 2/263]. Sudah
menjadi pengetahuan bahwa jarh penduduk yang satu negeri dengan perawi lebih
kuat, karena mereka lebih mengetahui keadaan negerinya sendiri dibandingkan
yang lain. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diperselisihkan” [Suaalaat As-Sulamiy
no. 287]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’
wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no.
5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan
dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif.
Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Ahmad memujinya bahwa negeri Ray
akan tetap diliputi ilmu selama Muhammad bin Humaid hidup. Namun ia pujiannya
ini dikritik oleh Ibnu Khuzaimah bahwasannya dalam hal ini Ahmad tidak
mengetahui perihal Ibnu Humaid. Seandainya ia mengetahui sebagaimana yang
diketahui Ibnu Khuzaimah, niscaya ia tidak akan memujinya [Mausu’ah Aqwaal
Al-Imam Ahmad, 3/255-256 no. 2311]. Ibnu Hibbaan menyebutkan bahwa setelah
Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid,
maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku
jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya” [Al-Majruuhiin, 2/321]. Inilah pendapat
terakhir Ahmad (yaitu menyepakati jarh Abu Zur’ah dan Ibnu Waraah). Ibnu
Ma’iin dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tsiqah-kannya.
Perkataan yang tepat tentang diri Muhammad bin Humaid adalah ia
perawi yang sangat lemah. Ia dikritik dari ulama baik dari segi hapalannya
maupun ‘adalah-nya.
Kedua mutaba’ah di atas tidak bisa dipakai sebagai mutaba’ah.
Dikatakan :
Secara keseluruhan riwayat Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail
dari Zaid bin Arqam kedudukannya hasan lighairihi karena riwayat Muhammad bin
Salamah bin Kuhail dikuatkan oleh riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam serta
riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Riwayat Abu Dluhaa adalah shahih, namun riwayat yang ia bawakan
berbeda dengan riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail, bahkan lebih ringkas.
Adapun riwayat Habiib bin Abi Tsaabit, ia hasan, namun lafadhnya juga berbeda
dengan yang dibawakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
Oleh karena itu, lafadh yang dipertimbangkan di sini bukan dari sisi
lafadh yang dibawakan oleh Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
[6][6] Sanad riwayat ini hasan. Katsiir
bin Zaid, ia adalah Al-Aslamiy As-Sahmiy, Abu Muhammad Al-Madiniy. Para ulama
telah berselisih pendapat mengenainya. Yang raajih, ia adalah perawi
yang hasan haditsnya selama tidak ada penyelisihan.
Catatan :
Sangat berlebihan sebagian orang yang menyatakan ke-tsiqah-an
Katsiir bin Zaid ini secara mutlak sehingga menghukumi haditsnya adalah shahih.
Para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (dlabth), diantaranya :
Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak
kuat (laisa bi-dzaakal-qawiy)” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/151; sanad
riwayat ini shahih]. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat, namun
ditulis haditsnya” [idem]. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq, padanya
ada kelemahan (layyin)” [idem]. Telah lewat penjelasan tentang
makna layyin.
Adapun ulama yang mendla’ifkannya secara umum adalah An-Nasaa’iy dan
Ath-Thabariy.
Jarh yang diberikan adalah jenis mufassar.
Jenis jarh seperti ini bukanlah jenis jarh yang patut diabaikan.
Ada tambahan keterangan – selain dari ulama yang memberikan tautsiq
kepadanya - bahwa padanya ada kelemahan dalam masalah hapalan.
Bagaimana bisa dikatakan jarh-jarh tersebut tidak memberikan mudlarat
sama sekali sehingga ia dianggap tsiqah secara mutlak layaknya
perawi yang tanpa jarh ? Aneh.
Oleh karena itu Ibnu Hajar telah tepat memberikan komentar kepadanya
: ‘Shaduuq yukhthi’ (jujur, namun kadang keliru)”. Artinya, haditsnya hasan
selama tidak ada penyelisihan.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو
بكر حدثنا حاتم بن إسماعيل المدني عن جعفر بن محمد عن أبيه قال دخلنا على جابر بن
عبد الله فسأل عن القوم حتى انتهى إلي فقلت أنا محمد بن علي بن حسين فأهوى بيده
إلى رأسي فنزع زري الأعلى ثم نزع زري الأسفل ثم وضع كفه بين ثديي وأنا يومئذ غلام
شاب فقال مرحبا بك يا بن أخي سل عما شئت فسألته وهو أعمى وحضر وقت الصلاة فقام في
نساجة ملتحفا بها كلما وضعها علي منكبه رجع طرفاها إليه من صغرها ورداؤه إلى جنبه
على المشجب فصلى بنا فقلت أخبرني عن حجة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بيده
فعقد تسعا فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مكث تسع سنين لم يحج ثم أذن في
الناس في العاشرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حاج فقدم المدينة بشر كثير كلهم
يلتمس أن يأتم برسول الله صلى الله عليه وسلم ويعمل مثل عمله فخرجنا معه حتى أتينا
ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم كيف أصنع قال اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي فصلى رسول الله صلى الله عليه
وسلم في المسجد ثم ركب القصواء حتى إذا استوت به ناقته على البيداء نظرت إلى مد
بصري بين يديه من راكب وماش وعن يمينه مثل ذلك وعن يساره مثل ذلك ومن خلفه مثل ذلك
ورسول الله صلى الله عليه وسلم بين أظهرنا وعليه ينزل القرآن وهو يعرف تأويله وما
عمل به من شيء عملنا به فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن
الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك وأهل الناس بهذا الذي يهلون به فلم يرد رسول
الله صلى الله عليه وسلم عليهم شيئا منه ولزم رسول الله صلى الله عليه وسلم تلبيته
قال جابر رضى الله تعالى عنه لسنا ننوي إلا الحج لسنا نعرف العمرة حتى إذا أتينا
البيت معه استلم الركن فرمل ثلاثا ومشى أربعا ثم نفذ إلى مقام إبراهيم عليه السلام
فقرأ { واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى }
فجعل المقام بينه وبين البيت فكان أبي يقول ولا أعلمه ذكره إلا عن النبي
صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين قل هو الله أحد وقل يا أيها الكافرون ثم
رجع إلى الركن فاستلمه ثم خرج من الباب إلى الصفا فلما دنا من الصفا قرأ { إن
الصفا والمروة من شعائر الله } أبدأ بما
بدأ الله به فبدأ بالصفا فرقي عليه حتى رأى البيت فاستقبل القبلة فوحد الله وكبره
وقال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا
إله إلا الله وحده أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده ثم دعا بين ذلك قال مثل
هذا ثلاث مرات ثم نزل إلى المروة حتى إذا انصبت قدماه في بطن الوادي سعى حتى إذا
صعدتا مشى حتى أتى المروة ففعل على المروة كما فعل على الصفا حتى إذا كان آخر
طوافه على المروة فقال لو أني استقبلت من أمري ما استدبرت لم أسق الهدي وجعلتها
عمرة فمن كان منكم ليس معه هدي فليحل وليجعلها عمرة فقام سراقة بن مالك بن جعشم
فقال يا رسول الله ألعامنا هذا أم لأبد فشبك رسول الله صلى الله عليه وسلم أصابعه
واحدة في الأخرى وقال دخلت العمرة في الحج مرتين لا بل لأبد أبد وقدم علي من اليمن
ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا
صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق
فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول
الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت
صدقت ماذا قلت حين فرضت الحج قال قلت اللهم إني أهل بما أهل به رسولك قال فإن معي
الهدي فلا تحل قال فكان جماعة الهدي الذي قدم به علي من اليمن والذي أتى به النبي
صلى الله عليه وسلم مائة قال فحل الناس كلهم وقصروا إلا النبي صلى الله عليه وسلم
ومن كان معه هدي فلما كان يوم التروية توجهوا إلى منى فأهلوا بالحج وركب رسول الله
صلى الله عليه وسلم فصلى بها الظهر والعصر والمغرب والعشاء والفجر ثم مكث قليلا
حتى طلعت الشمس وأمر بقبة من شعر تضرب له بنمرة فسار رسول الله صلى الله عليه وسلم
ولا تشك قريش إلا أنه واقف عند المشعر الحرام كما كانت قريش تصنع في الجاهلية
فأجاز رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة
فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس
وقال إن دماءكم وأموالكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع ودماء الجاهلية موضوعة وإن أول دم أضع
من دمائنا دم بن ربيعة بن الحارث كان مسترضعا في بني سعد فقتلته هذيل وربا
الجاهلية موضوع وأول ربا أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب فإنه موضوع كله فاتقوا
الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن
أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم
رزقهن وكسوتهن بالمعروف وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله
وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه
السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات ثم
أذن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ثم ركب رسول الله
صلى الله عليه وسلم حتى أتى الموقف فجعل بطن ناقته القصواء إلى الصخرات وجعل حبل
المشاة بين يديه واستقبل القبلة فلم يزل واقفا حتى غربت الشمس وذهبت الصفرة قليلا
حتى غاب القرص وأردف أسامة خلفه ودفع رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد شنق
للقصواء الزمام حتى إن رأسها ليصيب مورك رحله ويقول بيده اليمني أيها الناس
السكينة السكينة كلما أتى حبلا من الحبال أرخى لها قليلا حتى تصعد حتى أتى
المزدلفة فصلى بها المغرب والعشاء بأذان واحد وإقامتين ولم يسبح بينهما شيئا ثم
اضطجع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى طلع الفجر وصلى الفجر حين تبين له الصبح
بأذان وإقامة ثم ركب القصواء حتى أتى المشعر الحرام فاستقبل القبلة فدعاه وكبره
وهلله ووحده فلم يزل واقفا حتى أسفر جدا فدفع قبل أن تطلع الشمس وأردف الفضل بن
عباس وكان رجلا حسن الشعر أبيض وسيما فلما دفع رسول الله صلى الله عليه وسلم مرت
به ظعن يجرين فطفق الفضل ينظر إليهن فوضع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده على
وجه الفضل فحول الفضل وجهه إلى الشق الآخر ينظر فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم
يده من الشق الآخر على وجه الفضل يصرف وجهه من الشق الآخر ينظر حتى أتى بطن محسر
فحرك قليلا ثم سلك الطريق الوسطى التي تخرج على الجمرة الكبرى حتى أتى الجمرة التي
عند الشجرة فرماها بسبع حصيات يكبر مع كل حصاة منها حصى الحذف رمى من بطن الوادي
ثم انصرف إلى المنحر فنحر ثلاثا وستين بيده ثم أعطى عليا فنحر ما غبر وأشركه في
هديه ثم أمر من كل بدنة ببضعة فجعلت في قدر فطبخت فأكلا من لحمها وشربا من مرقها
ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فأفاض إلى البيت فصلى بمكة الظهر فأتى بني عبد
المطلب يسقون على زمزم فقال انزعوا بني عبد المطلب فلولا أن يغلبكم الناس على
سقايتكم لنزعت معكم فناولوه دلوا فشرب منه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaaq
bin Ibraahiim, keduanya dari Haatim ia berkata, - Abu Bakr berkata - : Telah
menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa'iil Al-Madaniy, dari Ja'far bin
Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : Kami datang ke rumah Jaabir bin Abdillah,
lalu ia menanyai kami satu persatu, siapa nama kami masing-masing. Sampai
giliranku, kusebutkan namaku Muhammad bin ‘Aliy bin Husain. Lalu dibukanya
kancing bajuku yang atas dan yang bawah. Kemudian diletakkannya telapak
tangannya antara kedua susuku. Ketika itu, aku masih muda belia. Lalu dia
berkata, "Selamat datang wahai anak saudaraku, tanyakanlah apa yang hendak
kamu tanyakan." Maka aku pun bertanya kepadanya. Dia telah buta. Ketika
waktu shalat tiba, dia berdiri di atas sehelai sajadah yang selalu dibawanya.
Tiap kali sajadah itu diletakkannya ke bahunya, pinggirnya selalu lekat padanya
karena kecilnya sajadah itu. Aku bertanya kepadanya : "Terangkanlah
kepadaku bagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melakukan
ibadah haji." Lalu ia bicara dengan isyarat tangannya sambil memegang
sembilan anak jarinya. Ia berkata : “Sembilan tahun lamanya beliau menetap di
Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa tahun
kesepuluh beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang
ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu kami berangkat
bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asmaa` binti ‘Umais
melahirkan puteranya, Muhammad bin Abi Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan
kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam apa yang harus
dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka beliau pun bersabda : "Mandi
dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali."
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at di masjid
Dzulhulaifah, kemudian beliau naiki untanya yang bernama Qashwa. Setelah sampai
di Baida`, kulihat sekelilingku, alangkah banyaknya orang yang mengiringi
beliau, yang berkendaraan dan yang berjalan kaki, di kanan-kiri dan di belakang
beliau. Ketika itu turun Al Quran (wahyu), dimana Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam mengerti maksudnya, yaitu sebagaimana petunjuk amal yang
harus kami amalkan. Lalu beliau teriakan bacaan talbiyah: "LABBAIKA
ALLAHUMMA LABBAIKA LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNALHAMDA WAN NI'MATA
LAKA WALMULKU LAA SYARIIKA LAKA (Aku patuhi perintah-Mu ya Allah, aku
patuhi, aku patuhi. Tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu; sesungguhnya
puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu,
aku patuhi perintah-Mu)." Maka talbiyah pula orang banyak seperti
talbiyah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itu. Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam tidak melarang mereka membacanya, bahkan senantiasa
membaca terus-menerus. Niat kami hanya untuk mengerjakan haji, dan kami belum
mengenal umrah. Setelah sampai di Baitullah, beliau cium salah satu
sudutnya (Hajar Aswad), kemudian beliau thawaf, lari-lari kecil tiga kali dan
berjalan biasa empat kali. Kemudian beliau terus menuju ke Maqam. Ibrahim
'Alais Salam, lalu beliau baca ayat: "Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai
tempat shalat..." (Al Baqarah: 125). Lalu ditempatkannya maqam itu
diantaranya dengan Baitullah. Sementara itu ayahku berkata bahwa Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam membaca dalam shalatnya : "QUL HUWALLAHU AHAD…"
(Al Ikhlas: 1-4). Dan: "QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN.." (Al
Kafirun: 1-6). Kemudian beliau kembali ke sudut Bait (hajar Aswad) lalu
diciumnya pula. Kemudian melalui pintu, beliau pergi ke Shafa. Setelah dekat ke
bukit Shafa beliau membaca ayat: "Sesungguhnya Sa'i antara Shafa dan
Marwah termasuk lambang-lambang kebesaran Agama Allah..." (Al Baqarah:
1589). Kemudian mulailah dia melaksanakan perintah Allah. Maka dinaikinya bukit
Shafa. Setelah kelihatan Baitullah, lalu beliau menghadap ke kiblat
seraya mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Dan beliau membaca: "LAA
ILAAHA ILAALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA
'ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU ANJAZA WA'DAHU WANASHARA
'ABDAHU WAHAZAMAL AHZABA WAHDAH (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kerajaan dan segala
puji, sedangkan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah satu-satu-Nya, Yang Maha Menepati janji-Nya dan menolong hamba-hamba-Nya
dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendiri-Nya)." Kemudian beliau berdo'a.
Ucapan tahlil itu diulanginya sampai tiga kali. Kemudian beliau turun di Marwa.
Ketika sampai di lembah, beliau berlari-lari kecil. Dan sesudah itu, beliau
menuju bukit Marwa sambil berjalan kembali. setelah sampai di bukit Marwa,
beliau berbuat apa yang diperbuatnya di bukit Shafa. Tatkala beliau mengakhiri
sa'i-nya di bukit Marwa, beliau berujar: "Kalau aku belum lakukan apa yang
telah kuperbuat, niscaya aku tidak membawa hadya dan menjadikannya umrah."
Lalu Suraqah bin Malik bin Ju'tsyum, "Ya, Rasulullah! Apakah untuk tahun
ini saja ataukah untuk selama-lamanya?" Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam memperpanjangkan jari-jari tangannya yang lain seraya bersabda : "Memasukkan
umrah ke dalam haji. Memasukkan umrah ke dalam haji, tidak! Bahkan untuk
selama-lamanya”. Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang
yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy
melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang
menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap
perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya
berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar."
Kemudian beliau bertanya : "Apa yang kamu baca ketika hendak menunaikan
haji?". ‘Aliy berkata : Aku menjawab : "Ya Allah, aku aku niat
menunaikan ibadah haji seperti yang dicontohkan oleh Rasul-Mu." Kemudian
‘Aliy bertanya : "Tetapi aku membawa hewan kurban, bagaimana itu?".
Beliau menjawab : "Kamu jangan tahallul". Ja'far berkata :
“Jumlah hadyu yang dibawa ‘Aliy dari Yaman dan yang dibawa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam ada seratus ekor. Para jama'ah telah tahallul dan
bercukur semuanya, melainkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
dan orang-orang yang membawa hadyu beserta beliau. Ketika hari Tarwiyah
(delapan Dzulhijjah) tiba, mereka berangkat menuju Mina untuk melakukan ibadah
haji. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menunggang kendaraannya.
Di sana beliau shalat Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian beliau
menanti sebentar hingga terbit matahari; sementara itu beliau menyuruh orang
lebih dahulu ke Namirah untuk mendirikan kemah di sana. Sedangkan Orang Quraisy
mengira bahwa beliau tentu akan berhenti di Masy'aril Haram (sebuah
bukit di Muzdalifah) sebagaimana biasanya orang-orang jahililiyah. Tetapi
ternyata beliau terus saja menuju ‘Arafah. Sampai ke Namirah, didapatinya
tenda-tenda telah didirikan orang. Lalu beliau berhenti untuk istirahat di
situ. Ketika matahari telah condong, beliau menaiki untanya meneruskan. Sampai
di tengah-tengah lembah beliau berkhutbah : "Sesungguhnya menumpahkan
darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada
hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau
Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah
masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu
Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail.
Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah
riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan
semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka
sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi
peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu
supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka
melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya
mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Sungguh telah
aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya,
niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah. Kalian semua akan ditanya
mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?". Mereka menjawab
: "Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar telah menyampaikan risalah, engkau telah menunaikan tugas dan telah
memberi nasehat kepada kami". Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat
jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak : "Ya,
Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah”. Sesudah
itu, beliau adzan kemudian iqamat, lalu shalat Zhuhur. Lalu iqamat lagi dan
shalat Ashar tanpa shalat sunnah antara keduanya. Setelah itu, beliau
meneruskan perjalanan menuju tempat wukuf. Sampai di sana, dihentikannya unta
Qashwa di tempat berbatu-batu dan orang-orang yang berjalan kaki berada di
hadapannya. Beliau menghadap ke kiblat, dan senantiasa wukuf sampai matahari
terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau teruskan pula perjalanan dengan
membonceng Usamah di belakangnya, sedang beliau sendiri memegang kendali.
Beliau tarik tali kekang Unta Qashwa, hingga kepalanya hampir menyentuh bantal
pelana. Beliau bersabda dengan isyarat tangannya : "Saudara-saudara,
tenanglah, tenanglah”. Setiap beliau sampai di bukit, beliau dikendorkannya
tali unta sedikit, untuk memudahkannya mendaki. Sampai di Muzdalifah beliau
shalat Maghrib dan Isya`dengan satu kali adzan dan dua qamat tanpa shalat
sunnah antara keduanya. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar. Setelah tiba
waktu Shubuh, beliau shalat Shubuh dengan satu adzan dan satu iqamat. Kemudian
beliau tunggangi pula unta Qashwa meneruskan perjalanan sampai ke Masy'aril
Haram. Sampai di sana beliau menghadap ke kiblat, berdo'a, takbir, tahlil dan
membaca kaliamat tauhid. Beliau wukuf di sana hingga langit kekuning-kuningan
dan berangkat sebelum matahari terbit sambil membonceng Fadhl bin Abbas. Fadhl
adalah seorang laki-laki berambut indah dan berwajah putih. Ketika beliau
berangkat, berangkat pulalah orang-orang besertanya. Fadhl menengok pada
mereka, lalu mukanya ditutup oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
dengan tangannya. Tetapi Fadlal menoleh ke arah lain untuk melihat. Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam menutup pula mukanya dengan tangan lain, sehingga Fadhl
mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sampai di tengah lembah Muhassir,
dipercepatnya untanya melalui jalan tengah yang langsung menembus ke Jumratul
Kubra. Sampai di Jumrah yang dekat dengan sebatang pohon, beliau melempar
dengan tujuh buah batu kerikil sambil membaca takbir pada setiap lemparan.
Kemudian beliau terus ke tempat penyembelihan kurban. Di sana beliau
menyembelih enam puluh tiga hewan kurban dengan tangannya dan sisanya
diserahkannya kepada Ali untuk menyembelihnya, yaitu hewan kurban bersama-sama
dengan anggota jama'ah yang lain. Kemudian beliau suruh ambil dari setiap hewan
kurban itu sepotong kecil, lalu disuruhnya masak dan kemudian beliau makan
dagingnya serta beliau minum kuahnya. Sesudah itu, beliau naiki kendaraan
beliau menuju ke Baitullah untuk tawaf. Beliau shalat Zhuhur di Makkah. Sesudah
itu, beliau datangi Bani Abdul Muthalib yang sedang menimba sumur zamzam.
Beliau bersabda kepada mereka : "Wahai Bani Abdul Muthalib, berilah
kami minum. Kalaulah orang banyak tidak akan salah tangkap, tentu akan kutolong
kamu menimba bersama-sama". Lalu mereka timbakan seember, dan beliau
pun minum daripadanya” [selesai].
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي
شيبة حدثنا عفان حدثنا حسان بن إبراهيم عن سعيد بن مسروق عن يزيد بن حيان عن زيد
بن أرقم قال دخلنا عليه فقلنا له لقد رأيت خيرا صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم
وصليت خلفه فقال نعم وإنه صلى الله عليه وسلم خطبنا فقال إني تارك فيكم كتاب الله
هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim, dari
Sa’iid bin Masruuq, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam. Yaziid
berkata : Kami masuk menemuinya (Zaid) dan berkata : “Sungguh engkau telah
melihat kebaikan, telah bershahabat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan juga telah shalat di belakang
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia menjawab : Ya, benar.
Sesungguhnya beliau pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda : ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada
kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia
berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada
dalam kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; sanad hadits ini hasan].
Sesuai pula dengan riwayat ringkas dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي
شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الحميد بن جعفر عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن
أبي شريح الخزاعي قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبشروا وأبشروا
أليس تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله قالوا نعم قال فإن هذا القرآن سبب
طرفه بيد الله وطرفه بأيديكم فتمسكوا به فإنكم لن تضلوا ولن تهلكوا بعده أبدا
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, dari Sa’iid bin Abi
Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bersabda : “Berilah kabar
gembira, berilah kabar gembira. Bukankah kalian bersaksi bahwasannya tidak ada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya aku adalah utusan
Allah ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah tali yang salah satu ujungnya ada di tangan Allah dan
ujung yang lain di tangan kalian. Berpegang-teguhlah kalian dengannya, karena
kalian tidak akan tersesat dan binasa selamanya sepeninggalku nanti (jika
kalian melaksanakannya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 122.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 10/481; sanadnya hasan sesuai dengan
persyaratan Muslim].
Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq, sedangkan menurut
Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy majhuul.
Namun perkataan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy ini tidak memudlaratkan karena tautsiq
Abu Haatim mengangkat status kemajhulannya. Ibnu Abi Syaibah, seorang imam
masyhur. Abu Khaalid Al-Ahmar, ia perawi dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya;
sedikit dipermasalahkan dalam hapalannya, namun tidak turun dari derajat hasan.
‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia seorang perawi yang dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan),
dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Sa’iid bin Abi Sa’iid
Al-Maqburiy adalah perawi yang dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Seandainyapun kita diharuskan mentarjih salah satu riwayat maka
riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam lebih didahulukan dibanding riwayat Yazid
bin Hayyan dari Zaid dengan alasan
a. Abu Dhuha
lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan. Abu Dhuha atau Muslim bin
Shubaih telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban,
Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Al Ijli [At Tahdzib juz 10 no 237]. Ibnu Hajar berkata
“tsiqat fadhl” [At Taqrib 2/179]. Sedangkan Yazid bin Hayyan dinyatakan tsiqat oleh
Nasa’i dan Ibnu Hibban saja [At Tahdzib juz 11 no 520]. Ibnu Hajar berkata
“tsiqat” [At Taqrib 2/323]
b. Riwayat Abu
Dhuha dari Zaid telah dikuatkan oleh riwayat Jabir, Abu Sa’id dan Imam Ali
seperti yang telah kami bahas di atas.
Permasalahan di sini bukan masalah tarjih sanad. Sudah jelas
bahwa Yaziid bin Hayyaan adalah tsiqah dan haditsnya shahih dengan
kesepakatan para ulama. Ditambah lagi, tidak ada ta’arudl antara hadits
Yaziid dan Abudl-Dluhaa. Maka, tidak nyambung jika bergegas pergi ke tarjih
sanad.
Haditsnya satu, yang satu lafadhnya lebih lengkap, yang lain lebih
ringkas. Mana di antara keduanya yang dilalah hukumnya lebih jelas. Jika
sedang bicara dilalah hukum, maka yang dilihat adalah matan haditsnya,
bukan lagi sanadnya.
Anggapan bahwa riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid itu dikuatkan oleh
riwayat Jaabir, Abu Sa’iid, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum, maka ini
sebatas sanad saja. Itupun tidak tepat-tepat betul. Adapun riwayat Jaabir, yang
shahih darinya hanyalah perintah untuk berpegang pada Kitabullah – sebagaimana
riwayat Muslim. Justru ini menguatkan dilalah hukum dari hadits Yaziid
bin Hayyaan.
komen dimoderasi
BalasHapus